DENGAN prinsip realisasi dalam konsep dasar perpajakan, pengenaan pajak hanya berlaku ketika keuntungan dari aset benar-benar terealisasi melalui transaksi, seperti penjualan (Tax Policy Center, 2023).
Prinsip tersebut memberikan kepastian hukum, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang keadilan. Isu keadilan muncul terutama ketika menyangkut individu atau perusahaan dengan kepemilikan aset bernilai tinggi yang belum direalisasikan.
Salah satu contohnya adalah kasus Moore versus Amerika Serikat (Moore v. United States). Kasus ini menjadi sorotan karena menantang prinsip realisasi. Kasus ini melibatkan pasangan Moore yang berinvestasi di perusahaan di India pada 2006.
Ketika perusahaan tersebut go public pada 2017, nilai investasi melonjak tinggi. Namun, selama waktu tersebut, mereka tidak menjual saham dan tidak merealisasikan keuntungan secara fisik dalam bentuk uang atau aset apapun (Zaretsky, 2023).
The Tax Cuts and Jobs Act (TCJA) pada 2017 mewajibkan perusahaan Amerika Serikat (AS) untuk membayar pajak atas pendapatan yang dikumpulkan di luar negeri. Akibatnya, pasangan Moore ‘dipaksa’ membayar pajak atas keuntungan yang belum direalisasikan dari hasil investasi di India.
Pajak tersebut dikenakan meskipun tidak ada realisasi keuntungan yang diterima dalam bentuk uang atau aset apapun. Mereka berpendapat bahwa ini tidak adil dan bertentangan dengan prinsip ‘tidak ada pajak tanpa realisasi’ (Zaretsky, 2023).
Keputusan Mahkaman Agung yang memenangkan pemerintah AS dalam kasus ini memperkuat wewenang pemerintah untuk mengenakan pajak atas keuntungan yang belum direalisasikan. Hal ini sekaligus membuka potensi pada masa depan bagi penerapan pajak mark-to-market, yakni pajak atas nilai aset saat ini dan bukan hanya saat aset tersebut dijual.
Pajak mark-to-market yang diusulkan pemerintahan Biden dan Senator Ron Wyden dipandang sebagai solusi potensial untuk mengatasi ketidakadilan atas permasalahan unrealized gains. Hal ini dikarenakan semua keuntungan, baik yang sudah maupun belum direalisasikan dapat dikenakan pajak.
Keputusan ini tentunya memicu perdebatan sengit tentang keadilan pajak. Pertanyaan yang muncul, “Apakah adil mengenakan pajak pada keuntungan investasi yang belum direalisasi, yang secara teoretis bisa hilang begitu saja jika nilai aset atau investasi turun?”
Berpijak dari kasus Moore, jika keuntungan yang belum direalisasikan sudah dikenai pajak, ada anggapan skema tersebut tidak adil bagi para investor. Hal ini dikarenakan mereka belum menerima realisasi atau uang tunai dari keuntungan atas investasi tersebut.
Di sisi lain, otoritas pajak Negeri Paman Sam berpendapat bahwa keuntungan yang belum direalisasikan dapat dianggap sebagai salah satu indikator kekayaan seseorang. Dengan demikian, hal tersebut dapat menjadi dasar pengenaan pajak.
Dapat dimengerti bahwa pada satu sisi, prinsip realisasi bisa dianggap tidak adil karena memungkinkan individu kaya untuk menunda realisasi keuntungan. Dalam konteks ini, ada potensi penghindaran pajak melalui skema tersebut.
Di sisi lain, keuntungan yang belum direalisasikan tetap mencerminkan peningkatan kekayaan wajib pajak. Oleh karena itu, pengenaan pajak bisa menjadi salah satu cara untuk memastikan bahwa semua orang, termasuk yang superkaya, membayar pajak sesuai dengan kemampuan ekonomis sehingga mencerminkan keadilan.
