OPINI PAJAK

Menggenjot Penerimaan Pajak dengan Meningkatkan Kesetaraan Gender

Selasa, 30 Maret 2021 | 09:10 WIB
Menggenjot Penerimaan Pajak dengan Meningkatkan Kesetaraan Gender

Alamanda, pegawai Ditjen Pajak

KESETARAAN gender merupakan isu hangat yang dihadapi oleh berbagai negara selama dua dekade terakhir, termasuk Indonesia. Isu ini menjadi penting karena kesetaraan gender memiliki kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.

Meskipun Indonesia sudah melakukan upaya penurunan ketimpangan gender melalui komitmen bersama dengan United Nation Development Programme (UNDP), kondisi ketimpangan gender di Indonesia saat ini masih terbilang tinggi.

Hal ini dapat dilihat dari Index Ketimpangan Gender (Gender Inequality Index) Indonesia pada 2018 sebesar 0,436, salah satu yang tertinggi dibandingkan dengan negara ASEAN seperti Singapura 0,065, Brunei Darussalam 0,234, Vietnam 0,314, Thailand 0,377, dan Filipina 0,425.

Di sisi lain, data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan kondisi demografis Indonesia saat ini memiliki kesempatan emas berupa bonus demografi, di mana 178 juta orang (67,5%) dari total penduduk berada pada usia produktif bekerja (15-64 tahun).

Dari total penduduk usia produktif itu, setengahnya adalah perempuan. Namun, bonus demografi ini keuntungan ini belum dapat dimaksimalkan karena masih tingginya ketimpangan gender di Indonesia.

Jika angka ketimpangan gender ini dapat ditekan, maka kesempatan perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam dunia kerja pun semakin besar, dan akhirnya akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, sekaligus penerimaan pajak Indonesia.

Setidaknya ada 5 faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi tenaga kerja perempuan di Indonesia, antara lain stigma perempuan bukan sebagai pencari nafkah, dan diskriminasi perempuan dalam dunia kerja.

Kemudian kesenjangan gaji antara laki-laki dan perempuan, perempuan lebih banyak melakukan pekerjaan rumah tangga yang tidak digaji (unpaid work), dan adanya keterbatasan perempuan dalam mengakses infrastruktur dan sumber daya keuangan.

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong partisipasi perempuan dalam dunia kerja agar dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian sekaligus penerimaan perpajakan.

Empat Alternatif
ADA 4 alternatif kebijakan fiskal yang dapat mendorong partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Pertama, mengubah konsep penghasilan berbasis keluarga menjadi berbasis individu. Sistem perpajakan Indonesia menganut penghasilan keluarga sebagai satu kesatuan (joint-family taxation).

Hal ini membuat pencari nafkah kedua dalam keluarga (second earner)—yang umumnya istri—tidak diuntungkan karena dikenakan pajak lebih tinggi dari first earner. Dengan tarif progresif, penghasilan second earner akan dikenakan tarif mulai dari tarif tertinggi yang dicapai penghasilan first earner.

Karena itu, perubahan basis penghitungan penghasilan yang semula berbasis keluarga menjadi berbasis individu diharapkan dapat mendorong para istri berpartisipasi dalam dunia kerja. Selain itu, konsep ini telah diteliti dan disarankan oleh berbagai pihak (IMF dan scholar).

Kedua, pajak penghasilan ditanggung pemerintah bagi perempuan yang memiliki anak kecil. Perempuan yang memiliki anak kecil cenderung enggan bekerja dan lebih memilih untuk mengurus anak.

Pemerintah dapat memberikan stimulus berupa pajak penghasilan ditanggung pemerintah (PPh DTP) bagi perempuan bekerja yang memiliki anak kecil, sehingga mereka tertarik untuk tetap bekerja karena mendapat tambahan penghasilan yang lebih besar.

Ketiga, pemberlakuan super deduction bagi perusahaan yang mempekerjakan perempuan yang memiliki anak kecil. Dari sisi perusahaan, perempuan yang memiliki anak kecil bukan merupakan opsi yang menarik untuk dijadikan karyawan.

Karena itu, insentif seperti membebankan biaya fasilitas karyawan perempuan yang memiliki anak kecil seperti childcare dan penerapan super deduction bagi biaya gaji atas karyawan perempuan dengan anak kecil dapat mengurangi keengganan perusahaan mempekerjakan mereka.

Keempat, pengecualian pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang dan jasa tertentu yang dapat mendukung perempuan masuk dalam dunia kerja. Contoh, jasa yang dikecualikan ini misalnya jasa penitipan anak (childcare).

Dengan insentif ini, biaya penitian anak menjadi lebih terjangkau sehingga perempuan yang memiliki anak kecil akan lebih memilih bekerja karena selisih antara penghasilan yang diterima dan biaya penitipan anak menjadi lebih tinggi.

Dengan mempertimbangkan keempat alternatif kebijakan fiskal tersebut, maka diharapkan partisipasi perempuan dalam dunia kerja akan dapat meningkat.

Hal ini tentunya akan memberikan multiplier-effect yang sangat besar, mulai dari peningkatan kesetaraan gender, peningkatan pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, sampai dengan potensi kenaikan setoran pajak ke negara.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 09 Mei 2024 | 08:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sri Mulyani: Penyesuaian Pajak Hiburan untuk Dorong Wisata Daerah

Senin, 06 Mei 2024 | 12:51 WIB MUSRENBANGNAS 2024

Kepala Bappenas Soroti Tax Ratio Daerah yang Masih Rendah

Kamis, 02 Mei 2024 | 15:08 WIB DITJEN PAJAK

Dirjen Pajak: Kami Tidak Akan Ambil yang Bukan Hak Negara

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:30 WIB KANWIL DJP JAKARTA PUSAT

Setoran Pajak Hanya Tumbuh 3%, DJP Jakarta Pusat Fokuskan Pengawasan

BERITA PILIHAN