PERDEBATAN atas sengketa penentuan status Bentuk Usaha Tetap (BUT) suatu perusahaan multinasional yang menjalankan bisnis model ekonomi digital di suatu negara sumber penghasilan, menjadi dasar dari beberapa isu hangat dalam perpajakan bisnis digital.
Penentuan status BUT Agen atas suatu perusahaan multinasional dibahas dalam salah satu jurnal yang berjudul French Supreme Administrative Court Finds Taxpayer in ValueClick Case Used an Agency Permanent Establishment to Sell Online Advertising Services in France through Local Subsidiary.
Jurnal yang ditulis oleh Bob Michel ini mengobservasi putusan pengadilan (court rulings) dari satu kasus grup perusahaan digital advertising yang terkenal di Amerika Serikat, yaitu Grup ValueClick. Putusan atas sengketa tersebut dirilis pada 11 Desember 2020.
Seperti pada kasus Google, kasus ValueClick melibatkan pemain digital yang menyusun operasi usahanya di Prancis melalui anak perusahaan (ValueClick France/VCF) yang bertindak sebagai penyedia layanan pemasaran dan promosi untuk pihak afiliasi di Irlandia (ValueClick International/ VCI) yang melakukan transaksi dengan klien Prancis sehubungan dengan penyediaan jasa digital advertising.
Latar Belakang Sengketa
TERDAPAT perbedaan hasil tinjauan yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Administrasi Paris dan Mahkamah Agung Administrasi Prancis. Pengadilan Tinggi menyatakan VCI tidak memiliki dan menciptakan suatu BUT Agen dalam menjalankan aktivitas bisnisnya di Prancis, sedangkan Mahkamah Agung menemukan fakta bahwa VCI memiliki dan menciptakan suatu BUT Agen dalam menjalankan aktivitas bisnisnya di Prancis.
Dari hasil tinjauan Mahkamah Agung tersebut, perusahaan multinasional yang dianggap sebagai BUT Agen (dalam kasus ini adalah VCF) wajib membayarkan PPh Badan dan PPN atas tahun pajak yang diuji kepada otoritas pajak di negara sumber penghasilan, yaitu Prancis.
Jurnal ini pun lantas menjelaskan bagaimana suatu BUT Agen terbentuk. Pertama, untuk tujuan pengenaan PPN perlu untuk menentukan Fixed Establishment (FE) yang dilihat dari dua sisi, yaitu (i) sumber daya manusia (SDM) dan (ii) infrastruktur teknis.
Perusahaan multinasional dianggap memiliki FE jika SDM-nya memiliki kemampuan dan kewenangan dalam mengambil keputusan secara mandiri untuk menandatangani kontrak dengan klien atas bisnis yang dijalankan.
Kemudian, secara teknis, untuk kasus pada industri iklan digital, eksekusi atas penyediaan jasa iklan digital yang diberikan untuk klien dengan menjalankan model online real time linking atas pengiklan dan afiliasi.
Untuk menjalankan model itu, infrastruktur dan perangkat lunak untuk mengoperasikan sebuah digital platform dibutuhkan. Pada dasarnya, seluruh penyediaan jasa tersebut secara independen akan dilakukan oleh entitas itu sendiri di negara lokasi penyediaan jasa diberikan sehingga membentuk FE.
Dalam kasus ValueClick, karyawan VCF membuat kontrak dan bernegosiasi dengan klien Prancis bahwa peran VCI hanya memberikan tanda tangan yang secara otomatis di akhir kesepakatan kontrak.
Selanjutnya, VCF memiliki akses ke peralatan teknologi (terutama digital platform yang disebutkan di atas), meskipun faktanya infrastruktur teknis seperti data center yang dibutuhkan untuk mengoperasikan platform online advertising tidak berlokasi di Prancis dan di Irlandia. Dalam hal ini, VCF cukup untuk mengelola pelaksanaan kontrak dan membantu klien tanpa keterlibatan VCI atau entitas lain dari grup.
