Mahatma Gandhi saat memimpin long march memprotes pajak garam.
ORANG India biasa memanggilnya Bapu. Istilah ini datang dari pesisir Gujarat di semenanjung barat India, kampung halamannya, sebagai panggilan istimewa untuk ‘ayah’. Orang lain, terutama orang asing, menyebutnya Mahatma. Ini dari bahasa Sanskerta-India, artinya ‘jiwa yang agung’.
Ia datang dari kelas menengah. Keluarga besarnya adalah birokrat-pedagang. Ayahnya seorang menteri utama di Porbandar, negara bagian British-India yang kini menjadi bagian Gujarat. Ayahnya juga bekerja sebagai penasihat keluarga kerajaan, yang saat itu di bawah Dinasti Jethwa.
Pada akhir abad ke-19, ayahnya mengirimnya ke London untuk belajar hukum. Pada usia 21 tahun, ia sudah jadi pengacara. Namun, prestasi akademiknya biasa saja. Meskipun alumnus luar negeri, ketika ia kembali dan berpraktik di India, kliennya toh sepi-sepi saja. Tak ada yang istimewa.
Maklum, ia bukan tipe pengacara yang canggih. Jangankan bersilat lidah, bicara di depan orang banyak saja grogi. Pernah suatu kali, ketika membela seorang klien di depan hakim, lututnya gemetar sebelum bicara. Lalu buru-buru ia menyerahkan kliennya ke rekannya, sembari keluar dari sidang!
Menemui banyak kegagalan berpraktik di India, ia kemudian mencoba peruntungan ke Pretoria, Afrika Selatan, daerah jajahan Inggris lainnya. Ia hendak mengembalikan karirnya sebagai pengacara. Ia bekerja di Dada Abdulla & Co, perusahaan milik seorang pengusaha muslim keturunan India.
Sayangnya, sewaktu berangkat naik kereta setibanya di sana, ia terusir karena warna kulitnya. Maklum, politik apartheid sedang keras-kerasnya di Afrika Selatan. Namun, ia malah bertahan 21 tahun di negara itu. Tak sekadar tinggal, ia juga mengaktivasi berbagai gerakan penentangan politik.
Tak pelak, Pemerintah Inggris pun perlahan mulai memperhatikannya. Beberapa kali ia masuk penjara karena menganjurkan pemogokan sipil. Di Afrika Selatan inilah, ia melahirkan konsep satyagraha, memegang teguh kebenaran, yang ditunjukkan dengan perlawanan sipil tanpa kekerasan.
Pada 1915, ia kembali ke India dan melanjutkan perjuangannya. Pada tahun itu, ia mengorganisir kaum petani dan buruh guna memprotes pajak tanah yang diskriminatif. Pada Kongres Nasional India 1921, ia memimpin kampanye menuju pemerintahan sendiri yang terlepas dari Inggris.
Tentu, di India ia juga berkali-kali ditahan karena menganjurkan pemogokan buruh, seperti ketika masih di Afrika Selatan. Bertahun-tahun. Namun, ia tak membangkang. Ia menurut ketika ditahan. Ia tidak melawan. Bergerak lagi, ditangkap lagi, masuk penjara lagi. Lalu, apa yang dia lakukan?
Bukan menggebrak pintu atau mengangkat dan menarik kokang senjata, ia memilih jalan kaki. Pada 1930, ia berjalan kaki sejauh 400 kilometer, setara dengan jarak Semarang-Jakarta, untuk memprotes pajak garam. Aksi jalan kakinya ini diikuti oleh ratusan orang. Hanya jalan, tanpa kekerasan.
Saat itu, Pemerintah Inggris melarang orang India membuat atau menjual garam. Warga India dipaksa membeli garam mahal dari Inggris, yang selain memonopoli produksi dan distribusinya, juga mengenakan pajak garam. Dan semua orang di India, baik kaya atau miskin, terkena pajak tersebut.
Pada 1930 itu, total pendapatan dari pajak garam di India mencapai £25 juta dari total pendapatan £800 juta. Pemerintah Inggris juga menerapkan hukuman keras untuk warga yang membangkang. Siapapun yang berani membuat atau menjual garam akan ditangkap dan masuk penjara.
“Saya menganggap pajak garam ini sebagai sesuatu yang paling keji dari sudut pandang orang miskin. Karena gerakan kemerdekaan pada hakikatnya diperuntukkan bagi masyarakat paling miskin di tanah ini, maka permulaannya akan dibuat dengan melawan kejahatan pajak ini,” katanya dalam surat protesnya.
Setelah gerakan jalan kaki damai itu, Inggris menangkapnya. Ia dikirim ke penjara. Tapi lagi-lagi, ia tak melawan. Hingga pada 1942 ia kembali menyerukan kepada Inggris keluar dari India. Pada 15 Agustus 1947, Inggris yang kehabisan sumberdaya akibat perang pun akhirnya menyerahkan kekuasaannya.
“...a man who has confronted the brutality of Europe with the dignity of the simple human being, and thus at all risen superior. Generations to come will scarce believe that such a one as this ever in flesh and blood walked upon this earth,” kata Albert Einstein dalam surat yang dikirimkannya.
Hari ini, wajahnya terpampang di seluruh pecahan uang India, mulai dari Rs1 sampai Rs2000. Puluhan negara telah menerbitkan perangko dan membangun patungnya. Hari ulang tahunnya ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional dan Hari Antikekerasan Internasional. Ia adalah Bapak Bangsa India, Mohandas Karamchand Gandhi.(Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.