Ketua Komite Pengawas Perpajakan Gunadi.
PERLINDUNGAN hak-hak wajib pajak menjadi salah satu aspek yang krusial dalam kehidupan bernegara, termasuk Indonesia. Kepastian hukum terkait hak tersebut tidak bisa dipisahkan dalam upaya penciptaan keadilan dalam sistem perpajakan.
Lantas, bagaimana kondisi yang terjadi di Indonesia? Faktanya, kasus sengketa pajak yang masuk ke Pengadilan Pajak tiap tahunnya mengalami kenaikan. Apakah ini menjadi indikator rendahnya kepastian hukum perpajakan di Tanah Air?
Untuk mencari tahu kondisi yang terjadi, InsideTax (majalah perpajakan bagian dari DDTCNews) berkesempatan mewawancarai Ketua Komite Pengawas Perpajakan Gunadi. Komite ini menjadi pihak yang selama ini menjembatani wajib pajak dengan otoritas terkait. Berikut kutipannya:
Bagaimana tren pengaduan yang diterima Komite Pengawas Perpajakan sejauh ini?
Kita mempunyai fungsi pengawas perpajakan, analisis dan studi, pengaduan, dan mediasi. Kalau melihat tren pengaduan, puncaknya pada 2016, sebanyak 114. Angka itu kemudian menurun pada 2017 dan 2018, masing-masing 77 dan 52 pengaduan. Sepanjang 2014-2018, jumlah pengaduan mencapai 422. Dalam rentang periode itu, jumlah pengaduan terbanyak ada di fungsi pemeriksaan 108 (26%) dan keberatan/banding 107 (25%).
Namun, jika melihat tren dari tahun ke tahun, pengaduan dari fungsi pemeriksaan terus naik. Ini mungkin AR [account representative]-nya macam-macam. Ya secara keseluruhan, pengaduan makin berkurang sehingga tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelaksanaan administrasi perpajakan mungkin meningkat.
Mengapa ada pergeseran dari pemeriksaan ke pelayanan?
Kadang-kadang turunnya pengaduan itu karena malas, jenuh. Kalau kita perhatikan, kadang-kadang dalam pemeriksaan kan itu-itu aja yang diperiksa. Kemarin diperiksa, sekarang diperiksa lagi dengan kasus yang sama. Udah diputuskan pengadilan pajak atau mungkin ke MA [Mahkamah Agung] kasasi, ya dikoreksi lagi. Mungkin kalau mengadu bisa ribet.
Tren akhir-akhir ini kadang aneh juga. Misalnya, Kepala Kanwilnya sudah menyetujui ada merger BUT dengan perusahaan dalam negeri (PT) memakai nilai buku. Namun, dasar pemeriksa, ini kan diotak-atik pakai appraisal,bukan nilai buku. Jadi, pemahaman-pemahaman basic itu kurang. Selain itu, kepastian hukum itu penting. Yang tertulis di undang-undang ya dilakukan. Pemerika enggak boleh menafsir lain atau mengotak-atik.
Bagaimanapun, dalam sistem self assessment, kalau diterbitkan suatu SKPKB [Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar] itu sifatnya punishment karena yang tahu persis pajak yang terutang adalah wajib pajak (WP). Oleh karena itu, pemeriksa harus berhati-hati saat menerbitkan SKPKB harus dengan bukti. Oleh karena itu, dalam KUP [Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan] 2007, kalau enggak disetujui WP, enggak ada kewajiban membayar dalam mengajukan keberatan. Itu untuk menegakkan dan menguatkan sistem self assessment dan perlindungan kepada WP.
Namun, efeknya ada peningkatan sengketa. Bagaimana tanggapan Anda?
Tambah meningkat terus karena fungsi peradilan awal, saat wajib pajak mencari keadilan secara administratif tidak berfungsi. Pajak itu kan sifatnya kompromi, jadi seberapa kemampuan WP untuk membayar berdasarkan bukti-bukti yang konkret. Kalau di Singapura, walaupun official assessment tapi enggak ada bukti ya enggak akan memeriksa. Oleh karena itu, sekali diperiksa oleh aparat Singapura, sampai kapanpun dia juga enggak bakal menang di pengadilan karena ada bukti-bukti yang konkret. Kalau kita kan simsalabim saja, jadi susah.
