LAYAKNYA fungsi pajak sebagai instrumen perusahaan dalam mencapai nilai dan tujuan perusahaan, Michael J. Bernard mengajak kita untuk meninjau ulang pepatah pajak yang mengatakan: “Don’t put tax data analytics before Key Performance Indicators (KPI).”
Seiring dengan meningkatnya permintaan akan kemampuan analisis data pajak, kemampuan analisis data pajak itu sendiri tampak seperti produk alami dan tak terhindarkan dari tren analisis data yang dimulai tak lama setelah pergantian abad ke-21.
Jurnal yang ditulis oleh Michael J. Bernard dengan judul “Analyse This: Putting Performance Before Analytics” menguraikan secara ringkas mengenai relevansi dan pentingnya meletakkan analisis data sebelum menentukan KPI dalam fungsi pajak.
Dalam jurnal ini, Bernard menjelaskan pentingnya kemampuan analisis data dari seorang profesional pajak. Dengan demikian, pekerjaan yang biasanya dilakukan secara manual dan menghabiskan banyak waktu, berubah menjadi pekerjaan yang dilakukan dengan akses informasi secara singkat dan kesimpulan yang berguna sesuai permintaan yang dibutuhkan.
Alasan yang mendasari ajakan tersebut adalah fungsi pajak perlu mengimbangi otoritas pajak. Khususnya mengenai kemampuan analisis data baik dalam manajemen pengumpulan data, identifikasi penyimpangan kepatuhan, dan kaitannya dengan efisiensi perusahaan.
Selain itu, para profesional pajak diharapkan dapat memanfaatkan data pajak untuk memberikan wawasan ke depan tentang dampak dan perubahan peraturan di masa depan, serta berkontribusi pada kegiatan perencanaan strategi.
Namun, sebelum memanfaatkan analisis data, fungsi pajak harus dapat mengukur dan menilai kinerjanya sendiri. Tanpa adanya high-level view yang dilakukan oleh fungsi pajak atas hal-hal yang dianggap penting maka akan sulit bagi fungsi pajak untuk menetapkan tujuan yang tepat dalam mencapai nilai-nilai organisasi.
Analisis data juga menjadi faktor penting dan berpengaruh dalam persaingan bisnis. Kompetisi analisis ini mengubah 'supporting tools menjadi senjata strategis'. Kompetitor analitik yang dapat memanfaatkan analisis data tersebutlah yang 'sedang berjalan menuju kemenangan' seperti dikutip dari U.S Academic Thomas Davenport dalam Harvard Business Review Januari 2006.
Saat ini, sebagian besar industri telah membuat langkah besar dalam penggunaan kemampuan analisis data. Fungsi penjualan, pemasaran, sumber daya manusia, keuangan, dan akuntansi telah memanfaatkan kemampuan analisis data untuk menciptakan nilai bisnis yang signifikan. Tak terkecuali fungsi pajak sebagai pengadopsi terakhir kemampuan analisis data yang lengkap.
Perkembangan terkini yang memperlihatkan ketertarikan dari berbagai otoritas pajak dalam menekuni isu big data dan penggunaan analisis data juga menghasilkan tekanan pada fungsi pajak. Tak heran, laporan KPMG pada 2018 menyebutkan bahwa otoritas pajak pada era digital seperti saat ini terus berinvestasi pada teknologi baru untuk secara proaktif mengumpulkan data keuangan secara real time.
Data dan teknologi baru tersebut memungkinkan otoritas dengan cepat memilah jutaan catatan untuk mengidentifikasi masalah, menilai risiko wajib pajak, dan mengurangi waktu audit. Untuk itu, penting bagi perusahaan untuk memahami setiap detail cerita dari data-data perusahaan.
Perusahan yang mengambil pendekatan berbasis data akan berada dalam posisi terbaik dalam memenuhi tuntutan otoritas secara global dan mencegah timbulnya kesalahan yang materiel. Meski begitu, hingga saat ini, belum terdapat panduan praktis yang jelas terkait dengan analisis data tersebut.
KPI
TERDAPAT beberapa faktor penting untuk mengenali pertimbangan dalam merumuskan KPI. Pertama, kinerja fungsi pajak dalam berbagai aktivitas ekonomi perusahaan harus dapat diukur. Kedua, performance indicator dipilih dan diterapkan berdasarkan pertimbangan strategi perusahaan dan faktor-faktor terkait.
Sebagian besar performance indicators dari fungsi pajak akan berhubungan dengan biaya pajak (seperti tarif pajak efektif dan tax cash), kontrol dan kepatuhan, risiko, efisiensi proses, dan beberapa bentuk efektivitas lainnya. Namun, indikator yang digunakan dapat saja berbeda antara grup perusahaan berskala kecil-menengah dengan grup perusahaan berskala multinasional.
Ketiga, KPI berubah dari waktu ke waktu. KPI harus terus dievaluasi secara berkala untuk memastikan faktor-faktor yang mendorong keberhasilan fungsi telah diukur secara tepat. Keempat, pemantauan dan pengelolaan KPI membutuhkan teknologi pendukung yang tepat. KPI dan analisis data pajak keduanya memerlukan data serta teknologi pendukung yang diperlukan untuk mengakses dan memproses data tersebut dengan cara yang nyaman dan akurat.
Dengan adanya KPI yang terukur, setidaknya terdapat empat harapan utama kepada profesional pajak dalam menjalankan fungsi pajak. Pertama, mengelola risiko dengan menghindari masalah audit, penalti keuangan, serta reputasi yang buruk. Kedua, mendorong efisiensi melalui pengurangan biaya, sambil menunjukkan imbal hasil (return) yang dapat dibuktikan atas investasi teknologi pajak.
Ketiga, berkolaborasi dengan mitra bisnis dengan memberikan saran perencanaan pajak proaktif dan berbagi perspektif mereka tentang perubahan peraturan yang akan terjadi. Terakhir, menjaga tarif pajak efektif tetap rendah dengan memberikan saran pajak yang bersifat strategis dan mendukung kegiatan komersial.
Keempat harapan tersebut juga dapat menjadi titik awal yang baik untuk mengembangkan KPI fungsi perpajakan. Jurnal ini tidak hanya menarik untuk dibaca, tetapi juga menarik pembacanya untuk memahami seluk beluk perubahan fungsi pajak di masa kini.
*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.