PAJAK PENGHASILAN BADAN (15)

Cara Menghitung PPh Badan Terutang

Redaksi DDTCNews
Senin, 07 Oktober 2019 | 17.13 WIB
Cara Menghitung PPh Badan Terutang

MEKANISME penghitungan pajak penghasilan (PPh) badan merupakan hal yang penting untuk diketahui oleh setiap wajib pajak badan agar dapat melaksanakan kewajiban perpajakan dengan baik. Penghitungan PPh badan tersebut menghasilkan besaran pajak terutang yang harus dibayarkan dan dilaporkan oleh wajib pajak dalam untuk setiap tahun pajak.

engingat Indonesia menganut sistem self-assessment maka mekanisme penghitungannya diserahkan kepada wajib pajak itu sendiri. Dengan kata lain, sistem tersebut memberi wewenang, kepercayaan, dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Lantas, bagaimana teknis menghitung nominal PPh badan terutang? Berikut penjelasannya.

Menghitung PPh Badan

Sesuai konsep penghasilan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) PPh, setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar Indonesia, akan diperhitungkan secara keseluruhan sebagai dasar pengenaan pajak.

Adapun yang menjadi dasar pengenaan pajak untuk PPh Badan disebut dengan 'penghasilan kena pajak' sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU PPh. Dalam hal ini, PPh badan dikenakan atas penghasilan kena pajak yang diperoleh wajib pajak badan selama tahun pajak berjalan.

Penghasilan kena pajak sendiri mengacu pada keuntungan bersih yang diperoleh dari total pendapatan dikurangi beban usaha sesuai dengan ketentuan perpajakan. Penghitungan ini pun harus dibuktikan melalui penyelenggaraan pembukuan atau minimal pencatatan yang dapat dibuktikan kebenarannya.

Kemudian, setelah mengetahui nilai penghasilan kena pajak tersebut, barulah akan diketahui berapa pajak yang terutang dengan mengalikannya dengan tarif PPh badan yang berlaku. Berikut formulasi penghitungan PPh badan menurut ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia:

Penghasilan Bruto dan Neto

Penghasilan bruto merupakan semua penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia. Setelah dikurangi dengan biaya-biaya operasional perusahaan atau wajib pajak badan maka akan diperoleh penghasilan neto komersial.

Penghasilan neto komersial inilah yang akan menjadi dasar untuk menghitung penghasilan neto fiskal. Untuk menghitung penghasilan neto fiskal, wajib pajak mengacu pada ketentuan perpajakan (UU PPh). Sementara penghasilan komersial berpedoman pada Standard Akuntansi Keuangan (SAK).

Koreksi Fiskal

Seringkali terdapat perbedaan antara ketentuan komersial dan fiskal yang berakibat pada timbulnya selisih jumlah penghasilan neto atau yang disebut dengan koreksi fiskal. Koreksi fiskal ini berpengaruh pada penghitungan PPh terutang. Teknisnya, koreksi fiskal dilakukan baik terhadap pendapatan maupun biaya-biaya yang terdapat pada laporan keuangan komersil. Perlakuan dari koreksi fiskal dibedakan menjadi dua, yaitu koreksi positif dan koreksi negatif.

Tujuan dari koreksi positif adalah menambah laba komersil atau laba/penghasilan kena pajak. Untuk itu, koreksi positif akan menambahkan pendapatan dan mengurangi atau mengeluarkan biaya-biaya yang sekiranya harus diakui secara fiskal. Adapun penyebab terjadinya koreksi fiskal positif ini disebutkan dalam Pasal 9 UU PPh, di antaranya adalah:

  • biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
  • dana cadangan;
  • penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan;
  • jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
  • harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan;
  • pajak penghasilan;
  • gaji yang dibayarkan kepada pemilik;
  • sanksi administrasi;
  • selisih penyusutan/amortisasi komersial di atas penyusutan/amortisasi fiskal;
  • biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan pph final dan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak;
  • penyesuaian fiskal positif lain yang tidak berasal dari hal-hal yang telah disebutkan di atas.

