Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji dalam konferensi pers 'Outlook dan Tantangan Sektor Pajak 2019: Berebut Suara Wajib Pajak' di Menara DDTC, Kamis (13/12/2018). (Foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews – Dalam konteks pemilihan presiden, ada aspek yang lebih penting dan substantial daripada sekadar membandingkan platform pajak para calon pemimpin nasional.
Hal ini disampaikan Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji. Menurutnya, aspek yang lebih penting adalah mengaitkan relevansi antara desain sistem pajak yang diusulkan, kebutuhan masyarakat, target pembangunan ke depan, dan menjamin dukungan publik di masa mendatang untuk meningkatkan penerimaan dalam kontrak fiskal yang ideal.
“Ini tentu bukan soal yang mudah. Namun, untuk menjawab hal tersebut arah politik pajak 2019-2024 haruslah berbasis pada paradigma mendengar suara wajib pajak dan memperkuat partisipasi pemangku kepentingan,” ujarnya dalam konferensi pers 'Outlook dan Tantangan Sektor Pajak 2019: Berebut Suara Wajib Pajak' di Menara DDTC, Kamis (13/12/2018).
Menurutnya, paradigma ini penting karena empat alasan. Pertama, menghadapi fragmentasi politik. Pasca Orde Baru, konsolidasi politik semakin sulit terwujud dan kesepahaman antarkekuatan politik dalam memandang kebijakan semakin divergen. Oleh karena itu, harus ada kesepahaman antarkelompok kepentingan dan politik.
Kedua, mengurangi ‘biaya pemungutan pajak’. Pemerintah perlu memiliki strategi meningkatkan kepatuhan sukarela, terutama melalui upaya menciptakan trust kepada pemerintah. Semakin tinggi derajat kepatuhan sukarela, semakin rendah biaya transaksi pemungutan pajak.
Ketiga, menjamin akseptabilitas dan stabilitas. Dukungan sangat dibutuhkan dalam menjamin efektivitas sistem pajak serta menyempurnakan hal-hal yang menjadi tujuan pemerintah. Keempat, upaya mendengar suara wajib pajak dan memperkuat partisipasi para pemangku kepentingan akan menjamin sistem pajak yang demokratis dan kontrak fiskal yang ideal.
Bawono mengatakan setidaknya ada beberapa cara untuk mewujudkan paradigma tersebut. Beberapa cara itu seperti perlindungan hak-hak wajib pajak dalam sistem administrasi pajak, penguatan peran Komite Pengawas Perpajakan sebagai tax ombudsman yang hadir mewakili wajib pajak, serta proses perumusan kebijakan yang partisipatif dan berbobot dengan adanya dukungan kehadiran lembaga riset di bidang pajak.
Selain itu, adanya interaksi antarpemangku kepentingan pajak yang setara dan berkualitas dalam menjamin ekosistem yang mendukung terwujudnya sistem pajak yang berimbang turut dibutuhkan. Selanjutnya, yang paling penting adalah dukungan kepemimpinan nasional.
Dinamika dalam mengumpulkan penerimaan pajak akan semakin beragam dengan pergantian administrasi pemerintahan di tahun depan. DDTC Fiscal Research memetakan empat tren pajak global yang juga perlu untuk diperhatikan lebih lanjut oleh pemerintah.
Pertama, tren kompetisi pajak dalam rangka menggenjot ekonomi dan daya saing. Dimensi ini harus diperhatikan karena masih berjalannya reformasi perpajakan di Tanah Air. Kedua, meningkatnya kontribusi penerimaan pajak konsumsi.
Menurutnya, instrumen pajak konsumsi seperti PPN akan menjadi tumpuan sebagai motor penerimaan dalam jangka panjang. Instrumen ini disebut lebih mudah dikumpulkan dan juga tidak makan banyak biaya jika dibandingkan mengumpulkan pajak berbasis penghasilan.
Ketiga, meningkatnya upaya mencegah penghindaran pajak dan kerjasama pertukaran informasi. Keempat, berbagai terobosan administrasi dalam meningkatkan kepatuhan. Untuk terobosan administrasi, ada berbagai macam cara yang bisa dilakukan, salah satunya adalah meningkatkan keterlibatan wajib pajak melalui teknologi dan digitalisasi. (kaw)