OKTOBER 1986, The New York Mets kembali mengalahkan The Boston Red Sox. Blunder yang dilakukan oleh Bill Buckner dalam game keenam menjadikan timnya, Red Sox, gagal memenangkan World Series, sebuah kejuaraan nasional bisbol di Amerika Serikat.
Kesalahan Buckner bahkan diolok-olok publik sebagai kutukan bagi klubnya yang tak pernah juara bertahun-tahun kemudian. Tim divisi timur American League itu baru bisa meraih kemenangan pada 2004, nyaris 20 tahun setelah insiden 'Buckner Play'.
Pada saat yang nyaris bersamaan, masih di awal musim dingin 1986, pesawat yang ditumpangi Presiden Mozambik Samora Machel mengalami kecelakaan. Total 33 orang termasuk jendolan Mozambique Liberation Front itu tewas.
Kabar-kabar itu mewarnai pemberitaan media mainstream di Amerika Serikat (AS) pada saat itu. Wajar, publik lebih tertarik dengan berita mengenai peluang Red Sox menjuarai World Series atau jatuhnya sebuah pesawat bermesin ganda yang menewaskan seorang presiden, ketimbang kabar soal politik yang pembahasannya terlampau elit.
Namun, menyempil di pemberitaan halaman depan Washington Post terbitan 22 Oktober 1986, tercetak artikel mengenai terbitnya The Tax Reform Act, undang-undang reformasi pajak yang digagas Presiden Ronald Reagan. Terselip di tengah pemberitaan mengenai kejuaraan bisbol, ada isu penting mengenai reformasi pajak yang akan mengubah sistem pajak Amerika Serikat.
Melalui The Tax Reform Act, Reagan melanjutkan kebijakannya dalam menjaga tarif pajak rendah, seperti yang sudah dilakukannya sejak 1981. Kendati begitu, UU ini sekaligus menjadi landasan bagi Amerika Serikat, melalui Internal Revenue Services (IRS), melakukan reformasi sistem administrasi pajaknya.
"Kita telah menempuh perjalanan pajak untuk mereformasi sistem pajak, menjadikannya lebih adil dan sederhana, serta berpihak kepada wajib pajak, bukan kepada kepentingan khusus [otoritas]," ujar Reagan dalam pidato yang disiarkan langsung melalui radio-radio.
Terbitnya The Tax Reform Act menjadi tonggak awal elektronifikasi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan bagi wajib pajak orang pribadi dan badan di Amerika Serikat.
AS menjadi negara pertama di dunia yang mengubah interaksi antara wajib pajak dan fiskus dengan mengenalkan pelaporan pajak berbasis elektronik, di samping pelaporan berbasis kertas yang sudah berjalan puluhan tahun.
Pada tahun pertamanya, pelaporan SPT Tahunan berbasis elektronik atau yang kemudian dikenal sebagai electronic filing, masih dijalankan secara terbatas. Baru 5 penyedia jasa pelaporan SPT di 3 kota metropolitan; Cincinnati di Ohio, Raleigh-Durham di North Carolina, dan Phoenix di Arizona; yang mulai menjalankan e-filing.
Dari kelima penyedia jasa pelaporan SPT itu, hanya 25.000 formulir 1040 yang berhasil disampaikan.
Pengenalan e-filing di Amerika Serikat memang dijalankan bertahap. Wajib pajak tetap diberikan opsi untuk menggunakan skema pelaporan manual. Beranjak ke 1987, sebanyak 78.000 SPT Tahunan berhasil disampaikan secara elektronik. Melonjak, 583.000 formulir 1040 disampaikan pada 1988.
Penyampaian SPT Tahunan secara elektronik pun terus melonjak signifikan dari tahun ke tahun: 1,1 juta SPT Tahunan pada 1989 dan 4,2 juta pada 1990. Pelaksanaannya pun terus dilakukan perbaikan, hingga menjadi Modernized e-File (MeF) mulai 2004. Pada 2011, pertama kalinya pelaporan SPT Tahunan secara elektronik menembus 100 juta laporan.
