“DECISIONS without reasons are certainly not justice: indeed they are scarcely decisions at all” - Kelly v Commissioner of An Garda Siochana. Dalam putusannya terhadap kasus pemecatan Garda Kelly, Hakim Mahkamah Agung Irlandia menyatakan putusan pengadilan yang tidak memberikan alasan menimbulkan ketidakadilan, bahkan dipersamakan dengan tidak ada putusan sama sekali.
Kewajiban untuk memberikan alasan atas putusan, atau duty to give reasons, di Indonesia dituangkan dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yang mengatur “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili” serta Pasal 53 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar”.
Di lingkup pajak, kewajiban ini tertuang dalam Pasal 84 ayat (1) huruf f dan h Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menegaskan bahwa Putusan Pengadilan Pajak harus memuat pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa dan alasan hukum yang menjadi dasar putusan. Undang-undang Pengadilan Pajak pun mengatur bahwa putusan yang tidak memenuhi salah satu dari ketentuan di atas dianggap tidak sah.
Mengapa Diperlukan?
BADAN Pembinaan Hukum Nasional (2015) menguraikan bahwa pada prinsipnya putusan pengadilan di Indonesia harus disertai dengan alasan yang dijadikan dasar untuk mengadili sebagai pertanggungjawaban hakim atas putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum sehingga memiliki nilai-nilai obyektif.
Di Amerika Serikat, duty to give reasons memiliki tujuan untuk mencegah biaya sengketa lebih lanjut karena adanya upaya hukum atas putusan yang buruk dan ambigu (Strong, 2015). Di Australia, kegagalan untuk memberikan alasan atas putusan tidak hanya merupakan error of law, tetapi juga dianggap melukai integritas institusi peradilan (Beck, 2017).
Hakim McHugh dalam putusan Soulemezis v Dudley (Holdings) Pty Ltd (1987) menyatakan terdapat tiga tujuan utama duty to give reasons. Pertama, para pihak dapat melihat sejauh mana argumen mereka telah dipahami dan digunakan sebagai dasar hakim memberikan putusan. Kedua, mendorong akuntabilitas peradilan karena putusan dapat dilakukan kajian kritis baik oleh pengadilan banding atau publik. Terakhir, alasan hakim dapat menjadi panduan untuk kasus yang akan diputus pada masa mendatang.
Menurut French CJ dan Kiefel J (2011), kewajiban memberikan alasan putusan merupakan komponen yang krusial dalam fungsi yudisial itu sendiri. Salah satunya sebagai perwujudan dari prinsip peradilan terbuka yang esensial dalam fungsi yudisial.
Selain itu, pengadilan sebagai institusi yang diberikan tanggung jawab dan kepercayaan atas kekuasaan untuk mengambil keputusan yang mempengaruhi hidup masyarakat seharusnya diwajibkan untuk memberikan alasan atas putusannya secara publik (Gleeson CJ dalam Heydon J, 2008).
Gleeson CJ (2008) berpendapat kewajiban memberikan alasan ini mendukung pengambilan keputusan yang baik. Hal ini dikarenakan pengambil keputusan yang mengetahui keputusannya dapat diakses dan dikritisi cenderung akan mengambil keputusan yang masuk akal.
Parameter
DALAM memberikan alasan, tidak cukup bagi hakim untuk hanya membuat ringkasan atas bukti-bukti dan pernyataan singkat mengenai apakah argumen pihak-pihak yang bersengketa diterima tanpa menyertakan alasan. Alur pemberian alasan harus mengungkapkan bukti mana yang diterima atau ditolak, penjelasan mengapa bukti tersebut diterima atau ditolak, dan penjelasan bagaimana temuan atas suatu fakta mempengaruhi kesimpulan akhir (Neave, Santamaria JJA, dan Ginnane JJA, 2015)
Kedalaman suatu alasan agar memenuhi syarat duty to give reasons bergantung dari situasi kasus yang dihadapi. Namun demikian, pada prinsipnya alasan harus mencakup tiga poin paling penting yang terungkap dalam persidangan (Nettle JA, 2005). Tiga poin penting tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, adalah poin temuan atas sengketa fakta (question of facts). Kedua, poin yang harus dicakup adalah rujukan atas bukti-bukti dan material lainnya yang menjadi dasar temuan tersebut. Ketiga, adalah poin penjelasan yang mudah dimengerti mengenai alur logika alasan (path of reasons) yang digunakan hakim sejak penilaian bukti, temuan, sampai dengan kesimpulan akhir.
Perlu diperhatikan bahwa hakim tidak cukup hanya merujuk pada bukti atau temuan material yang diterima dan menjadi dasar putusan. Apabila terdapat bukti atau temuan material yang ditolak, hakim juga harus merujuk pada bukti atau temuan material tersebut dan menjelaskan mengapa bukti atau temuan material tersebut ditolak. Hal ini juga berlaku pada argumen atau isu substantial yang dibawa oleh pihak yang bersengketa (Nettle JA, 2005)
Selanjutnya, alasan yang baik adalah alasan yang dapat memberikan pemahaman atas path of reasons bagaimana suatu bukti bisa menghasilkan suatu kesimpulan (Nettle JA, 2005). Kegagalan untuk memberikan pemahaman tersebut akan menyebabkan pihak yang bersengketa tidak mengerti mengapa mereka kalah/menang sehingga pihak yang kalah akan mencari keadilan dan bersengketa kembali di peradilan yang lebih tinggi (Warren CJ dan Nettle JA, 2005).
Kesimpulan
SISTEM peradilan di Indonesia telah mewajibkan hakim untuk memberikan alasan atas putusannya. Kewajiban ini diharapkan dapat mendorong akuntabilitas dan transparansi dalam sistem yudisial di Indonesia.
Lebih lanjut, saat ini, Pengadilan Pajak melalui situs web-nya sudah mempublikasikan naskah putusan lengkap yang mulai dipublikasi sejak Maret 2020. Ini adalah suatu terobosan positif dan Penulis sangat mengapresiasi.
Transparansi putusan dan kewajiban untuk memberikan alasan dapat mendukung transparansi dan perkembangan ilmu perpajakan. Dengan demikian, dapat dijadikan pembelajaran, bahan diskusi, dijadikan referensi, serta dinilai konsistensinya dengan putusan-putusan sebelumnya.
Kemudian, para pihak yang bersengketa juga dapat mengetahui dengan jelas mengapa sengketa dikabulkan atau ditolak. Pada akhirnya, upaya pengajuan Peninjauan Kembali (PK) atas sengketa-sengketa pajak kepada Mahkamah Agung (MA) diharapkan dapat berkurang. (Disclaimer)
*artikel ini telah diperbarui pada 10 Februari 2021. Ada perubahan pada paragraf ketiga. Awalnya penulis mencantumkan Pasal 84 ayat (1) huruf 6 dan 8. Kemudian, diubah menjadi Pasal 84 ayat (1) huruf f dan h.
*artikel ini telah diperbaharui per 3 Desember 2021 dengan menambahkan Pasal 53 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman pada paragraf kedua.