KAMUS PAJAK DAN POLITIK

Apa Itu Tax Bargaining?

Redaksi DDTCNews
Senin, 03 Juli 2023 | 11.15 WIB
Apa Itu Tax Bargaining?

BERLAKUNYA sistem pemajakan di sebuah negara tidak lepas dari proses negosiasi kebijakan antara pemerintah dengan rakyat. Di satu sisi, pemerintah membutuhkan penerimaan pajak untuk mendanai pembangunan. Di sisi lain, rakyat juga menanggung beban untuk menyetorkan pajak kepada negara. 

Secara sederhana, wujud timbal balik dari sebuah negosiasi kebijakan pajak tersebut dikenal sebagai tax bargaining. Lantas apa itu tax bargaining selengkapnya?

Moore (2008) dalam bukunya, Taxation and State in Developing Countries, mendefinisikan tax bargaining sebagai proses implisit atau eksplisit dari negosiasi antara pemerintah dan rakyat dalam penyusunan kebijakan pajak. 

Makin tinggi kebutuhan pemerintah untuk memungut pajak dari rakyat, makin tinggi pula kecenderungan rakyat untuk menagih/meminta manfaat yang sepadan dari pajak yang disetornya. 

Adanya tax bargaining menawarkan batasan-batasan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan pajak. Artinya, sistem pemungutan pajak tidak bisa semena-mena dan justru merugikan rakyat. 

Di sisi lain, tax bargaining juga memberikan ruang bagi rakyat untuk meminta timbal balik berupa manfaat atau keuntungan, baik berupa wujud fisik pembangunan, beragam insentif fiskal, ataupun bentuk bantuan sosial yang didanai oleh pajak yang dibayarkan. 

Dalam buku yang sama, Moore juga menyebutkan bahwa tax bargaining sejatinya merupakan proses yang panjang dan konfliktual. 

Pada dasarnya, pemerintah dan rakyat mengusung idenya masing-masing dalam hal kebijakan pajak. Proses pengambilan keputusan yang melibatkan publik, memenuhi prinsip meaningful participation, membuat kepatuhan masyarakat dalam menjalankan kebijakan pajak ikut meningkat. 

Tax Bargaining dan Politik

Dalam jurnal berjudul Tax Bargaining, Fiscal Contract, and Fiscal Capacity in Ghana: a Long-term perspective, Aboagye (2020), menyebutkan bahwa kemampuan negara dalam memajaki rakyatnya berkaitan erat dengan strategi politik yang dijalankan pemimpinnya. 

Tawar menawar politik, antara pemilik kuasa di tataran eksekutif dengan rakyat yang diwakili oleh legislatif, memengaruhi pengambilan keputusan tentang kebijakan fiskal sebuah negara. Dalam konteks yang lebih jauh, tawar menawar politik ini ikut berpengaruh pada kebijakan pajak suatu negara. 

Prichard (2005), melalui bukunya The Dynamics of Tax Bargaining, mengidentifikasi ada 3 variasi tax bargaining. 

Pertama, direct tax bargaining, yakni daya tawar pengenaan pajak secara langsung. Negosiasi langsung terjadi apabila pemerintah menawarkan konsesi yang eksplisit kepada publik atas pajak yang dikenakan. 

Dalam direct tax bargaining, konsesi ditawarkan sebelum sebuah kebijakan pajak dijalankan. Atau, konsesi diberikan sebagai respons atas penolakan rakyat terhadap kebijakan tertentu. Konsesi atas pengenaan pajak, paling umum, berupa pembangunan, layanan publik, atau penguatan keuangan negara. 

Prichard mencantumkan contoh dari Ghana. Protes pengenaan PPN pada 1995 mendesak pemerintah untuk lebih transparan dan demokratis dalam penyelenggaraan pemilu pada tahun-tahun berikutnya. 