Lantas apakah perbaikan sistem berhenti dilakukan? Tidak. Amerika Serikat terus memperbarui kecanggihan sistem administrasi pajaknya hingga saat ini. Namun, yang perlu dicatat, setiap sistem baru dikenalkan secara bertahap.
Misalnya, pada 2024 lalu IRS mengenalkan aplikasi Direct File guna mendukung pelaporan SPT secara gratis. Direct File baru dikenalkan untuk wajib pajak tertentu di 12 negara bagian di Amerika Serikat. Direct File memungkinkan wajib pajak mendapatkan restitusi pajak dalam waktu kurang dari 21 hari terhitung sejak SPT disampaikan.
Digitalisasi administrasi pajak di Amerika Serikat berjalan berpuluh-puluh tahun, lebih dari 3 dekade sejak 1986, hingga sekarang. Seluruh prosesnya berjalan menerus dan bertahap. Wajib pajak selalu diberikan ruang untuk beradaptasi terhadap sistem baru.
Di Indonesia, digitalisasi pelaporan pajak berjalan lebih belakangan. Sistem pelaporan pajak secara elektronik (e-filing) disebut pertama kali oleh Ditjen Pajak (DJP) pada 2005 dalam dokumen KEP-05/PJ/2005 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan secara Elektronik.
Penerapan e-filing di Indonesia sebenarnya mirip dengan apa yang Amerika Serikat jalankan. Pemerintah memberikan opsi bagi wajib pajak untuk menjalankan e-filing, efektif mulai 2012, melalui sistem DJP Online.
Pada saat yang sama, wajib pajak masih punya ruang untuk memahami skema baru ini sekaligus tetap bisa menggunakan skema pelaporan manual yang berbasis kertas. Wajib pajak di Tanah Air memiliki waktu cukup panjang untuk terbiasa dengan elektronifikasi pelaporan SPT Tahunan.
Lantas apakah digitalisasi administrasi pajak efektif meningkatkan kepatuhan pajak? Variabel yang termuat dalam definisi 'kepatuhan' mungkin bisa didebat. Namun, satu hal yang pasti, porsi pelaporan pajak secara manual terus menurun dari tahun ke tahun.
Setidaknya fenomena tersebut membuktikan bahwa wajib pajak makin terbiasa dengan administrasi pajak secara digital. Hingga Februari 2025 misalnya, hanya 57.540 wajib pajak yang menyampaikan SPT Tahunan secara manual, dari total 2,3 juta wajib pajak yang tercatat telah melaporkan SPT Tahunannya.
Efektivitas pelaksanaan digitalisasi administrasi pajak di Indonesia melalui e-filing dan beragam bentuk fitur lainnya, kemudian mendorong otoritas untuk melanjutkan reformasi pajak ke mimpi yang lebih besar: integrasi seluruh layanan pajak ke dalam satu wadah.
Mimpi besar itu diejawantahkan DJP dengan menyatukan seluruh 20 proses bisnis pajak menjadi sebuah sistem administrasi terpadu berjuluk coretax administration system.
Dengan biaya yang tak murah, DJP sudah menggadang-gadang coretax system sebagai produk unggul pelaksana administrasi pajak masa depan. Namun, big bang yang mestinya berjalan awal 2024 terus mengalami penundaan. Sempat ditunda ke pertengahan 2024, mass roll out atas coretax system akhirnya baru dimulai 1 Januari 2025.
Yang perlu digarisbawahi, coretax system langsung 'dipaksakan' terhadap seluruh wajib pajak secara serentak. Dampaknya, kendala demi kendala bermunculan.
Dari sisi wajib pajak, kebingungan massal terjadi. Periode uji coba yang baru menyentuh sedikit pihak membuat sebagian besar wajib pajak belum memahami coretax system sepenuhnya. Mereka masih meraba-raba, "Ini barang apa sesungguhnya?"
