GLOBALISASI ekonomi menuntut dikuranginya berbagai hambatan perdagangan seperti regulasi dan pengenaan tarif. Apabila dibiarkan, hambatan itu berpeluang menurunkan daya saing nasional sehingga berdampak serius terhadap perekonomian.
Salah satu upaya untuk mengurangi hambatan tersebut adalah dengan membentuk Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Lantas, sebenarnya apa yang dimaksud dengan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB)?
Definisi
TERMINOLOGI KPBPB dalam lanskap internasional lekat dengan istilah Free Trade Zone (FTZ). Menurut IBFD International Tax Glossary (2015) FTZ merupakan istilah yang digunakan secara longgar untuk merujuk pada area mana pun di wilayah suatu negara yang tidak memberlakukan pajak langsung dan/atau tidak langsung.
Istilah FTZ secara lebih khusus digunakan untuk merujuk pada area yang mana bea masuk dan jenis pajak tidak langsung lain tidak diterapkan. Bea masuk umumnya dibayarkan jika barang atau hasil produksi dipindahkan dari FTZ ke area yang tunduk pada kewenangan pabean normal.
FTZ tidak boleh disamakan dengan Free Trade Area. Pasalnya Free Trade Area pada dasarnya merupakan perjanjian bilateral atau multilateral timbal balik untuk melarang atau membatasi bea masuk hanya di antara para anggotanya.
Sementara itu, FTZ merupakan zona yang umumnya memberikan layanan untuk pedagang dan ditujukan untuk memfasilitasi prosedur perdagangan dengan mengizinkan lebih sedikit formalitas bea cukai. Selain FTZ, istilah KPBPB juga lekat dengan istilah free port.
Free port pada dasarnya adalah area terbatas di mana barang dapat dimasukkan atau dikeluarkan dari pengenaan bea masuk. Area ini berfungsi baik sebagai pusat pengiriman barang atau fasilitas gudang berikat (IBFD, 2015).
Sementara itu, International Finance Corporation World Bank Group dalam Special Economic Zones Performance, Lessons Learned, and Implication For Zone Development (2008) menyatakan FTZ merupakan salah satu bentuk dari Special Economic Zone (SEZ), yang didefinisikan sebagai:
“Suatu kawasan di mana luas areanya sempit, dibatasi secara jelas, barang-barang tertentu yang masuk dan keluar dari daerah tersebut bebas bea, menawarkan fasilitas pergudangan, penyimpanan dan distribusi untuk perdagangan, operasional transshipment dan re-export, dan umumnya terletak di pelabuhan laut yang menjadi pintu masuk”.
Selain FTZ, masih terdapat banyak jenis SEZ lainnya, seperti Export Processing Zone (EPZ), Hybrid EPZ (HEPZ), dan Enterprise Zone (EZ) (IFC-World Bank, 2008). Zona-zona tersebut pada umumnya dibedakan berdasarkan tujuan pengembangan, luas kawasan operasional, lokasi, fasilitas, kegiatan, dan tujuan pemasaran.
Definisi dalam Regulasi Domestik
FTZ di Indonesia diadaptasi menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB). Pemerintah telah merumuskan definisi dari KPBPB dan juga telah menetapkannya dalam Undang-Undang No.36/2000 tentang Penetapan Perppu No.1/2000 tentang KPBPB.
Merujuk Pasal 1 angka 1 Perppu No.1/2000 KPBPB adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), dan cukai.
Namun, UU No.36/2000 telah diubah melalui Perppu No.1/2007. Perppu No.1/2007 ini selanjutnya telah ditetapakn menjadi UU No.44/2007. Mengacu Pasal 2 Perppu No.1/2007, batas-batas KPBPB baik daratan maupun perairannya kini ditetapkan dalam peraturan pemerintah tentang pembentukan KPBPB.
Lebih lanjut, dalam KPBKB dilakukan kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi, seperti sektor perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata, dan bidang–bidang lain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah tentang pembentukan KPBPB.
Konsep KPBPB sebetulnya sudah lama dikembangkan di Indonesia. Sejak tahun 1963, Pelabuhan Sabang telah ditetapkan sebagai pelabuhan bebas dan perdagangan bebas yang kemudian dikukuhkan dalam UU No.37/2000.
Selain Pelabuhan Sabang, ada pula kawasan lain yang ditetapkan sebagai KPBPB yaitu Batam, Bintan dan Karimun. Penetapan keempat kawasan tersebut sebagai KPBPB ditetapkan dalam UU No.44/2007 dan produk turunannya.
Dalam perkembangan lebih lanjut sebagian atau seluruh lokasi KPBPB Batam, Bintan, dan Karimun diusulkan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Hal ini tertuang dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No.1/2020 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus.
Adapun KEK merupakan wujud pengembangan kawasan strategis ekonomi yang mulai diatur di Indonesia sejak 2009. Dasar kebijakan tentang pembentukan KEK tertuang dalam UU No.39/2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
Berdasarkan UU tersebut, yang dimaksud dengan KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum NKRI yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Hal ini berarti KEK merupakan pengembangan dari berbagai jenis kawasan ekonomi pada periode sebelumnya, termasuk KPBPB.
Simpulan
INTINYA FTZ adalah area yang mana bea masuk dan jenis pajak tidak langsung lainnya tidak diterapkan. FTZ di Indonesia dikenal dengan istilah KPBPB yang diartikan sebagai suatu kawasan dalam wilayah hukum NKRI yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, PPN, PPnBM, dan cukai. (Bsi)