OPINI PAJAK

Menelisik Peluang Pajak Orang Kaya

Selasa, 25 Agustus 2020 | 11:10 WIB
Menelisik Peluang Pajak Orang Kaya

Bayu Andikara, pegawai Ditjen Pajak

PANDEMI Covid-19 menghadirkan tantangan multidimensi bagi negara di dunia, termasuk Indonesia. Untuk penanganannya saja, pemerintah telah menggelontorkan Rp65,8 triliun atau 75% dari total anggaran kesehatan. Pemerintah juga merilis program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Singkatnya, negara membutuhkan anggaran yang sangat besar. Di lain pihak, tarif pajak penghasilan badan (PPh) badan turun menjadi 22% untuk tahun 2020-2021 dan kembali turun menjadi 20% mulai 2022. Untuk mendanai semua program yang ada, negara perlu melakukan terobosan drastis.

Bank Dunia dalam laporannya Juli 2020 yang bertajuk Indonesia Economic Prospects – The Long Road to Recovery menyatakan tax ratio Indonesia terbilang rendah atau sekitar 10,2% pada 2018 apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan negara berkembang lainnya.

Tax ratio yang rendah justru menjadikan prospek perpajakan untuk menunjang pemulihan ekonomi menjadi sangat menjanjikan karena berarti masih ada ruang yang cukup lebar untuk meningkatkan penerimaan perpajakan.

Meski telah mewajibkan pemungutan PPN digital, nilai tersebut diprediksi tidak akan menyumbang penerimaan signifikan. Bank Dunia mengusulkan beberapa strategi yang perlu diambil pemerintah, antara lain peningkatan tarif pajak lapisan tertinggi orang pribadi untuk menambah progresivitasnya.

Pajak Progresif
SALAH satu fungsi pajak adalah redistribusi penghasilan, sederhananya adalah ‘mengambil’ lebih banyak dari orang kaya untuk kemudian dimanfaatkan bagi kepentingan umum, termasuk di dalamnya kalangan ekonomi bawah.

Pajak progresif dapat mengurangi adanya income inequality sepanjang penerimaan yang dihimpun dapat dibelanjakan secara progresif demi kepentingan masyarakat ekonomi bawah (Picket & Wilkinson, 2011).

Terdapat pula bukti empiris ketika sifat progresif pajak berkurang, maka income inequality menjadi semakin lebar (Picketty & Saez, 2003). Dalam masa pandemi ini, peningkatan penerimaan pajak yang dibarengi dengan penurunan income inequality akan sangat ideal bagi pemulihan ekonomi.

Melongok ke Amerika Serikat, senator Bernie Sanders menggalakkan kampanye yang cukup kontroversial bertajuk Make Billionaires Pay untuk meloloskan versi baru pajak capital gain. Alih-alih memajaki keuntungan penjualan atau pelepasan aset, pajak ini menyasar unrealized capital gain.

Secara sederhana, proposal ini mengusulkan pengenaan one-time tax payment sebesar 60% terhadap unrealized capital gain yang diperoleh para konglomerat Amerika Serikat selama periode Maret hingga akhir Desember 2020.

Salah satu latar belakang proposal ini adalah fakta sejak pandemi Covid-19, kekayaan dari 5 konglomerat Amerika Serikat yaitu Jeff Bezos, Bill Gates, Mark Zuckerberg, Warren Buffett dan Larry Ellison justru mengalami peningkatan sebesar 26% atau setara dengan US$101,7 miliar.

Peluang dan Tantangan
BANK Dunia dalam laporannya merekomendasikan Indonesia menyesuaikan lapisan penghasilan orang pribadi dan penambahan tarif pajak tertinggi dari 30% menjadi 35%. Sebagai perbandingan, pada 2018 rata-rata tarif tertinggi orang pribadi di negara-negara OECD adalah 41,2%.

Wealth tax dapat menjadi pelengkap kenaikan tarif tertinggi PPh orang pribadi sebagai instrumen memajaki penghasilan yang dialihkan ataupun diparkir di perusahaan. Untuk mengurangi efek pajak berganda, pajak yang telah dibayar melalui mekanisme normal dapat dijadikan pengurangnya.

Sebagai pertimbangan, perlu segera ditambahkan selama pandemi Covid-19 ini sedikitnya 15 konglomerat Indonesia justru mengalami peningkatan kekayaan menurut Forbes Real Time Billionaires (Kontan, 29 Juni 2020).

Meskipun demikian, ada sejumlah tantangan dalam penerapannya. Pertama, kebijakan ini akan sangat tidak populer di mata orang kaya sehingga membutuhkan usaha ekstra untuk meloloskannya. Namun, ada secercah harapan apabila melihat tren saat ini.

Awal Juli ini, 83 orang kaya yang didominasi konglomerat AS menginisiasi gerakan Millionaires for Humanity yang ‘memohon’ agar mereka dikenakan pajak lebih tinggi. Dengan pendekatan yang tepat, bukan tidak mungkin para konglomerat Indonesia akan mengikuti jejak 83 koleganya.

Kedua, pengenaan pajak terhadap unrealized gain akan sangat bergantung pada kemampuan otoritas pajak dalam melakukan valuasi. Oleh karena itu, peran para penilai pajak di Ditjen Pajak (DJP) akan menjadi sangat sentra.

Terakhir adalah besarnya potensi eksodus. Beberapa negara seperti St. Kitts & Nevis, Malta, dan Yordania, menawarkan pembelian kewarganegaraan. St. Kitts & Nevis melego paspornya dengan mahar sebesar US$150 ribu, turun dari sebelumnya US$195 ribu.

Untuk mengurangi efek masalah ini ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Misalnya dengan menerapkan exit tax sebagaimana diterapkan di Uni Eropa. Exit tax pada prinsipnya dikenakan atas market value harta yang dimiliki pada saat eksodus.

Masih dalam peringatan kemerdekaan, perlu kita menegok ke belakang. Sutan Sjahrir pada 1932 pernah menulis salah satu cara mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial suatu negara adalah dengan menetapkan pajak yang semakin besar seiring dengan besarnya penghasilan.

Dengan semangat mengurangi ketimpangan ekonomi dan dengan memastikan pajak yang dipungut adalah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, kemungkinan untuk menerapkan pajak untuk orang super kaya di Indonesia masih cukup terbuka.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 03 April 2024 | 15:55 WIB OPINI PAJAK

Mencermati Kompleksitas Pemotongan PPh Pasal 21 pada PTN BH

Jumat, 23 Februari 2024 | 11:32 WIB OPINI PAJAK

Tax Administration 3.0 di Indonesia: Tantangan Pajak Pasca-CTAS

Kamis, 15 Februari 2024 | 14:05 WIB OPINI PAJAK

Membumikan EOI

BERITA PILIHAN