ANALISIS TRANSFER PRICING

Perdebatan Transfer Pricing dari Kasus Veritas

Redaksi DDTCNews
Kamis, 07 Februari 2019 | 13.31 WIB
ddtc-loaderPerdebatan Transfer Pricing dari Kasus Veritas
DDTC Consulting

SEJAK 1970-an, perdagangan harta tak berwujud (intangibles asset) telah semakin ramai dan sering menjadi kunci kesuksesan bisnis di banyak perusahaan. Hal ini meningkatkan peran bagi transaksi lintas batas atas harta tak berwujud dalam perusahaan multinasional.

Adanya transaksi transfer harta tak berwujud tersebut kemudian mendapat perhatian dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) beserta otoritas pajak di berbagai negara (Lagarden, 2014).

Berdasarkan hasil survei transfer pricing global (Bakker, 2011), salah satu fokus dari mayoritas otoritas pajak adalah terkait dengan harta tak berwujud. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan harta tak berwujud, menurut OECD (2001) adalah harta tak berwujud yang mengacu kepada aset nonfisik dan nonkeuangan seperti hak cipta, know-how dan rahasia dagang, dan lisensi.

Veritas Software versus IRS
TRANSFER pricing atas transaksi harta tak berwujud juga telah menyebabkan banyak kontroversi antara wajib pajak dan otoritas pajak terkait. Hal ini dikarenakan jumlah pembayaran royalti atas transfer harta tak berwujud yang tidak sesuai.

Padahal, pembayaran royalti atas transfer harta tak berwujud harus sepadan dengan penghasilan yang diperoleh. Istilahnya ‘commensurate with income. Salah satu contoh kasus yang menarik terkait dengan sengketa pajak atas transfer harta tak berwujud adalah kasus Veritas Software Corp versus otoritas pajak di Amerika Serikat (Internal Revenue Service/IRS) (Kumar, 2013).

Sebagai informasi, Veritas Software adalah perusahaan manajemen data internasional,dengan spesialisasi software manajemen penyimpanan data. Perusahaan ini berkantor pusat di Mountain View, California, Amerika Serikat (AS).

Kasus ini berawal dari Veritas Software yang memberikan lisensi atas software miliknya kepada anak perusahaannya di luar negeri, Veritas Ireland, melalui skema pembagian biaya (cost sharing arrangement). Lisensi itu mensyaratkan adanya pembayaran royalti dari Veritas Ireland kepada Veritas Software.

Setelah setahun, Veritas Ireland kemudian membayar royalti dengan pembayaran yang dilakukan sekaligus (lump sum amount). Atas pembayaran itu, IRS melakukan pemeriksaan dan menyimpulkan bahwa Veritas Software melakukan pengurangan tagihan royalti atas software tersebut.

Selanjutnya, IRS menghitung ulang nilai tagihan yang wajar berdasarkan penerapan metode penghasilan (income method). Penting dicatat bahwa penerapan metode penghasilan membutuhkan informasi atas jangka waktu pembayaran royalti. Periode itu umumnya ditentukan berdasarkan masa manfaat dari suatu harta tak berwujud.

Masa Manfaat
MENARIKNYA, terdapat perbedaan pandangan terhadap masa manfaat dari lisensi software antara Veritas Software dan IRS. IRS menghitung bahwa setidaknya lisensi tersebut dapat memberikan manfaat hingga 10 tahun ke depan.

Alasannya, harta tak berwujud (existing intangibles) pada masa sekarang memiliki masa manfaat yang terus berlanjut (perpetual life) dan pengembangan generasi selanjutnya bergantung pada existing intangibles. Sementara itu, Veritas Software memperkirakan masa manfaat yang lebih singkat, yakni 4 tahun.

Penggunaan pendekatan yang berbeda antara IRS dan Veritas Software Corp, termasuk perbedaan pandangan pada masa manfaat dari harta tak berwujud, menghasilkan perbedaan perhitungan nilai wajar sebesar lebih dari US$1,5 miliar dibandingkan dengan jumlah yang sebenarnya dibayar oleh Veritas Ireland.

Pada akhirnya, Pengadilan Pajak AS memutuskan menolak metode maupun perhitungan masa manfaat harta tak berwujud yang diajukan IRS. Sehubungan dengan masa manfaat atas software, Pengadilan Pajak AS setuju dengan pandangan Veritas Software bahwa teknologi yang sekarang (existing technology) memiliki masa manfaat rata-rata 4 tahun. Oleh karena itu, Pengadilan Pajak AS memutuskan pembayaran lisensi tersebut hanya selama 4 tahun.

Berdasarkan kasus yang dialami Veritas Software, dapat disimpulkan bahwa penggunaan estimasi nilai wajar berdasarkan metode penghasilan diperbolehkan. Namun, perlu untuk meletakkannya dalam konteks pihak independen.

Dari kasus ini, Pengadilan Pajak mempertanyakan sejauh mana pihak independen memiliki keinginan untuk membayar royalti atas atas lisensi software yang sama selama bertahun-tahun.

Sebagai penutup, kasus Veritas Software Corp memperlihatkan rumitnya perdebatan analisis transfer pricing atas harta tak berwujud terutama karena dimungkinkannya apa yang disebut sebagai hypothetical arm’s length yang tidak melulu merujuk pada ketersediaan pembanding yang aktual.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.