Ilustrasi.
RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 22 akibat pembelian tandan buah segar (TBS) kelapa sawit.
Sebagai informasi, dalam perkara ini wajib pajak menjalankan usaha di sektor industri yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian bahan baku berupa TBS kelapa sawit dari pedagang pengumpul.
Dalam laporan keuangan wajib pajak, terdapat akun pembelian dari pihak ketiga yang dianggap pemeriksa sebagai transaksi dengan pedagang pengumpul, padahal transaksi sebenarnya hanya dilakukan dengan petani yang menjual TBS kelapa sawit.
Otoritas pajak menilai bahwa wajib pajak melakukan pembelian TBS kelapa sawit dari pedagang pengumpul. Atas transaksi tersebut, wajib pajak memiliki kewajiban untuk memungut PPh Pasal 22 dari pedagang pengumpul. Namun, wajib pajak tidak melakukan pemungutan dan pelaporan pada SPT masa PPh Pasal 22. Oleh sebab itu, otoritas pajak melakukan koreksi positif terhadap objek PPh Pasal 22.
Sebaliknya, wajib pajak tidak setuju dengan koreksi otoritas pajak. Sebab, pembelian TBS kelapa sawit tidak dilakukan dengan pedagang pengumpul tetapi dengan petani. Dengan begitu, wajib pajak tidak memiliki kewajiban untuk memungut PPh Pasal 22. Selain itu juga, wajib pajak tidak pernah diberitahukan dan tidak pernah mendapatkan surat pengukuhan sebagai pemungut PPh Pasal 22.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau perpajakan.id.
Wajib pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa koreksi positif terhadap objek PPh Pasal 22 tidak dapat dibenarkan karena transaksi tersebut tidak dilakukan dengan pedagang pengumpul, melainkan dengan para petani.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkan Putusan Pengadilan Pajak PUT. 65726/PP/M.IA/10/2015 tanggal 16 November 2015, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 11 Maret 2016.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi DPP PPh Pasal 22 masa pajak November 2009 senilai Rp11.636.944.882 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Pemohon PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Pemohon PK melakukan koreksi DPP PPh Pasal 22 berdasarkan analisis terhadap biaya-biaya dalam buku besar dan laporan keuangan Termohon PK.
Berdasarkan pengujian, Pemohon PK menemukan fakta bahwa terdapat biaya pembelian TBS kelapa sawit dari pihak ketiga yang tercantum dalam akun Cost of Purchase senilai Rp11.636.944.882. Adapun atas pembelian TBS kelapa sawit tersebut belum dilaporkan Termohon PK dalam SPT masa PPh Pasal 22. Pemohon PK meyakini bahwa transaksi tersebut melibatkan pedagang pengumpul.
Sesuai ketentuan KEP-523/PJ/2001 s.t.d.d PER-23/PJ/2009, badan usaha di sektor perhutanan, pertanian, dan perikanan wajib memungut PPh Pasal 22 atas pembelian dari pedagang pengumpul. Dengan adanya aturan tersebut, Termohon PK memiliki kewajiban untuk memungut PPh Pasal 22 dari pedagang pengumpul.
Adapun dalam proses pemeriksaan sebelumnya, Termohon PK menyerahkan bukti data pembelian TBS kelapa sawit berupa perincian nama penjual untuk mendukung dalil bahwa transaksi tersebut dilakukan dengan petani.
Namun demikian, Pemohon PK menilai data tersebut kurang didukung dengan informasi yang kuat, seperti data pemasok, daftar nama dan alamat petani, serta lokasi perkebunan kelapa sawit yang menjadi sumber diperolehnya TBS kelapa sawit.
Pemohon PK juga menyatakan tidak setuju apabila Termohon PK menyatakan pihaknya tidak mengetahui kewajibannya sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian TBS kelapa sawit dari pedagang pengumpul. Sebab, ketentuan tersebut telah diumumkan dan dipublikasikan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Pemohon PK menyatakan koreksi yang dilakukannya sudah benar. Pemohon PK tetap menilai bahwa Termohon PK telah melakukan transaksi dengan pedagang pengumpul dan bukan dengan petani. Dengan begitu, Termohon PK seharusnya melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian TBS kelapa sawit.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Termohon PK menyatakan bahwa nilai yang tercatat dalam akun Cost of Purchase berasal dari transaksi yang benar-benar dilakukan dengan petani bukan dengan pedagang pengumpul.
Dalam KEP-523/PJ/2001 s.t.d.d PER-23/PJ/2009 dijelaskan juga bahwa badan usaha yang wajib memungut PPh Pasal 22 atas pembelian dari pedagang pengumpul, ditunjuk resmi melalui Surat Keputusan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Namun, Termohon PK tidak pernah menerima pemberitahuan maupun surat pengukuhan sebagai pemungut PPh Pasal 22.
Dengan kata lain, koreksi DPP sebesar Rp11.636.944.882 tidak dapat dibenarkan karena Termohon PK tidak memiliki kewajiban untuk memungut PPh Pasal 22 atas pembelian TBS kelapa sawit. Oleh karenanya, Termohon PK menyimpulkan bahwa koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Sebab, Putusan Pengadilan Pajak menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi nihil dapat dibenarkan.
Dalam putusan PK ini, setelah meneliti dan menguji kembali dalil–dalil yang diajukan dalam permohonan PK, Mahkamah Agung berpendapat bahwa koreksi DPP PPh Pasal 22 masa pajak November 2009 sebesar Rp11.636.944.882 yang dilakukan oleh Pemohon PK tidak dapat dibenarkan.
Mahkamah Agung menilai bahwa dalam sengketa ini, Termohon PK melakukan transaksi jual beli TBS kelapa sawit dengan para petani, bukan dengan pedagang pengumpul. Apabila transaksi dilakukan dengan petani maka terhadap penghasilan yang timbul tidak termasuk objek PPh Pasal 22.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan ditolaknya permohonan PK, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (Ighfar Ulayya Sofyan/sap)