Pemajakan Orang Superkaya
KASUS Moore tentunya juga menyoroti tantangan dalam pemajakan orang superkaya. Sebagian besar kekayaan dari orang superkaya sering terikat dalam aset yang belum direalisasikan, seperti saham dan properti. Kegiatan investasi itulah yang umumnya dilakukan orang superkaya.
Jika menggunakan prinsip realisasi atas kegiatan tersebut, orang akan cenderung memiliki lebih banyak fleksibilitas untuk mengatur waktu realisasi keuntungan. Selain itu, orang dapat meminimalkan beban pajak yang akan ditanggung.
Untuk mengatasi tantangan dalam pemajakan orang superkaya, terdapat beberapa alternatif kebijakan yang telah diusulkan.
Pertama, meningkatkan pajak perusahaan. Sebagian besar kekayaan orang kaya terikat dalam saham perusahaan yang diinvestasi secara publik. Pajak perusahaan, terutama yang dikendalikan oleh orang kaya, sebagian besar dibebankan atas economic rents.
Kedua, melakukan pemajakan atas apresiasi yang belum direalisasikan dalam kondisi tertentu, seperti ketika digunakan sebagai jaminan pinjaman.
Ketiga, mencabut pajak harta warisan dan hadiah yang penuh celah. Kemudian, menggantinya dengan pajak warisan yang komprehensif. Hal ini dapat membantu mengurangi konsentrasi kekayaan antargenerasi (Yonah, 2024).
Kombinasi dari ketiga alternatif kebijakan tersebut dapat memastikan bahwa wajib pajak akan membayar pajak dengan adil. Kebijakan ini juga akan berkontribusi untuk mengurangi ketidaksetaraan kekayaan.
Putusan atas kasus Moore tidak hanya berdampak pada sistem pajak AS, tetapi juga memiliki implikasi global. Negara-negara lain, termasuk Indonesia, perlu mempertimbangkan pengaruh putusan ini dalam upaya untuk memajaki orang kaya dan perusahaan multinasional.
Di Indonesia, ketidaksetaraan kekayaan juga menjadi masalah yang signifikan. Keputusan Moore dapat menjadi pengingat sekaligus sinyal mengenai tantangan dalam merancang kebijakan pajak yang efektif dan adil.
Sistem pajak yang adil tidak hanya tentang meningkatkan pendapatan pemerintah, tetapi juga memastikan bahwa semua orang, termasuk orang kaya, membayar bagian pajak yang adil. Hal ini penting untuk mengurangi ketidaksetaraan kekayaan, meningkatkan kepercayaan pada pemerintah, dan pada akhirnya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera (Murphy, 2015).
Prinsip keadlian merupakan salah satu atribut penting yang ‘diinginkan’ dalam suatu sistem perpajakan. Keadilan terus menjadi karakteristik yang paling sering dibahas ketika menggambarkan sistem pajak yang ideal.
Ada dua kriteria penting bagi sistem perpajakan agar dapat dianggap setara. Pertama, keadilan horizontal. Dalam konteks kriteria ini, wajib pajak memiliki posisi yang sama dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Kedua, keadilan vertikal. Wajib pajak yang memiliki lebih banyak penghasilan akan melaksanakan kewajiban pajaknya lebih besar karena dianggap lebih mampu. Model dua dimensi tersebut sederhana sekaligus dapat digunakan untuk mengevaluasi permasalahan keadilan (AICPA, 2017).
Meskipun hasil putusan atas kasus Moore menghadirkan tantangan, nyatanya ada juga peluang yang terbuka untuk merancang kebijakan pajak yang lebih baik. Eksplorasi dan implementasi reformasi pajak yang inovatif dapat memastikan bahwa sistem pajak berkontribusi pada terciptanya masyarakat lebih baik.
Penting untuk diingat bahwa konteks hukum dan ekonomi setiap negara berbeda. Oleh karena itu, setiap reformasi dalam kebijakan pajak harus mempertimbangkan kondisi spesifik negara tersebut. Selain itu, kebijakan harus disusun dengan hati-hati untuk memastikan efektivitas dan keadilannya (Pogge & Mehta, 2016).
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)