Presiden Soekarno (Ilustrasi)
BOGOR, Senin, 24 Agustus 1959. Seusai rapat kabinet, Presiden Soekarno merilis satu paket kebijakan moneter. Paket untuk meredam teror inflasi ini muncul tanpa diduga, hanya kurang 2 bulan dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai masuknya Indonesia ke era Demokrasi Terpimpin.
Memang, sejak Indonesia mengadopsi Demokrasi Parlementer pada 1950, teror inflasi nyaris selalu mengintai. Program ekonomi tidak berjalan karena kabinet terus mengalami bongkar pasang. Suasana politik sangat gaduh, partai politik saling kunci, dan pemberontakan meletus di berbagai tempat.
Pada saat yang sama, bank sentral terus mencetak uang baru dan memberikannya sebagai utang ke pemerintah guna menutup defisit anggaran. Ketidakseimbangan moneter inilah sumber utama teror inflasi waktu itu, karena jumlah uang beredar terus bertambah dan tak kunjung diimbangi sisi permintaan.
“Perasaan dan pikiran saya mengenai persoalan ekonomi adalah sederhana, amat sederhana sekali. Boleh dirumuskan sebagai berikut: Kalau bangsa-bangsa yang hidup di padang pasir yang kering dan tandus bisa memecahkan persoalan ekonominya, kenapa kita tidak?” kata Presiden Soekarno.
Paket kebijakan moneter pada 1959 itu berisi 4 hal, yaitu pemotongan nilai uang/ sanering (Perpu 2/1959), penukaran paksa giro dan deposito dengan obligasi (Perpu 3/1959), pemberlakuan pungutan ekspor-impor (Perpu 4/1959 dan PP 42/1959), dan devaluasi mata uang rupiah (PP 43/1959).
Paket tersebut otomatis mempertajam aturan pembatasan pagu kredit bank oleh Dewan Moneter pada 8 April 1959, yang diperbarui 4 Agustus 1959. Dengan beleid itu, pengucuran kredit ke kegiatan ekspor-impor, produksi dan distribusi sedemikian rupa dibatasi guna meredam teror inflasi.
Pemotongan nilai uang dalam paket tersebut ditempuh dengan memangkas nilai Rp500 dan Rp1.000 jadi Rp50 dan Rp100. Dengan begitu, pemerintah menyedot uang beredar dan meraup untung melalui simpanan yang dibekukan. Keuntungan itu lalu dipakai untuk menutup utang ke bank sentral.
Pada akhir tahun 1959, meski makan ongkos besar berupa anjloknya daya beli warga, laju inflasi pun turun drastis dari tahun sebelumnya 46% menjadi 22%. Posisi utang pemerintah pada kuartal III/ 1959 juga minus. Namun, meski uang beredar susut, teror inflasi tetap mengintai akibat dampak kekurangan likuditas bank.
Apalagi, kebijakan moneter tersebut diambil tanpa melalui koordinasi dengan bank sentral sebagai pengelola stabilitas moneter. Gubernur Bank Indonesia (BI) Loekman Hakim yang juga Wakil Ketua Dewan Moneter akhirnya merasa dilangkahi. Pada akhir Agustus 1959, Loekman pun memilih mengundurkan diri. (Sejarah Bank Indonesia, Moneter Periode 1959-1966)
Mundurnya Loekman sekaligus menandai babak belurnya perekonomian Indonesia waktu itu. Laju pertumbuhan ekonomi yang sudah mendaki 5,8% pada 1957, kembali jeblok sampai terkontraksi pada 1959. Penurunan tersebut juga diiringi pembengkakan defisit anggaran sekaligus transaksi berjalan.
Teror inflasi itu ternyata tak hendak selesai. Pada 1960, inflasi kembali melompat jadi 38% seiring dengan meningkatnya anggaran guna persiapan sejumlah proyek politik seperti konfrontrasi Malaysia dan pembebasan Irian Barat, serta proyek-proyek mercusuar seperti Asian Games, Ganefo dan Conefo.
Pada 1961, laju inflasi sedikit bisa ditahan pada level 27%. Namun setahun berikutnya 1962, Indonesia mulai memasuki era hiperinflasi. Laju inflasi pada tahun itu bertengger pada 174%, disusul 119% pada 1963, dan 135% pada 1964, kemudian membubung jadi 594% pada 1965 dan 635% pada 1966.
Sejalan dengan meroketnya laju inflasi itu, pertumbuhan ekonomi selama 7 tahun pada kurun 1959-1966 tersebut rata-rata melaju minus alias terkontraksi. Akhirnya, berkombinasi dengan tingkat pengangguran terbuka yang juga tinggi, pada pengujung era Demokrasi Terpimpin itu terjadilah apa yang disebut sebagai stagflasi.
“Apa yang bisa saya katakan, daripada meminta kesabaran saudara lagi sejurus waktu? Saya telah mengeluarkan Deklarasi Ekonomi yang terkenal dengan nama Dekon, dan 14 peraturan pemerintah pun sudah keluar. Saya sekarang hanya berkata: Sabar sejurus waktu lagi, sabar. Wait and see!” kata Presiden Soekarno.
Pada November 1965, setelah kudeta gagal 30 September, pemerintah menaikkan harga BBM 600%. Harga bensin naik dari Rp4 per liter jadi Rp250 per liter, minyak tanah jadi Rp100 per liter. Dengan kenaikan itu, inflasi jadi kian tak terbendung, hingga memaksa pemerintah kembali melaksanakan sanering pada Desember 1965.
Sayang, efek sanering yang terakhir itu tidak efektif. Uang beredar tidak tersedot, dan utang pemerintah ke bank sentral masih terbuka lebar. Tak lama setelah itu, 3 Januari 1966, harga BBM kembali dikerek 400%. Bensin jadi Rp1.000 per liter, dan minyak tanah jadi Rp400 per liter. Masyarakat pun menjerit.
Tiga pekan berselang, 21 Januari 1966, atas desakan masyarakat harga BBM akhirnya diturunkan 50%. Bensin jadi Rp500 per liter, minyak tanah jadi Rp200 per liter. Sengkarut kenaikan harga BBM inilah yang menghela kenaikan harga barang-barang lain, hingga inflasi pada 1966 tembus 635%.
“Saya bukan ahli ekonomi, saya bukan ahli dalam tekniknya ekonomi, saya bukan ahli dalam teknik perdagangan. Saya revolusioner, dan saya sekadar ekonomis revolusioner,” kata Presiden Soekarno dalam pidato peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1963. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.