MENURUT laporan Future of Jobs 2025 dari World Economic Forum (WEF), sebanyak 39% keterampilan utama di dunia kerja diperkirakan akan terdampak disrupsi signifikan hingga 2030.
Pergeseran ini tidak hanya mencerminkan perubahan apa yang dikerjakan, tetapi juga siapa yang dibutuhkan. Individu dengan kapasitas reflektif, kolaboratif, dan adaptif akan menjadi inti dari lanskap kompetensi masa depan.
Dalam konteks ini, profesi konsultan pajak turut berada di pusaran perubahan. Di tengah derasnya arus digitalisasi, ketidakpastian global, dan dinamika kebijakan yang terus bergerak, konsultan pajak ditantang untuk tidak hanya memahami regulasi ketentuan pajak, tetapi juga menata ulang kapabilitasnya agar tetap relevan.
Lantas, sejauh mana profesi konsultan pajak harus bertransformasi agar tetap tajam secara teknis, tangguh secara etis, bermanfaat secara sosial, dan bermakna untuk seluruh pemangku kepentingan?
Jika profesi konsultan pajak ingin tetap berada di garis depan di dalam sistem perpajakan yang terus bergerak dengan dinamis, pembaruan kapabilitas tidak lagi bisa ditunda. Transformasi ini tidak hanya mencakup pelatihan teknis pajak atau adaptasi terhadap teknologi digital, melainkan perlu menyentuh peran penting konsultan pajak sebagai penghubung kepercayaan antara otoritas dan masyarakat.
Taxpayers Charter yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada Juli 2025 menjadi pengingat bahwa nilai-nilai seperti transparansi, perlindungan, dan kesetaraan merupakan nilai-nilai yang terus diperjuangkan.
Merujuk poin tujuh hak wajib pajak, yaitu hak untuk diwakili oleh kuasa, yang tertuang dalam piagam tersebut, konsultan pajak sebagai kuasa wajib pajak, berada di titik sentral dalam menjembatani relasi antara otoritas dan wajib pajak.
Transformasi kapabilitas konsultan pajak dapat dimulai dari tiga kapabilitas utama, yakni fleksibilitas berpikir, empati, dan berpikir sistemik. Ketiganya muncul sebagai respons terhadap disrupsi global yang semakin kompleks, sekaligus menandai bergesernya fokus dari keterampilan rutin menuju kemampuan reflektif dan adaptif. Dengan demikian, setiap kapabilitas ini patut untuk direfleksikan secara lebih mendalam.
Pertama, fleksibilitas berpikir atau cognitive flexibility merupakan kemampuan untuk menyesuaikan cara pandang dan pendekatan ketika menghadapi situasi yang berubah (Hohl dan Dolcos, 2024). Laporan dari WEF (2025) menempatkan fleksibilitas berpikir (resilience, flexibility, and agility) pada peringkat kedua dari 26 keterampilan terpenting di masa depan.
Dalam konteks dunia pajak yang dinamis, konsultan pajak tidak cukup hanya memahami ketentuan pajak secara tekstual. Dalam berpraktik, profesi ini juga dituntut untuk berpikir lintas sektor, mengadopsi berbagai disiplin ilmu, serta menghubungkan aspek hukum, bisnis, dan sosial dalam penerapannya (Darussalam, 2024).
Fleksibilitas berpikir bukan sekadar keterampilan adaptasi, melainkan cara berpikir multidimensi yang memampukan konsultan untuk melihat ketentuan pajak dari berbagai perspektif. Bagi konsultan pajak, fleksibilitas berpikir bukan lagi pilihan, melainkan prasyarat untuk menjembatani kerumitan regulasi dengan kebutuhan riil masyarakat.
Kedua, empati kognitif atau cognitive empathy adalah kemampuan individu untuk secara sadar memahami emosi, pikiran, dan pengalaman orang lain dengan cara menempatkan diri dari sudut pandang orang tersebut, bukan dari perspektif diri sendiri (Decety, 2015).
Empati pada konteks ini bukan sekadar sikap sentimental, tetapi merupakan keterampilan untuk memahami kebutuhan dan posisi orang lain secara utuh tanpa mengorbankan prinsip profesional.
Dalam mengilhami Taxpayers Charter yang menekankan transparansi dan perlakuan setara, empati menjadi penghubung krusial untuk membentuk komunikasi yang bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga adil secara moral. Dengan demikian, empati turut menjadi kapabilitas esensial yang perlu dikembangkan oleh profesi konsultan pajak dalam membangun relasi yang setara antara konsultan pajak selaku wakil wajib pajak dan otoritas.