Pemerintah Ghana sempat 2 kali menaikkan tarif PPN. Sebagai gantinya, pemerintah secara transparan meningkatkan belanja untuk pelayanan publik tertentu, termasuk pembentukan Dana Perwalian Pendidikan untuk anak-anak di Ghana, serta skema asuransi kesehatan nasional. 

Dalam konsep direct tax bargaining, timbal baliknya jelas: pemerintah memberikan manfaat atas pajak yang dikenakan rakyat dan rakyat menyetujuinya. 

Kedua, tax resistance and changes in government. Dalam studi kasus di Afrika dan sejumlah negara lain, ditemukan perilaku penolakan dari wajib pajak terhadap rencana kenaikan tarif pajak atau kebijakan pajak lainnya. Penolakan ini bisa juga tercermin dari peningkatan penghindaran pajak oleh wajib pajak. 

Dalam jangka panjang, resistensi terhadap pajak akan menyulitkan pemerintah untuk menyusun kebijakan pajak atau menaikkan tarif pajak. 

Sebagai contoh, menjelang pemilihan umum (pemilu) di Kenya pada 2002 lalu realisasi penerimaan pajak tercatat anjlok. Meski penurunan kinerja pajak merupakan cermin dari pelemahan ekonomi di negara tersebut, namun ada indikasi secara implisit bahwa perlambatan penerimaan merupakan strategi politik dari kelompok oposisi. Praktik kampanye dari oposisi meninggikan resistensi pajak oleh publik. 

Ketiga, peningkatan kapasitas politik wajib pajak melalui reformasi dan mobilisasi masyarakat sipil. Prichard, masih dalam buku yang sama, mengelaborasi bahwa ketidakmampuan pemerintah dalam merespons daya tawar oleh masyarakat terkait dengan kebijakan pajak, lantas menimbulkan resistensi. 

Namun, pada ujungnya, tercipta sebuah gerakan sipil baru yang menjadi pionir reformasi perpajakan di suatu negara. Reformasi pajak ini menjadi modal bagi masyarakat untuk menuntut pertanggungjawaban kepada pemerintah atas belanja-belanja yang dijalankan dari pajak. 

Contohnya, penyebaran paham antipajak di Ghana pada 1995 silam yang menyulut reformasi pajak. Penolakan publik terhadap kebijakan-kebijakan perpajakan pemerintah membuat seluruh calon presiden pada pemilu-pemilu setelahnya menjadi lebih aware terhadap isu pengelolaan fiskal. 

Pada akhirnya, adanya tax bargaining antara rakyat dan pemerintah menuntut pengambil kebijakan agar menerapkan prinsip meaningful participation agar keadilan terjadi. Apapun kebijakan yang dijalankan benar-benar mewakili suara rakyat dan untuk menyejahterakan rakyat. 

Dalam buku Taxing Africa: Coercion, Reform, and Development oleh Moore dan Prichard (2018), tax bargaining kerap kali secara eksplisit mencerminkan pertukaran ide antara pemerintah dan rakyat sehingga memunculkan asas saling menguntungkan. 

Namun, lebih dalam lagi, tax bargaining juga menjadi realitas politik yang terkadang konfliktual. 

Dalam lanskap pajak di Indonesia, Bawono Kristiaji (2022) sempat menyampaikan saat ini tengah terjadi kecenderungan peningkatan tax bargaining. Sejalan dengan reformasi pajak yang berlangsung, muncul suatu tarik menarik kepentingan dan suara publik (wajib pajak). 

Adanya tax bargaining bisa menjamin akseptabilitas, juga menakar dampak perubahan perilaku wajib pajak. Namun, partisipasi publik dalam perumusan kebijakan tetap perlu rambu-rambu yang jelas agar prosesnya tidak berlarut-larut atau mencegah munculnya bargaining yang tidak sehat. (sap)

Baca artikel-artikel menarik terkait dengan pajak dan politik di laman khusus Pakpol DDTCNews: Suaramu, Pajakmu.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.