Sebaliknya, tujuan dari koreksi negatif adalah mengurangi laba komersil atau penghasilan kena pajak. Hal ini disebabkan oleh pendapatan komersil yang lebih tinggi daripada pendapatan fiskal dan biaya-biaya komersil yang lebih kecil daripada biaya-biaya fiskal. Penyebab dari adanya koreksi fiskal negatif di antaranya adalah:

  • Penghasilan yang dikenakan PPh final dan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak tetapi termasuk dalam peredaran usaha;
  • Selisih penyusutan/amortisasi komersial komersial di bawah penyusutan/amortisasi fiskal;
  • Penyesuaian fiskal negatif lain yang tidak berasal dari hal-hal yang telah disebutkan di atas.

Kompensasi Kerugian

Setelah melakukan rekonsiliasi fiskal, wajib pajak dapat menghitung besarnya penghasilan kena pajak yang menjadi dasar perhitungan PPh badan. Namun, sebelum mengalikannya dengan tarif PPh badan, perlu dilihat terlebih dahulu apakah masih ada sisa kerugian tahun pajak sebelumnya yang bisa dikompensasikan.

Ketentuan mengenai kompensasi kerugian (carrying loss) ini diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU PPh yang telah diulas dalam artikel sebelumnya. (Baca: Contoh Penghitungan Kompensasi Kerugian Fiskal)

Penghasilan Kena Pajak dan Tarif PPh Badan

Jumlah penghasilan kena pajak yang diperoleh kemudian diperhitungan dengan tarif PPh badan yang berlaku. Badan usaha yang memiliki pendapatan bruto lebih dari Rp50 miliar per tahun, PPh badan dikenakan tarif pajak tunggal 25% dikalikan dengan penghasilan kena pajak.

Untuk badan usaha yang memiliki pendapatan bruto antara Rp4,8 miliar-Rp 50 miliar, sesuai Pasal 31E UU PPh, badan usaha tersebut dikenakan dua tarif, yaitu (1) tarif 12,5% untuk PPh yang mendapatkan fasilitas (pendapatan bruto sampai dengan Rp4,8 miliar) dan (2) tarif 25% untuk PPh yang tidak mendapatkan fasilitas (pendapatan bruto Rp4,8 miliar-Rp 50 miliar).

Kredit Pajak

Wajib pajak badan dalam tahun pajak berjalan melunasi pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak melalui pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak lain, atau atas pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak badan sendiri.

Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak yang nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap pajak penghasilan (PPh) yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.

Dalam hal ini, wajib pajak dapat mengkreditkan pajak yang telah dipotong dan dipungut untuk mengurangi jumlah pajak terutangnya pada akhir tahun. Aturan mengenai kredit pajak diatur dalam Pasal 28 UU PPh. (Baca: Kredit Pajak sebagai Pengurang PPh Badan Terutang)

Kurang/Lebih Bayar Pajak atau Nihil

Status lebih bayar, kurang bayar, maupun nihil diperoleh dengan cara mengurangkan PPh terutang dengan seluruh kredit pajak yang dimiliki oleh wajib pajak. Secara sederhana, status lebih bayar berarti ada kelebihan pembayaran pajak yang dapat diminta ataupun direstitusikan oleh wajib pajak bersangkutan melalui Kantor Pelayanan Pajak (KKP) tempatnya terdaftar.

Sedangkan status kurang bayar artinya ada kekurangan pajak yang seharusnya terutang, serta harus dibayarkan oleh wajib pajak bersangkutan. Adapun status nihil, artinya tidak ada kelebihan atau pun kekurangan pembayaran pajak. (Baca: Sudah Tahu Bedanya SPT Lebih Bayar dan Kurang Bayar?)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.