Ketiga, berpikir sistemik atau systems thinking adalah sekumpulan keterampilan analitis yang saling bersinergi untuk meningkatkan kemampuan dalam mengenali dan memahami sistem secara menyeluruh, memprediksi perilaku sistem, serta perancang perubahan yang efektif agar dapat mencapai hasil yang diinginkan (Arnold dan Wade, 2015).
Apabila dikaitkan dengan pajak, individu yang dapat memiliki kemampuan berpikir sistemik mampu mengidentifikasi keterkaitan antar elemen dalam sistem pajak yang kompleks. Profesi konsultan pajak tidak cukup memahami aturan secara terpisah, tetapi juga harus mampu mengevaluasi dampak ketentuan pajak terhadap perilaku wajib pajak hingga persepsi publik terhadap suatu ketentuan pajak.
Lebih jauh, berpikir sistemik juga menuntut kepekaan terhadap relasi antara otoritas dan wajib pajak dalam sistem pajak itu sendiri. Artinya, konsultan pajak tidak bisa sekadar menjadi penafsir ketentuan secara teknis, tetapi perlu menyadari posisinya sebagai penjaga kepentingan otoritas dan wajib pajak secara adil dan proporsional.
Dengan berpikir sistemik, konsultan pajak tidak lagi berperan sebagai penerjemah ketentuan yang berlaku, melainkan menjadi perancang solusi pajak yang menyeluruh, kontekstual, dan berorientasi pada perbaikan sistem pajak menjadi lebih baik lagi.
Penguatan tiga kompetensi ini bukan hanya membentuk konsultan pajak yang cakap secara teknis, tetapi juga tangguh secara etika, berpikir strategis, dan kontekstual. Inilah yang membedakan konsultan pajak yang sekadar menguasai ketentuan dengan konsultan pajak yang mampu menghadirkan makna dalam setiap praktiknya.
Laporan International Tax Review (2025) menyoroti kecenderungan baru di kawasan Asean, yakni wajib pajak kini lebih mengutamakan konsultan pajak yang mampu membangun relasi, bukan sekadar memberikan panduan teknis.
Perusahaan juga semakin menuntut ketajaman analisis yang lebih terspesialisasi dan solusi yang kontekstual. Beberapa juga merasa bahwa konsultan pajak yang selama ini mendampingi hanya menyampaikan saran yang generik, jauh dari kebutuhan riil yang dihadapi.
Tanpa transformasi kapabilitas, profesi ini juga berisiko kehilangan relevansi. Generasi profesional muda hadir dengan ekspektasi yang berbeda: talenta-talenta ini mencari nilai, makna, serta personal development dalam pekerjaan, bukan imbalan finansial semata (Stiglbauer et al., 2022). Jika profesi konsultan pajak gagal menjawab ekspektasi ini, bukan tidak mungkin akan muncul krisis regenerasi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa cognitive flexibility, systems thinking, dan empati bukan lagi keunggulan tambahan, melainkan kebutuhan dasar. Kapabilitas tersebut memungkinkan konsultan pajak untuk berpikir tajam dan terspesialisasi, menyusun solusi strategis, dan menjalin relasi yang bermakna dengan seluruh pemangku kepentingan.
Untuk menjawab tantangan zaman, langkah paling strategis dapat dimulai dari refleksi personal konsultan pajak: apakah peran yang dijalankan selama ini hanya bersifat teknis semata atau sudah memberi nilai tambah yang bermakna bagi ekosistem pajak? Pertanyaan ini membuka ruang pembelajaran yang lebih dalam, bukan sekadar soal penguasaan ketentuan pajak, tetapi juga nilai, etika, dan kontribusi terhadap system pajak yang lebih baik lagi.
Di sinilah transformasi kapabilitas profesi konsultan pajak menemukan esensinya, yakni sebagai jembatan antara profesionalisme yang kokoh dan masa depan profesi yang lebih utuh, tangguh, dan bermakna bagi pemangku kepentingan.
Transformasi kapabilitas tidak harus bergerak dengan seragam dan masif. Hal terpenting justru dimulai dari langkah pertama, yaitu kesadaran bahwa profesi konsultan pajak sedang dituntut zaman, dan saat ini kita memilih untuk tumbuh bersama di dalamnya. (sap)