PENGADILAN PAJAK (1)

Begini Sejarah Pengadilan Pajak

Hamida Amri Safarina
Selasa, 10 Maret 2020 | 16.52 WIB
Begini Sejarah Pengadilan Pajak

Ilustrasi. 

PERBEDAAN interpretasi hukum maupun perhitungan antara wajib pajak dan otoritas pajak dapat menimbulkan terjadinya sengketa pajak. Untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa pajak, pemerintah membangun suatu institusi penegakan hukum yang khusus menyelesaikan sengketa pajak yang saat ini dikenal sebagai ‘pengadilan pajak’.

Pengadilan pajak berperan sebagai wadah untuk mencari keadilan dan pemulihan hak-hak bagi pihak-pihak yang bersengketa. Melihat pentingnya peran pengadilan pajak maka wajib pajak perlu memahami perkembangan, kewenangan, kedudukan, ruang lingkup, fungsi, ketentuan pembuktian, hingga proses beracara di pengadilan pajak. Dalam artikel ini diulas terlebih dahulu mengenai perkembangan pengadilan pajak dari masa ke masa.

Institusi Pertimbangan Pajak

SECARA historis, upaya penyelesaian sengketa pajak telah ada sejak lama, bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Pemerintah telah memprediksikan terkait adanya sengketa pajak sejak zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Saat itu, sebagai solusi timbulnya sengketa pajak maka didirikan Institusi Pertimbangan Pajak (IPP) pada 1915 (Purwito dan Komariah, 2007).

Tujuan dibentuknya institusi ini adalah untuk mempertahankan hak-hak wajib pajak dan otoritas pajak di bidang perpajakan. Pembentukan tersebut tertuang dalam Staatsblad No.707/1915. Pihak-pihak yang tergabung dalam institusi ini terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha dan para ahli perpajakan. Institusi ini hanya berkedudukan di Batavia (sekarang Jakarta) dengan pertimbangan bahwa kota ini menjadi pusat perdagangan.

Perkembangan penting selanjutnya adalah ketika diundangkannya Staatsblad 1927 No.29 yang menggantikan Staatsblad No.707/1915. Perubahan penting dari peraturan tersebut terkait jabatan Ketua IPP yang digantikan dari Menteri Keuangan ke Wakil Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia membawa berbagai perubahan yang mempengaruhi keberadaan IPP. Akan tetapi, keberadaan institusi ini tetap dipertahankan dan diatur dalam aturan peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dengan diaturnya dalam konstitusi, IPP masih berlaku hingga pemerintah Indonesia melakukan peninjauan kembali pada 1959. Dengan diundangkannya UU No.5/1959  tentang Pengubahan ‘Regeling Van Het Beroep In Belastingzaken’, dibentuklah Majelis Pertimbangan Pajak (MPP).

Majelis Pertimbangan Pajak

MATERI yang tertuang dalam UU No.5/1959 sebenarnya tidak banyak perbedaan dengan Staatsblad 1927 No.29 karena hanya mengatur mengenai istilah dan sebutan. Selain itu, ada penegasan bahwa MPP memiliki kedudukan sebagai pengadilan administratif.

Dengan terbentuknya majelis ini maka kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding atas keberatan yang diajukan oleh wajib pajak melekat pada MPP. MPP tidak hanya berwenang menyelesaikan sengketa pajak pusat, tetapi juga pajak daerah. Setelah MPP terbentuk, sengketa pajak yang terus menumpuk dapat diselesaikan di bawah kepemimpinan Soerjono Sastrohadikoesoemo (Anwar dan Subroto, 2008).

Saat itu, penggunaan nama MPP dianggap kurang sesuai karena menimbulkan intepretasi yang salah terkait fungsi badan ini yang hanya bertugas memberikan pertimbangan tanpa memutus perkara. Namun, sebutan MPP masih terus digunakan hingga didirikannya Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) melalui UU No.17/1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.

Badan Penyelesaian Sengketa Pajak

BPSP dibentuk untuk menggantikan tugas-tugas MPP yang dianggap sudah tidak memadai dan tidak sesuai dengan kebutuhan dalam menyelesaikan sengketa pajak. Dalam Pasal 2 UU No.17/1997 ditegaskan mengenai kedudukan BPSP sebagai Badan Peradilan Pajak yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 27 UU No.6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

BPSP mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak. Tugas dan wewenang tersebut berada di luar tugas dan wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Selain memeriksa dan memutus permasalahan sengketa pajak, BPSP juga berwenang untuk menyelesaikan sengketa kepabeanan dan cukai. Adanya perluasan kewenangan BPSP dari MPP, anggota badan ini berasal dari pemerintah, para ahli perpajakan, pengusaha, dan ahli di bidang kepabeanan dan cukai. Dimasukannya materi terkait kepabeanan dan cukai dikarenakan saat itu UU Kepabeanan dan UU Cukai sudah diundangkan pada 1995.

Melihat kedudukan BPSP saat itu, ada yang mengusulkan pembentukan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Oleh karena itu, pemerintah membentuk Pengadilan Pajak melalui UU No.14/2002 tentang Pengadilan Pajak.

Pengadilan Pajak

SAAT ini, pengadilan pajak merupakan bentuk dari pengadilan khusus yang berada di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurut Pasal 2 UU No.14/2002, definisi pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.

Pembentukan pengadilan pajak ini mempunyai tiga pertimbangan penting (Komariah dan Purwito, 2006). Pertama, peningkatan jumlah wajib pajak diimbangi dengan pemahaman atas bidang perpajakan. Selain itu, otoritas pajak juga semakin sadar akan pelaksanaan pemerintah yang baik (good governance).

Kedua, semakin dibutuhkan wadah untuk menyelesaikan sengketa pajak dengan prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana. Ketiga, dibutuhkan badan peradilan yang dapat memeriksa dan mutus sengketa pajak yang menghasilkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Demikian penjelasan ringkas mengenai perkembangan pengadilan pajak dari masa ke masa. Nantikan dan ikuti artikel kelas pajak selanjutnya akan mengulas mengenai kedudukan dan ruang lingkup pengadilan pajak. *

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.