JAKARTA, DDTCNews—Mulai 1 Januari 2020, dua negara di Asia Tenggara, yakni Singapura dan Malaysia, akan memungut pajak layanan digital atau pajak digital. Singapura akan memungut pajak digital dengan tarif 7%, sedangkan Malaysia memungut dengan tarif 6%.
Singapura merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang menerapkan pajak digital. Mereka merampungkan revisi undang-undang pajak barang dan jasa (goods and services tax/GST) pada 19 November 2018. Adapun Malaysia menyelesaikan revisi UU Pajak Jasa pada 9 Juli 2019.
Negara ketiga di Asia Tenggara yang akan menerapkan pajak digital adalah Vietnam. Negara ini sudah mengesahkan revisi UU Hukum Administrasi Pajak pada 13 Juni 2019. Vietnam akan memungut pajak digital itu mulai 1 Juli 2020, bersamaan dengan berlakunya UU tersebut. Tarifnya 10%.
Negara Asia Tenggara berikutnya yang berpotensi menerapkan pajak digital mulai 1 Januari 2020 adalah Thailand. Dasar hukumnya saat ini sedang dibahas di parlemen. Jika berhasil disahkan sebelum 31 Desember 2019, Thailand akan memungut pajak digital mulai 1 Januari 2020. Tarifnya 5%.
Di luar itu, ada Jepang (8% per 1 Oktober 2015), Korea Selatan (10% per 1 Juli 2015), Taiwan (5% per 1 Mei 2017), India (6% per 1 Juni 2016), Norwegia (25% per 1 Juli 2011), Rusia (20% per 1 Januari 2019), Selandia Baru (15% per 1 Oktober 2016), dan Prancis (3% per 1 Januari 2019).
Lalu Inggris (2% per 1 April 2020), Hongaria (7,5% per 1 Juni 2017), Ceko (7% per 1 Januari 2020), dan Turki yang dalam proses amendemen (7,5% per 1 Januari 2020). Total jenderal, lebih dari 35 negara di dunia menerapkan aksi unilateral untuk memungut pajak digital. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Hingga kini, Indonesia tak kunjung memulai revisi UU Pajaknya, baik UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan, maupun UU Pajak Pertambahan Nilai. UU KUP sudah dikirim ke DPR pada 2016, tetapi setelah pergantian menteri, pemerintah tidak membahasnya.
Pada September 2019, muncul UU lain yang disiapkan, yaitu omnibus law RUU Kebijakan Perpajakan untuk Memperkuat Perekonomian. Dalam RUU inilah terdapat istilah pajak transaksi digital, dan juga perubahan definisi bentuk usaha tetap (BUT) atau permanent establishment (PE).
Namun, draf RUU tersebut tidak menetapkan tarif pajak digital, dasar pengenaan pajak, sekaligus kriteria subjek pajak luar negerinya. Hal itu akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah, sedangkan tata cara pendaftaran, penyetoran, dan pendaftarannya akan ditetapkan peraturan menteri.
Dengan tiga tingkat peraturan tersebut, sekaligus mengingat draf RUU itu belum dimasukkan ke DPR, paling cepat Indonesia bisa memungut pajak digital pada 1 Januari 2021. RUU itu sendiri ditargetkan rampung pada 2021, dan dengan demikian pajak digital Indonesia berlaku mulai 1 Januari 2022.
Saat itu, sesuai dengan jadwal, konsensus global pajak digital yang dihelat Organisation for Economic Co-operation and Development sudah tercapai. Namun, dari beberapa tahun silam sampai 2022 itu pula, Indonesia bisa dianggap memberi subsidi pajak ke Netflix, Spotify, Google, Youtube, Amazon, Facebook, dan lainnya.
Pemberian subsidi itu merupakan diskriminasi pajak akibat peraturan yang tidak diubah. Karena itu, muncul gagasan membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) KUP, agar pajak digital bisa segera diberlakukan, sehingga negara tidak terlalu lama menyubsidi raksasa digital itu.
Tentu, penerbitan perpu tersebut juga ada risikonya. Pertama, tidak mudah merumuskan argumentasi sekaligus legitimasi yang kuat dan bisa diterima publik untuk memenuhi syarat ‘dalam hal-ikhwal kegentingan yang memaksa’ seperti diatur Pasal 22 UUD 1945.
Memang, perpu adalah hak Presiden. Namun, ini jelas berbeda dengan Perpu No.1 Tahun 2017, yang syarat kegentingan memaksanya bersumber dari paksaan internasional agar sebelum 30 Juni 2017 RI membuat UU akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, kalau tidak dinyatakan gagal.
Kedua, perpu ditolak DPR. Jika DPR menolak mengundangkan perpu pada masa sidang berikutnya, atau dalam 6 bulan, pemerintah harus mengembalikan pembayaran pajak yang sudah masuk ke kas negara kepada wajib pajak. Hal ini tentu akan menggerus kredibilitas kebijakan fiskal.
Lantas, di tengah tekanan penerimaan pajak akibat perlambatan ekonomi saat ini, apa yang bisa disimpulkan? Bikin Perpu agar pajak digital bisa cepat dipungut per 1 Januari 2020, atau menunggu sampai konsensus global dan UU Omnibus Law terbentuk 2021? Atau Anda punya pandangan lain?
Tulis komentar Anda di bawah ini, siapa tahu Anda yang terpilih meraih hadiah handphone Samsung!
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
WIRO HADINO
ratih salsabila
David
harry gunawan
Muhammad Taufiq Badruzzuhad
Dwiki Agung Pebrianda
Agata Melinda Kristi
fanni fauziah
Ammar Ramadhan
Ridwan Pandu S
Muhammad Yusaka
fajarizki galuh syahbana yunus
Teguh Budiono
Ardian Mahardi
Arie R. P Sinuhaji
desnisensini
Werlando E sinaga
Arif Gunawan
Dwi Apriambodo