Catatan DDTCNews, hingga akhir Desember 2024 atau menjelang big bang atas coretax system, tidak sampai 100.000 wajib pajak yang sudah berhasil login ke simulator. Angka ini jauh di bawah jumlah wajib pajak terdaftar di Indonesia, yakni 74 juta.
Kemudian, dari sisi otoritas, masalah teknis demi masalah teknis dalam operasional sistem coretax terjadi. Mulai dari kendala login, bandwidth yang kurang lebar, kegagalan impersonate, hingga kendala teknis pengunggahan faktur pajak yang menyebabkan keterlambatan pembayaran dan pelaporan pajak.
Kepala Subdirektorat Pelayanan Perpajakan Direktorat P2Humas DJP Tirta menuturkan DJP memerlukan waktu sekitar 4 tahun guna mempersiapkan implementasi coretax system. Dia menyadari kondisi coretax system saat ini masih menghadapi berbagai kendala pada awal penerapannya.
Dia menyebut langkah-langkah perbaikan terus dilaksanakan untuk menyempurnakan coretax. DJP juga memberikan relaksasi sanksi administrasi untuk wajib pajak yang mengalami kendala memenuhi kewajibannya akibat terhambat coretax system.
Apakah relaksasi saja cukup? Pada kenyataannya, wajib pajak telanjur direpotkan dengan beragam kendala dalam awal implementasi coretax system.
Tim Ahli Literasi Pajak PERTAPSI Waluyo memandang coretax system mestinya menjadi wujud modernisasi pelayanan digital kepada wajib pajak. Dia memberi catatan, coretax system perlu segera berjalan optimal agar, sesuai dengan tujuan awal, wajib pajak dimudahkan dalam melaksanakan kewajibannya.
Selama 2 bulan coretax system berjalan, jelas bahwa coretax system masih memerlukan perbaikan di sana-sini. Niat baik otoritas pajak dengan mengintegrasikan 20 proses bisnis pajak ke dalam sistem terpadu bernama coretax system, tentunya perlu diapresiasi.
Namun, sepertinya ada satu hal yang dilewatkan pemerintah: kesiapan wajib pajak. Sesuai dengan penjalasan Head of Tax Administration and Tax Crime Units Organisations for OECD Peter Wiliam Green, digitalisasi administrasi pajak generasi ketiga (Tax Administration 3.0) mestinya berorientasi kepada wajib pajak, bukan otoritas.
Pemerintah, dalam hal ini DJP, perlu memastikan seluruh user dari coretax system benar-benar siap, sekaligus paham, dalam menggunakan sistem baru itu.
Berkaca pada proses panjang digitalisasi administrasi pajak di Amerika Serikat, jalannya jelas tidak singkat. Butuh waktu lebih dari 3 dekade agar sebuah sistem bernama e-filing bisa berjalan optimal. Bahkan, perbaikannya pun terus berlanjut hingga kini.
Transformasi bertahap itu sebenarnya sudah dijalankan Indonesia, sejak penerapan e-registration pada 2007, e-filing pada 2012, e-billing pada 2014, hingga e-faktur dan e-bupot pada 2018. Catat, semuanya bertahap, tidak melalui mass roll out seperti coretax system.
Namun, mengesampingkan seluruh kendala yang muncul, coretax system mau tak mau sudah bergulir. Relaksasi serta kompensasi juga diberikan oleh DJP bagi wajib pajak yang terkendala coretax system.
Dengan begitu, DJP tidak punya pilihan selain memastikan coretax system benar-benar berjalan optimal sesegera mungkin.
Ingat, pengembangan coretax system yang menelan anggaran triliunan juga bersumber dari uang pajak rakyat. Karenanya, wajib pajak sebagai pemasok utama kas negara punya hak untuk mendapat kemudahan dalam pemenuhan kewajiban pajaknya.
Coretax system adalah mimpi besar transformasi administrasi pajak yang layak diperjuangkan. Tapi, jangan sampai mengorbankan kepentingan rakyat sebagai pemilik saham terbesar republik ini. (sap)