Anda menyebut pemeriksa menafsir ketentuan undang-undang. Seperti apa praktik menafsir di kalangan pemeriksa?
Oh, tinggi sekali pendapat-pendapat itu. Mereka itu kreatif dan inovatif karena pressure penerimaan. Sekali lagi,evidence base-nya enggak ada. Pajak daerah saja sudah online system, masak pusat enggak. Ini harus dikembangkan dari waktu ke waktu. Di berbagai negara itu prinsipnya, less touch, more service. Dengan demikian, sedikit sekali berhubungan atau mendatangi WP, lebih banyak pelayanan. Yang penting terimanya banyak, tapi sarana-sarana instrumen atau orangnya sedikit saja. Jadi, harus makin efisien.
Artinya tekanan beban penerimaan yang memicu praktik menafsir di kalangan pemeriksa?
Tekanan penerimaan itu karena enggak ada data pajak. Kalau ada data pajak kan bisa dihitung realistis saja. Kalau sudah didigitalisasi, ketahuan omzet transaksi pembelian dan penjualan selama setahun, kan akhirnya bisa dihitung secara transparan.
Bagaimana prospek alternative dispute resolution di Indonesia?
Sebenarnya dispute itu tergantung kemauan dan keikhlasan dari para pejabat. Kalau mediasi itu banyak sekali caranya. Misalnya, sebelum ada pemeriksaan, kan WP boleh membetulkan SPT. Ini bagaimana kita bisa menentukan SPT itu salah? Itu tugas-tugas dari kantor pajak pada akhir tahun, semacam verifikasi atau ngecekomission atau error. Ini tentunya harus ada data lagi. Data harus tersedia karena darah dagingnya kantor pajak. Kemudian kalau dia enggak ada pembetulan, baru pemeriksaan. Dalam pemeriksaan, harus ada prinsip SPT harus dianggap sebagai benar, kecuali terbukti salah.
Orang langsung memilih pengadilan karena tidak ada jalan seperti dulu. Dulu kan ada pengadilan yang sifatnya administratif dan advance tax ruling yang bersifat kompromi. Yang diperhatikan itu ability to pay dan duitnya ada tidak. Kemungkinan WP mampu, tapi duitnya enggak ada, ya enggak bisa. Bisa juga diangsur. Makanya, orang kalau keberatan dan banding dikenakan denda 50% agar hati-hati saat mengajukan. Jadi, enggak bisa dengan alasan menunda pembayaran saja.
Komwasjak mulai sering melakukan komunikasi publik ke daerah. Apa yang ingin di sasar?
Itu dalam rangka menjajaki respons publik terkait kebijakan yang ada. Salah satunya terkait respons terhadap Surat Edaran (SE) Ditjen Pajak No.SE-15/PJ/2018. Hasilnya kita sampaikan ke KPP dan Kanwil setempat.
Apa respons publik terhadap SE tersebut?
Praktik-praktik yang terjadi di lapangan umumnya ada banyak masalah. Misalnya, saya belum baca secara detail, tapi ada salah satu kriteria bahwa yang tiga tahun tidak diperiksa berturut-turut jadi risiko tinggi. Nah, ini apa mau diperiksa? Ini yang mengkhawatirkan saja. Kalau zaman kami dulu, audit cycle-nya 5 tahun. Jadi, kalau bisa, setiap 5 tahun sekali diperiksa. Itu pun WP-nya dulu 3 juta. Itu ternyata enggak mampu juga 5 tahun sekali. Sekarang mau tiga tahunan, ya mangga kalau mampu. Namun, ini sebetulnya enggak cocok dengan sistem self assessment.Kalau sistem self assessment itu kan kembali pemeriksaan kalau ada bukti, bukan siklus.
Simak wawancara Ketua Komite Pengawas Perpajakan Gunadi selengkapnya dalam majalah InsideTax edisi 40. Unduh majalah InsideTax di sini. (kaw)