Hoegeng Iman Santoso. (Tangkapan Youtube Metro TV)
SEJAK lahir ia berdarah ningrat. Keluarganya berkerabat dengan keluarga R.A. Kardinah, pendiri Rumah Sakit Kardinah Tegal, istri Bupati Tegal sekaligus kakak R.A. Kartini di Rembang, Jawa Tengah. Lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1921, ia menikmati masa kecilnya tanpa kekurangan.
Maklum, ayahnya, Soekarjo Kario Hatmodjo, adalah Kepala Kejaksaan Karesidenan Pekalongan. Sewaktu lahir Soekarjo memberinya nama Iman Santoso. Namun, ia sering dipanggil Boegel (gemuk), kemudian berubah menjadi Boegeng, dan akhirnya berubah menjadi Hoegeng.
Pada usia 6 tahun, Hoegeng dimasukkan ke sekolah dasar Belanda/Hollandsch-Inlandsche School, kemudian berlanjut ke SMP (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Di masa SMP inilah ia membentuk band Hawaian bernama Herrie Trappers—bahasa Belanda yang artinya tukang recok.
Band ini sesekali pentas di Societiet Delectatio, salah satu klub elit di Pekalongan, untuk mengiringi dansa-dansi para Indo dan warga Belanda. Kelak, setelah pensiun, ia kembali melanjutkan karir bermusik yang dipendamnya ini. Di masa SMP ini pula bakatnya yang lain, melukis, mulai terasah.
Di Pekalongan, ayahnya bersahabat dengan Soeprapto dan Ating Natadikusumah. Hoegeng sering melihat keduanya berkunjung ke rumah. Soeprapto Kepala Pengadilan Karesidenan Pekalongan yang kelak jadi Jaksa Agung, sedangkan Ating Kepala Kepolisian Karesidenan Pekalongan.
Ketiganya kompak dalam usaha penegakan hukum yang jujur dan profesional. Ketiganya mendirikan panti asuhan, panti jompo, dan balai pelatihan di Pekalongan bernama Balai Cintraka Mulya. “Mereka gagah, suka menolong banyak orang dan banyak teman,” kata Hoegeng. (Santoso, 2009)
Setelah lulus SMP, Hoegeng hijrah ke Yogyakarta melanjutkan ke SMA (Algemeene Middelbare School) A Bagian Klasik Barat, yang dipersiapkan untuk siswa yang tertarik belajar hukum. Begitu lulus, pada usia 19 tahun ia bertolak ke Batavia untuk belajar hukum di RHS (Rechts Hoge School).
Sayang, Jepang kemudian masuk hingga RHS terpaksa tutup. Hoegeng pun tidak bisa menyelesaikan belajarnya. Lalu ia pulang ke Pekalongan, masuk kursus polisi, dan bekerja di Kepolisian Karesidenan Pekalongan. Pada 1952, ia lulus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Angkatan I di Jakarta.
Pada 1961, Menko Pertahanan dan Keamanan A.H. Nasution menarik Hoegeng menjadi Kepala Djawatan Imigrasi di Jakarta. Hoegeng, yang mengetahui dirinya bakal dilantik, langsung meminta istrinya, Merry, segera menutup toko kembangnya di Menteng.
Ketika ditanya Merry hubungan antara jabatan Dirjen Imigrasi dan toko kembangnya, Hoegeng menjawab, ”Nanti semua yang berurusan dengan Imigrasi akan memesan kembang ke toko Ibu dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya,” kata Hoegeng. (Key Timu, 2004)
Selama bertugas di Imigrasi, Hoegeng tetap mengenakan seragam polisi, karena dia hanya mengambil gaji dari kepolisian, tidak dari Imigrasi. Ia juga menolak mobil dinas Imigrasi dan upaya merenovasi rumahnya. Hoegeng beralasan, apa yang didapatkan dari kepolisian sudah cukup.
Pada 1965, atas rekomendasi Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hamengkubuwono IX, Bung Karno mengangkat Hoegeng sebagai Menteri Iuran Negara dalam Kabinet 100 Menteri atau Kabinet Dwikora. Ia membawahi Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, dan Ditjen Pajak Tanah.
Saat itu, Setneg memintanya pindah dari rumah di Jalan M. Yamin, Menteng, ke rumah lebih besar. Namun, Hoegeng menolak karena selain rumah itu masih layak, negara tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuknya. Justru, ia bertugas mencari uang untuk negara, bukan sebaliknya.
Pola kerjanya di Imigrasi tetap berlanjut di posisi yang baru. Saat menjabat, datang calon pegawai Bea dan Cukai membawa surat sakti Waperdam II Leimena. Tujuannya meminta diberi kemudahan. Hoegeng lalu mengirim surat ke Leimena dan meminta maaf karena tidak bisa membantu.
Setahun sebagai Menteri Iuran Negara dan sempat ke Setkab, Hoegeng kembali ditarik ke Kepolisian dan menjadi Deputi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. Meski itu berarti turun pangkat dari menteri menjadi Wakil Kapolri, Hoegeng menerimanya karena ia merasa kembali ke habitatnya.
Dua tahun berikutnya ia dilantik sebagai Panglima Angkatan Kepolisian (Kapolri). Setiap ada perjalanan dinas ke luar negeri, Hoegeng selalu pergi sendiri tanpa istri atau anak. Ia juga menolak pembangunan gardu jaga di rumahnya dan menolak diberi pengawalan secara berlebihan.
“Menerima pemberian pertama itu seperti menaruh kuman di lengan, lalu terasa sedikit gatal. Kita akan menggaruknya pelan-pelan. Wuah, nikmatnya luar biasa. Makin sering dan makin banyak yang diterima, gatal itu akan semakin intens dan menggaruknya pun akan semakin keras pula,” katanya.
Pada Oktober 1971, setelah menuntaskan kasus penyelundupan mobil Robby Tjahjadi dan investigasinya dalam kasus Sum Kuning dihentikan, Presiden Soeharto memberhentikan Hoegeng dengan alasan peremajaan. Padahal, usia Kapolri penggantinya lebih tua dari dirinya.
Lalu apa kata Hoegeng? Ia menerima pemberhentian itu seraya menolak jabatan Dubes Belgia. "Di Indonesia ini hanya ada 3 polisi yang tidak bisa disuap. Pertama, Hoegeng, kedua, patung polisi, ketiga polisi tidur,” kata Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid dalam satu diskusi, Agustus 2006. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.