BUKTI di pengadilan tidak hanya dapat berupa surat atau tulisan. Keterangan verbal seperti pengakuan para pihak atau keterangan ahli pun merupakan bukti yang dapat diterima. Dalam putusannya, hakim harus memberikan alasan mengapa setiap bukti dapat diterima atau ditolak dan menghasilkan suatu kesimpulan, baik bukti yang diberikan secara verbal maupun tulisan (Jabanto dan Pungkasan, 2020). Untuk itu, pencatatan hal-hal yang terjadi selama persidangan merupakan hal krusial dalam pelaksanaan persidangan.
Berita Acara Sidang (BAS) adalah sebuah potret jalannya proses pemeriksaan perkara dalam persidangan dari awal sampai akhir dibacakannya putusan atau penetapan hakim. Untuk itu, BAS merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan suatu putusan (Sarwohadi, 2013).
Berdasarkan Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Panitera Pengadilan Pajak memiliki kewajiban untuk membuat BAS yang memuat segala sesuatu yang terjadi dalam persidangan. BAS merupakan bagian dari persidangan yang jarang dibahas. Padahal, BAS memiliki peran yang vital dalam menjamin proses peradilan yang transparan dan akuntabel.
Peran BAS
DARI sisi administrasi, BAS merupakan bagian dari dokumentasi pengadilan. Selain itu, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1952 tentang Peraturan untuk Menghadapi Kemungkinan Hilangnya Surat Keputusan dan Surat-Surat Pemeriksaan Pengadilan menyatakan apabila suatu putusan hilang dan tidak terdapat turunan sah putusan asli tersebut tetapi masih ada surat catatan pemeriksaan perkara dalam sidang yang lengkap, putusan dapat dijalankan bersandar atas catatan keputusan yang termuat dalam surat catatan pemeriksaan tersebut. Dengan demikian, BAS juga berfungsi sebagai pengganti putusan yang hilang.
Dalam pengambilan keputusan, BAS berfungsi untuk membantu hakim dalam mengingat kembali bukti-bukti yang telah disampaikan oleh para pihak yang bersengketa dan mencocokkan argumen dengan pembuktian (Weiner dan Otto, 2013).
Horowitz dan FosterLee (2001) menemukan akses terhadap BAS yang lengkap meningkatkan kemungkinan juri atau orang yang disumpah untuk memberi putusan di pengadilan beberapa negara, untuk menilai bukti secara sistematis.
Dalam hasil penelitian yang dipublikasikan pada 1993, Bourgeois, Horowitz, and ForsterLee menguraikan juri yang memiliki akses terhadap BAS cenderung mengambil keputusan yang benar secara hukum. Sebaliknya, juri yang tidak memiliki akses terhadap BAS cenderung lebih tidak komprehensif dalam menilai bukti sehingga menghasilkan keputusan yang keliru secara hukum.
Lebih lanjut, BAS dapat digunakan para pihak untuk melanjutkan upaya hukum ke tingkat yang lebih tinggi. Di sini, BAS berfungsi sebagai alat bagi hakim untuk memahami kasus dan memutuskan apakah terdapat kekeliruan di pengadilan sebelumnya (Golay and Haskins, 2015).
Di Indonesia, BAS merupakan salah satu dokumen yang harus dikirimkan ke Mahkamah Agung dari Pengadilan Pajak untuk diperiksa dalam proses Peninjauan Kembali. (Pasal 15 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Pajak).
Dari sisi akademis, BAS dapat menjadi sarana pengembangan ilmu pengetahuan. Di beberapa negara yang memublikasikan berkas perkara, BAS merupakan sumber rujukan penelitian.
BAS dalam Pembuktian
BAS merupakan akta resmi yang mempunyai nilai autentik karena dibuat oleh pejabat resmi yang berwenang (Harahap, 2012). Berdasarkan Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu akta autentik memberikan kepada para pihak yang membuatnya suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. Untuk itu, BAS memiliki kekuatan pembuktian secara lahiriah, formal, dan material (Pramono, 2015).
Dalam kasus Protect Our Water v. County Merced, hakim di Pengadilan California menguraikan 3 poin penting dalam mengajukan banding. Pertama, pastikan semua hal yang terjadi dalam persidangan dicatat dengan lengkap. Kedua, apabila tidak dicatat, hal tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Ketiga, ketika ada keraguan maka hakim merujuk pada pertama dan kedua.
