TANAH dan/atau bangunan sangat dibutuhkan manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar atas papan atau tempat tinggal. Selain itu, tanah dan/atau bangunan juga dapat digunakan sebagai lahan usaha yang memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan tanah dan/atau bangunan terus meningkat. Peningkatan ini menjadikan transaksi penyerahan tanah dan/atau bangunan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat.
Terkait dengan penyerahan tanah dan/atau bangunan, terdapat pajak yang harus ditanggung oleh pihak yang memperoleh tanah dan/atau bangunan tersebut. Pajak tersebut di antaranya adalah bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (BPHTB).
Pemerintah pun terus menyesuaikan ketentuan mengenai BPHTB. Dalam perkembangan terakhir, pemerintah memperbarui ketentuan BPHTB melalui Undang-Undang No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
Undang-undang yang diterbitkan pada awal 2022 tersebut mencabut dan menggantikan Undang-Undang No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) yang sebelumnya berlaku. Lantas, apa itu BPHTB?
Merujuk pada Pasal 1 angka 37 UU HKPD, BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan berarti perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan itu di antaranya adalah jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain, dan pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
Selain itu, perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan juga bisa berasal dari penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, atau hadiah.
Adapun yang dimaksud dengan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan (Pasal 1 angka 39 UU HKPD).
Secara lebih terperinci, hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan.
Namun demikian, tidak semua perolehan hal atas tanah dan/atau bangunan dikenakan BPHTB. Pemerintah sudah menetapkan 8 perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dikecualikan dari BPHTB.
Pertama, untuk kantor pemerintah, pemerintahan daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah. Kedua, oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum.
Ketiga, untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri.
Keempat, untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. Kelima, oleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama.
Keenam, oleh orang pribadi atau badan karena wakaf. Ketujuh, oleh orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Kedelapan, untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengecualian pengenaan BPHTB untuk MBR merupakan ketentuan baru yang belum diatur dalam UU PDRD. Berdasarkan pada Pasal 63 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) 35/2023, pengecualian objek BPHTB bagi MBR diberikan untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh kepala daerah. (kaw)