KAMUS PAJAK

Apa Itu Penyanderaan atau Gijzeling dalam Penagihan Pajak?

Nora Galuh Candra Asmarani
Jumat, 1 Maret 2024 | 18.00 WIB
Apa Itu Penyanderaan atau Gijzeling dalam Penagihan Pajak?

SALAH satu kunci keberhasilan dalam penerimaan pajak ialah kepatuhan wajib pajak. Alasannya, Indonesia menganut sistem self assessment yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajibannya.

Kendati demikian, pemerintah melalui Ditjen Pajak (DJP) tetap melaksanakan pembinaan, penelitian, pengawasan dan pelayanan. Hal ini ditujukan untuk menjamin pemenuhan kewajiban pajak yang sesuai dengan ketentuan.

Untuk itu, apabila terdapat wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban pajaknya maka DJP akan melakukan tindakan tegas, salah satunya melalui gijzeling atau penyanderaan. Lantas, apa itu gijzeling atau penyanderaan?

Gijzeling berasal dari Bahasa Belanda yang artinya sandera atau penyanderaan. Definisinya pun bermacam-macam. Misal, definisi dari ketentuan Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglement Buitengewesten (RBg).

Menurut ketentuan HIR atau RBg, gijzeling adalah menahan pihak yang kalah di lembaga pemasyarakatan dengan tujuan untuk memaksanya memenuhi putusan hakim (Hidayah dan Mudawamah, 2015).

Menurut R. Santoso Brotidihardjo dalam Pengantar Ilmu Hukum Pajak, gijzeling adalah penyitaan atas badan orang yang berutang pajak. Penyitaan bukan langsung atas kekayaan, melainkan secara tidak langsung diri orang yang berutang pajak.

Definisi gijzeling juga dijelaskan dalam Undang-Undang (UU) No.19/1997 s.t.d.d UU No. 19/2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP). Adapun UU PPSP menggunakan istilah penyanderaan.

Merujuk Pasal 1 angka 21 UU PPSP, penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.

Penanggung pajak berarti orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Sementara itu, tempat tertentu yang dimaksud haruslah tertutup, terasing dari masyarakat, memiliki fasilitas terbatas serta mempunyai sistem pengaman dan pengawasan yang memadai (Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 137/2000).

Sebelum tempat penyanderaan tersebut dibentuk, penanggung pajak yang disandera dititipkan di rumah tahanan (rutan) negara dan terpisah dari tahanan lain. Untuk itu, umumnya, penyanderaan penanggung pajak dilakukan di rutan.

Izin dan Jangka Waktu Penyanderaan

Penyanderaan dilakukan oleh juru sita pajak berdasarkan surat perintah penyanderaan. Surat perintah penyanderaan ini diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan izin tertulis dari menteri keuangan atau gubernur.

Lebih lanjut, penyanderaan dilakukan paling lama 6 bulan dan dapat diperpanjang maksimal 6 bulan. Namun, penyanderaan tidak boleh dilaksanakan jika penanggung pajak sedang beribadah, atau sedang mengikuti sidang resmi, atau sedang mengikuti pemilihan umum (Pemilu).

Syarat dan Jangka Waktu Penyanderaan

Penyanderaan merupakan upaya terakhir dalam penagihan pajak. Dalam penerapannya, penyanderaan dilakukan secara selektif dan hanya dilakukan terhadap pihak yang memenuhi syarat tertentu. Hal ini dimaksudkan agar penyanderaan tidak dilakukan sewenang-wenang.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (10) PMK 61/2023, penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang tidak melunasi utang pajak setelah lewat jangka waktu 14 hari terhitung sejak tanggal surat paksa diberitahukan, dalam hal:

  1. hak untuk melakukan penagihan Pajak atas Utang Pajak akan daluwarsa dalam jangka waktu kurang dari 2 tahun;
  2. terdapat tanda-tanda bahwa Badan akan dibubarkan, digabungkan, dimekarkan, dipindahtangankan, atau dilakukan perubahan bentuk lainnya; atau
  3. terdapat tanda-tanda kepailitan dan/atau dalam keadaan pailit.

Sementara itu, penanggung pajak yang telah dilakukan pencegahan dapat disandera dalam jangka waktu paling cepat 30 hari sebelum berakhirnya jangka waktu pencegahan atau berakhirnya jangka waktu perpanjangan pencegahan.

Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang memenuhi syarat kuantitatif dan kualitatif. Adapun wajib pajak yang dapat disandera harus memenuhi syarat kuantitatif, yaitu mempunyai utang pajak minimal Rp100 juta.

Sementara itu, syarat kualitatif yang dimaksud adalah diragukan itikadnya dalam melunasi utang pajak. Secara lebih terperinci, berdasarkan Pasal 64 ayat (2) PMK 61/2023, terdapat 2 kriteria wajib pajak diragukan iktikad baiknya.

Pertama, tidak melunasi utang pajak baik sekaligus maupun angsuran, walaupun telah diberitahukan surat paksa. Kedua, menyembunyikan atau memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai, termasuk akan membubarkan badan, setelah timbulnya utang pajak. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
Facebook DDTC
Twitter DDTC
Line DDTC
WhatsApp DDTC
LinkedIn DDTC
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.