DIGITALISASI sudah menjadi topik yang cukup sering terdengar saat ini. Disrupsi yang disebabkan perkembangan teknologi ternyata tidak terbatas pada transaksi jual beli atau pun layanan yang serba otomatisasi saja.
Pembayaran menggunakan mata uang virtual semakin banyak digunakan dan menjadi tren saat ini. Berbeda dengan pelaku ekonomi digital yang lebih banyak berasal dari Amerika Serikat, saat ini, cryptocurrency dikembangkan berbagai pihak di setiap negara.
Pasar mata uang virtual terus tumbuh secara signifikan setiap tahunnya. Mata uang jenis ini berstatus stateless dan peredarannya tidak diawasi pihak manapun. Salah satu contoh mata uang virtual yang banyak dikenal masyarakat ialah cryptocurrency.
Dengan nilai kapitalisasi pasar yang terus meningkat, mata uang ini mendorong berbagai negara mempertanyakan dan mengidentifikasi potensi dan tantangan pemajakan atas mata uang virtual tersebut. Lantas, bagaimanakan potensi pemajakan cryptocurrency?
Topik pemajakan cryptocurrency menjadi bahasan yang menarik dalam artikel yang berjudul “Beyond Digital: Is Cryptocurrency the Next Tax Frontier?”. Artikel yang ditulis oleh Mindy Herzfel dalam Tax Notes International Volume 98 ini secara khusus membahas konteks tantangan pemajakan cryptocurrency di Amerika Serikat.
Penulis menyatakan bahwa saat ini IRS belum mempunyai panduan yang jelas dalam mendefinisikan dan memajaki cryptocurrency. IRS hanya menganalogikan cryptocurrency sebagai suatu aset dan jenis pendapat lainnya.
Secara sederhana, mata uang virtual didefinisikan sebagai representasi digital dari nilai yang berfungsi sebagai media pertukaran, unit akun, atau penyimpan nilai yang seperti mata uang nyata tetapi tidak memiliki status tender legal di yurisdiksi mana pun
Kurangnya pedoman atas pemajakan cryptocurrency menimbulkan risiko ataupun kerugian yang signifikan. Sederet risiko yang dihadapi yaitu potensi hilangnya pendapatan atau pun membuka pintu bagi kegiatan ilegal yang dapat terjadi tanpa disadari.
Enam tahun yang lalu, IRS memang pernah mengeluarkan panduan resmi tentang cryptocurrency. Melalui panduan tersebut, pemerintah Amerika Serikat menjelaskan penerapan prinsip pajak umum untuk transaksi mata uang virtual.
Pada 2014 cryptocurrency dianggap sebagai properti sehingga tidak dapat diperlakukan sebagai mata uang asing yang terkena pajak. Anggapan tersebut mungkin masih sesuai kebutuhan pada 2014, Namun, seiring perkembangan dan penggunaan cryptocurrency saat ini, konsep itu sulit diterima.
Selanjutnya, penulis melihat konsep seperti itu tidak tepat digunakan dan belum tentu sesuai dengan keadaan perkembangan pasar. Saat ini, transaksi cryptocurrency mungkin saja hanya mencakup beberapa hal, tetapi ke depannya perkembangan bisa semakin pesat serta memengaruhi berbagai kegiatan.
Herzfel menyebutkan bahwa saat ini panduan yang diberikan belum cukup menegaskan dan memberi arahan atas pemajakan cryptocurrency. IRS seharusnya dapat menentukan jenis transaksi cryptocurrency dan karakteristiknya yang mungkin berpotensi dibebankan pajak. Penulis menambahkan, setiap upaya memajaki pemilik mata uang cryptocurrency atas dasar nilai aset akan membutuhkan penerapan sistem pelaporan baru.
IRS sepertinya terjebak di antara pilihan. Di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk mengeluarkan panduan. Namun, di sisi lain, terdapat risiko jika membuat aturan yang ketinggalan zaman atau gagal mencerminkan realitas pasar.
Secara umum, penulis memang khusus membahas pedoman pajak cryptocurrency. Namun, artikel ini juga memberikan pemahaman dan mengingatkan atas perkembangan tenologi, khususnya penggunaan cryptocurrency. Saat ini, ada negara yang sudah mulai memberikan pedoman pemajakan cryptocurrency dan masih ada pula yang belum menyadari potensinya.
Topik pemajakan cryptocurrency masih tergolong sangat baru. Artikel ini sangat menarik bagi praktisi, akademisi, dan tentunya otoritas pajak yang memiliki pandangan futuristis mengenai perpajakan.*