EKONOM Jagdish Bhagwati bukanlah nama yang asing di telinga sebagian orang. Pria kelahiran Bombay 85 tahun lalu itu adalah ahli ekonomi di bidang perdagangan internasional, globalisasi, dan ekonomi pembangunan. Sebagian besar kariernya dihabiskan sebagai dosen sekaligus profesor ekonomi di Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Columbia University.
Dia menganggap dirinya sebagai contoh nyata dari fenomena brain drain – emigrasi sumber daya manusia (SDM) berkualitas – dari negara berkembang ke negara maju. Meninggalkan India untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik di AS sejak 1968, ia menjadi profesor ekonomi di MIT.
Baginya, brain drain didorong oleh adanya perbedaan yang signifikan atas kesempatan kerja, penghasilan, dan kehidupan yang layak antara negara berkembang dan maju. Ini menjelaskan mengapa sekitar 8-10% dari penduduk Afrika dan Amerika Latin yang berpendidikan universitas justru beremigrasi ke negara-negara OECD.
Alhasil, negara berkembang akhirnya dirugikan karena tidak mampu mempertahankan SDM unggul di dalam negeri. Padahal, SDM merupakan faktor penting agar suatu negara bisa melakukan lompatan pembangunan ekonomi.
Kondisi itulah yang mendorongnya membuat proposal suatu pajak untuk mengompensasi negara yang kehilangan SDM unggulnya. Proposal ini kerap disebut brain drain tax atau Bhagwati tax.
Embrio proposal ini dimulai pada 1972 dan sifatnya berevolusi antarwaktu. Secara sederhana, Bhagwati tax akan dipungut oleh host country kepada pekerja imigran yang berasal dari negara berkembang dengan tarif sebesar 10%-15% (surtax) dari penghasilannya. Lalu, hasil pemungutan pajak itu ditransfer ke negara berkembang asal imigran tersebut.
Selain dipercaya dapat mengompensasi kerugian yang diterima oleh negara berkembang, Bhagwati tax juga bermaksud mengurangi fenomena brain drain. Pasalnya, penerimaan dari Bhagwati tax bisa dipergunakan oleh negara berkembang untuk membuka kesempatan ekonomi, lapangan kerja, serta kehidupan sosial yang lebih baik.
“Pajak untuk mengompensasi negara berkembang yang kehilangan SDM unggul,” ungkapnya.
Menariknya, Bhagwati turut berpendapat bahwa prospek terbaik penerapan proposalnya adalah dengan mengadopsi global tax system ala Amerika Serikat yang menganut citizenship-based taxation.
Dengan kata lain, merujuk kepada cara AS, menganggap warga negaranya di manapun berada sebagai subjek pajak dalam negeri (resident). Dengan menggunakan kewarganegaraan sebagai nexus pemajakan maka keterkaitan atas skilled migration dengan home country akan tetap dipertahankan hingga perubahan status kewarganegaraan.
Ide ini kerap dikritik karena hanya AS-lah satu-satunya negara yang berhasil menegakkan model extraterritorial tax system tersebut. Negara lain yang pernah mencobanya, seperti halnya Eritrea dan Filipina, gagal di tengah jalan.
Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan Bhagwati tax sangat bergantung derajat hegemoni ekonomi suatu negara, yang jelas-jelas sulit dimiliki negara berkembang. Selain itu, tanpa adanya koordinasi internasional – terutama atas pemungutan dan pertukaran informasi pemajakan –, Bhagwati tax sulit diimplementasikan.*