Alhasil, karyawan VCF dapat dianggap memiliki arti yang sesuai untuk beroperasi secara independen dari VCI untuk membentuk suatu FE di Prancis. Dengan terciptanya FE tersebut, wajib pajak harus menagih PPN kepada klien Prancis atas penyediaan jasa digital advertising.
Kedua, untuk tujuan pengenaan PPh Badan, penulis melakukan beberapa observasi yang komprehensif atas analisis yang telah dilakukan di dalam putusan Mahkamah Agung.
Menariknya, Mahkamah Agung melakukan tinjauan awal yang berangkat dari Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Prancis-Irlandia (1968) untuk tujuan pasal 2(9)(c) dalam menunjukkan eksistensi BUT dengan didukung pernyataan dari Amandemen OECD Commentaries pada Pasal 5(3) (2003) dan (2005) yang memberikan frasa “wewenang untuk membuat kontrak atas nama perusahaan”.
Pernyataan tersebut seharusnya dapat dipahami sebagai suatu frasa yang tidak membatasi aplikasi atas konsep BUT Agen untuk pihak mana yang berperan sebagai agen yang membuat kontrak secara harfiah atas nama perusahaan.
Namun demikian, P3B tidak dapat ditafsirkan berdasarkan Commentaries OECD yang diterbitkan setelah perjanjian tersebut diadopsi (P3B tahun 1968). Namun, dalam keadaan tertentu dan sebagai pengecualian, dapat dipertimbangkan oleh hakim.
Selain itu, pernyataan dalam OECD Commentaries Pasal 5(3) (2003) dan (2005) ini adalah kunci temuan Mahkamah Agung bahwa aktivitas karyawan VCF menghasilkan BUT Agen untuk VCI.
Dalam kasus VCI, kurangnya keterlibatan aktif VCI dalam penyelesaian kontrak dengan klien, dan semua tugas yang diperlukan untuk menyelesaikan kontrak dilakukan oleh VCF, dengan VCI menambahkan tanda tangan secara otomatis dan rutin merupakan indikasi pemberian wewenang kepada agen.
Lebih lanjut, pada jurnal ini penulis juga mengobservasi terkait dengan tidak adanya kontribusi dari MLI sebagai salah satu langkah berani yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan sengketa penggunaan P3B dan Pasal 5(5) OECD Model 2017 yang memberikan pembaharuan bahasa yang dapat dijadikan sebagai dasar analisis.
Sementara itu, klarifikasi yang diambil adalah jelas dari ketentuan BUT Agen dalam OECD Model 2017 yang terbaru dan tidak berasal dari Commentaries pada OECD Model 2017 sehingga posisinya lebih kuat ketimbang Commentaries OECD (2003) dan (2005).
Dalam jurnal ini, observasi utama penulis tertuju pada pembahasan atribusi laba yang menjadi aspek yang paling menantang. Pendapatan VCI dari penjualan online digital advertising harus diatribusikan ke VCF dengan menggunakan acuan laba wajar/sesuai dengan analisis fungsionalnya. Pembahasan ini menjadi tugas besar bagi pihak yang bersengketa untuk dapat ditinjau secara lebih lanjut.
Terakhir, penulis menyatakan tidak sepakat dengan isu yang menjadi fokus utama dalam kasus ini adalah terkait dengan keberadaan BUT dan atribusi keuntungan untuk BUT. Sebaliknya, penulis lebih melihat kepada isu remunerasi layanan di bawah perjanjian layanan intragrup antara VCI dan VCF.
Secara keseluruhan, jurnal ini mampu menjelaskan isu perihal BUT Agen dengan sederhana atas perkembangan terbaru. Pembahasan di dalam jurnal ini dapat menjadi referensi atas sengketa serupa pada masa yang akan datang.
Terlebih, dengan mempertimbangkan makin populernya skema perencanaan pajak internasional yang mengarah pada model yang agresif untuk bisnis ekonomi digital sehingga jurnal ini direkomendasikan untuk dapat dipelajari lebih lanjut oleh para praktisi, peneliti hukum, pemerhati pajak, dan tentunya otoritas pajak.
*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.