Sejalan dengan putusan di atas, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 901 K/Sip/1974 tanggal 18 Februari 1976 diuraikan segala sesuatu yang tercantum dan diuraikan dalam BAS adalah bukti yang benar, karena dibuat secara resmi dan ditandatangani oleh hakim dan panitera pengganti yang bersangkutan, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya (Fauzan, 2017).
Kedua putusan dari Indonesia dan Amerika Serikat tersebut menunjukkan seberapa penting posisi BAS dalam persidangan dan pengambilan putusan. Segala hal yang terjadi dalam persidangan adalah sebagaimana yang tercantum dalam BAS. Kemudian, seluruh hal yang tercantum dalam BAS dianggap sebagai kebenaran.
Akses terhadap BAS
SALAH satu isu dalam praktik BAS adalah terdapat kemungkinan pencatatan yang kurang lengkap atau kurang akurat sehingga hakim dapat mendasari putusan pada bukti yang keliru (Commonwealth v. Bacigalupo, 2000).
Mengingat posisi BAS dalam pengambilan keputusan, akses terhadap BAS merupakan hak esensial para pihak yang bersengketa. Pihak yang bersengketa perlu memastikan BAS sudah mencakup seluruh hal yang terjadi selama persidangan dan tercatat secara akurat sesuai dengan maksud dan bukti yang disampaikan para pihak.
Akses terhadap BAS misalnya, menjadi lebih krusial dalam sengketa transfer pricing. Sengketa transfer pricing sangat bergantung pada fakta (Tambunan dan Tobing, 2013). Penting bagi para pihak yang bersengketa untuk memastikan fakta yang disampaikan dalam persidangan telah dicatat secara lengkap dan akurat. Kekeliruan dalam pencatatan atau penafsiran fakta dalam BAS dapat dianggap sebagai kebenaran dan memengaruhi putusan.
Hak akses terhadap BAS diatur Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 1-144/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan. Pihak yang beperkara atau kuasanya dapat meminta informasi mengenai BAS dan surat-surat yang diajukan dalam persidangan, termasuk persidangan pengadilan pajak.
Transkrip sebagai Komplemen
DI beberapa negara, selain BAS, pengadilan juga menyediakan akses terhadap transkrip proses persidangan. Berbeda dari BAS, transkrip merupakan catatan tertulis dari bahasa lisan atau komunikasi verbal selama persidangan. Transkrip mencatat pernyataan dalam persidangan sesuai dengan apa yang dinyatakan kata-per-kata.
Misalnya, di Malaysia, pengadilan menggunakan mekanisme Case Recording and Transcribing (CRT) yang menyediakan alat perekam audio dan visual serta transcriber. Hasil catatan transcriber dapat diakses secara aktual di layar komputer para hakim. Kuasa hukum pun berhak mendapatkan salinan data dalam bentuk Compact Disc (CD) (Hassan dan Mokhtar, 2011).
Penggunaan transkrip diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan kredibilitas pengadilan (Weiping, 2015). Di samping itu, implementasi transkrip juga dipercaya dapat mempercepat resolusi sengketa di pengadilan (Erickson, 1977).
Di Indonesia, BAS yang dilengkapi dengan rekaman audio visual sebenarnya telah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perekaman Proses Persidangan yang menyatakan bahwa Panitera memiliki kewajiban untuk menggunakan rekaman audio visual sebagai komplemen dari BAS secara sistematis.
Kesimpulan
KEWAJIBAN penyusunan BAS berhubungan dengan kewajiban dalam Pasal 84 ayat (1) huruf ‘f’ UU Pengadilan Pajak, yaitu putusan pengadilan pajak harus memuat pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa. BAS yang dianggap sebagai bukti yang benar merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan.
Penggunaan teknologi seperti CRT dapat dipertimbangkan untuk menjadikan BAS lebih efisien, lengkap, akurat, dan dapat langsung diakses secara real-time oleh para pihak dalam persidangan. Dengan demikian, transparansi dan akuntabilitas pengadilan dapat tercapai.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.