RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Koreksi Biaya Reimbursement Sebagai Objek PPh Pasal 23

DDTC Fiscal Research and Advisory
Jumat, 01 Oktober 2021 | 15.35 WIB
Koreksi Biaya Reimbursement Sebagai Objek PPh Pasal 23

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai koreksi biaya reimbursement yang dianggap otoritas pajak sebagai objek PPh Pasal 23.

Otoritas pajak menganggap transaksi yang dilakukan wajib pajak dengan PT X dan PT Y terutang PPh Pasal 23. Dalam konteks ini, wajib pajak belum memungut PPh Pasal 23 atas penghasilan yang diterima PT X dan PT Y.

Sebaliknya, wajib pajak berpendapat transaksi reimbursement yang dilakukan wajib pajak dengan PT X dan PT Y tidak terutang PPh Pasal 23. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan wajib pajak tidak dapat dibenarkan.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan banding wajib pajak. Selanjutnya, Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak permohonan PK yang diajukan otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding atas koreksi positif PPh Pasal 23 yang diberikan otoritas pajak. Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan koreksi otoritas pajak atas objek PPh Pasal 23 berupa transaksi reimbursement dengan PT X dan PT Y tidak dapat dipertahankan.

Sebab, berdasarkan pada hasil pemeriksaan dan pembuktian dalam persidangan, transaksi senilai Rp1.447.357.220 dengan PT X merupakan reimbursement sehubungan dengan biaya yang terlebih dahulu dibayarkan PT X sebagai salah satu participant dalam Production Sharing Contract West Madura Offshore. Pada transaksi ini, wajib pajak bertindak sebagai operatornya.

Selain itu, Majelis Hakim Pengadilan Pajak juga berpendapat biaya senilai Rp14.383.750 merupakan reimbursement. Dengan demikian, dalam sengketa ini, transaksi yang dilakukan Termohon PK dengan PT X dan PT Y tidak terutang PPh Pasal 23.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan mengabulkan sebagian permohonan wajib pajak melalui Putusan Pengadilan Pajak No. Put. KEP-1225/WPJ.07/2010. Atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, otoritas pajak mengajukan PK secara tertulis ke Sekretariat Pengadilan Pajak pada 1 April 2014.

Terdapat 2 pokok sengketa dalam perkara ini, yakni koreksi reimbursement dengan PT X senilai Rp1.447.357.220 dan koreksi transaksi dengan PT Y senilai Rp14.383.750 yang dikabulkan sebagian oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK menyatakan tidak setuju dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Perlu dipahami, perkara ini membahas 2 pokok sengketa. Pertama, koreksi reimbursement dengan PT X senilai Rp1.447.357.220. Dalam hal ini, Termohon PK melakukan transaksi jasa konsultan, jasa penyedia tenaga kerja, jasa perbaikan, dan jasa sewa dengan PT X.

PT X kemudian bekerja sama dengan perusahaan lain, yaitu PT A untuk menyediakan jasa kepada Termohon PK. Dalam transaksi ini, PT X telah membayar terlebih dahulu biaya jasa tersebut kepada PT A. Atas pembayaran jasa dari PT X kepada PT A tersebut, PT X menagihkannya kepada Termohon PK.

Adapun biaya yang dikeluarkan untuk membayar jasa kepada PT X telah dibebankan terhadap penghasilan bruto Termohon PK. Sesuai dengan prinsip umum deductible-taxable, biaya yang telah dibebankan akan menjadi penghasilan bagi penerimanya, yaitu PT X. Selain itu, SE-53/PJ/2009 mengatur untuk membuktikan suatu biaya reimbursement, dibutuhkan dokumen pendukung seperti invoice atau kontrak kerja.

Dalam hal ini, Termohon PK tidak dapat membuktikan biaya yang dikeluarkannya merupakan biaya reimbursement. Menurut Pemohon PK, biaya tersebut bukan biaya reimbursement, melainkan imbalan atas pemanfaatan jasa.

Konsekuensinya, imbalan yang dibayarkan kepada PT X tersebut merupakan objek PPh Pasal 23. Dengan demikian, Pemohon PK berpendapat transaksi yang dilakukan PT X dengan Termohon PK terutang PPh Pasal 23.

Kedua, koreksi transaksi dengan PT Y senilai Rp14.383.750. Dalam hal ini, Termohon PK melakukan transaksi jasa sewa kendaraan dengan PT Y. Adapun PT X bekerja sama dengan perusahaan lain, yaitu PT B, untuk menyediakan jasa kepada Termohon PK. Dalam perkara ini, Termohon PK telah melakukan reimbursement atas biaya-biaya yang sudah terlebih dahulu dibayar PT Y kepada PT B.

Pemohon PK mengaku tidak dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai alur transaksi antara Termohon PK, PT Y, dan PT B. Sebab, tidak adanya bukti pendukung mengenai transaksi pihak-pihak terkait. Termohon PK dinilai tidak dapat menjalankan kewajibannya dengan baik sehubungan dengan peminjaman bukti maupun dokumen yang dibutuhkan dalam proses pemeriksaan.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan koreksi Pemohon PK. Dalam transaksi ini, Termohon PK merupakan penerima jasa dan PT X merupakan pemberi jasa. PT X sebelumnya telah membayar terlebih dahulu jasa tersebut kepada PT A dan terutang PPh Pasal 23. Kemudian, PT X meminta penggantian kepada Termohon PK. Dengan begitu, tidak ada PPh Pasal 23 yang terutang atas reimbursement yang dilakukan Termohon PK kepada PT X.

Selain itu, Termohon PK juga menyatakan biaya yang dikeluarkannya kepada PT Y merupakan biaya reimbursement murni. PT Y tidak menambahkan tambahan keuntungan dalam tagihannya kepada Termohon PK.

PT B selaku perusahaan yang bekerja sama dengan PT Y untuk menyalurkan jasa juga telah melampirkan bukti pendukung berupa invoice. Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Termohon PK menyimpulkan koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan.

Pertimbangan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung berpendapat alasan-alasan Permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat dan benar. Terdapat 2 pertimbangan yang dikemukakan Majelis Hakim Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi positif DPP PPh Pasal 23 masa pajak Agustus 2004 tidak dapat dibenarkan. Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-undang No 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan Pemohon PK. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. Putusan Mahkamah Agung ini diucapkan Hakim Ketua dalam sidang yang terbuka untuk umum pada 25 Oktober 2017. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.