Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Pencairan restitusi, terutama melalui fasilitas restitusi dipercepat, yang cukup besar pada 2019 diharapkan mampu membuat kinerja korporasi membaik. Alhasil, kinerja penerimaan pajak 2020 ikut membaik. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Kamis (9/1/2020).
Berdasarkan data Ditjen Pajak (DJP), realisasi restitusi pajak pada tahun lalu tercatat senilai Rp143,97 triliun atau naik sekitar 21% dibandingkan tahun sebelumnya Rp118,87 triliun. Dari jumlah tersebut, hasil pemanfaatan fasilitas restitusi dipercepat mencapai Rp32 triliun, naik 45% dibandingkan tahun sebelumnya senilai Rp22 triliun.
Jika dilihat berdasarkan jenis pajak, restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) tercatat mencapai Rp100 triliun. Sisanya, sekitar Rp43,97 triliun merupakan restitusi pajak penghasilan (PPh). Adapun sektor usaha yang paling banyak memanfaatkan restitusi adalah manufaktur (tumbuh 18,05%) dan pertambangan (tumbuh 11,16%).
Direktur Potensi Kepatuhan Penerimaan Pajak Yon Arsal meyakini pencairan restitusi yang lebih cepat akan membantu cash flow perusahaan, terutama dua sektor usaha yang mendapatkan porsi cukup besar. Hal ini diyakini dapat meningkatkan profitabilitas korporasi.
“Seharusnya di bulan-bulan ini sudah terlihat [efek penerimaan pajaknya]. Secara keseluruhan nanti akan terpantau dalam laporan SPT tahunan pada April 2020,” ujar Yon Arsal.
Selain itu, beberapa media nasional juga masih menyoroti kenaikan target pertumbuhan penerimaan pajak pada 2020. Kenaikan target itu merupakan implikasi dari melebarnya shortfall – selisih kurang realisasi dan target – penerimaan pajak 2019 dari prognosis pemerintah.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pencairan restitusi memang berdampak pada realisasi penerimaan pajak secara neto. Namun, fasilitas ini juga memang diarahkan untuk mendukung ekspansi dunia usaha.
“Percepatan restitusi membuat perusahaan-perusahaan mempunyai napas cukup baik di tengah besarnya tekanan ekonomi,” kata Sri Mulyani.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak tahun lalu senilai Rp1.332,1 triliun atau 84,4% dari target Rp1.577,56 triliun. Artinya, shortfall mencapai Rp245,5 triliun. Penerimaan itu hanya tumbuh 1,4% dibandingkan tahun sebelumnya.
Dalam APBN 2020, target penerimaan pajak dipatok senilai Rp1.642,6 triliun. Itu artinya, pertumbuhan penerimaan pajak tahun ini ‘dipaksa’ untuk mencapai 23,3%. Target itu melompat jauh, terutama bila dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan 2019.
Dirjen Anggaran Kemenkeu Askolani mengatakan sejauh ini belum dapat dipastikan ada atau tidaknya perubahan APBN 2020. Dari sisi belanja APBN akan dijalankan sesuai rencana. Terlebih, Presiden Jokowi menginginkan adanya percepatan belanja di awal tahun.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengungkapkan sebagian data keuangan yang telah diterima otoritas pajak – termasuk hasil implementasi automatic exchange of information (AEoI) – telah digunakan untuk menguji kepatuhan wajib pajak. Hasilnya cukup bagus.
“Dengan hasil yang bagus itu [pemanfaatan data pada 2019], 2020 ini akan semakin kita manfaatkan [datanya]. Semakin banyak pemanfaatannya. Jadi, kita punya harapan bahwa pada 2020, pertumbuhannya [penerimaan pajak] pasti lebih baik daripada 2019,” jelas Hestu.
Kemenkeu memastikan pembahasan revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang sudah masuk ke DPR tidak dilakukan tahun ini. Omnibus law perpajakan akan mendapat prioritas untuk dibahas dan diselesaikan tahun ini.
“Terkait RUU KUP karena ketentuannya akan tertampung dalam RUU omnibus law dan sudah diharmonisasi dengan UU PPN dan UU PPh maka RUU KUP tidak jadi prioritas pembahasan 2020,” ujar Sekjen Kemenkeu Hadiyanto. (kaw)