BUKU PAJAK

Justifikasi Ini Perlu Jadi Dasar Pengaturan Kuasa dan Konsultan Pajak

Redaksi DDTCNews
Rabu, 04 Desember 2024 | 13.05 WIB
Justifikasi Ini Perlu Jadi Dasar Pengaturan Kuasa dan Konsultan Pajak

Buku ke-29 terbitan DDTC berjudul Kuasa dan Konsultan Pajak: Model dan Perbandingan. 

SUATU profesi seharusnya tidak diregulasi hanya karena anggapan instrumen hukum mutlak diperlukan. Jika menggunakan perspektif ini, berbagai elemen dan filosofi yang menjadi nilai sesungguhnya justru menjadi kabur. Oleh karena itu, suatu justifikasi diperlukan untuk menjadi landasan pengaturan profesi, termasuk kuasa dan konsultan pajak.

Para penulis buku ke-29 terbitan DDTC berjudul Kuasa dan Konsultan Pajak: Model dan Perbandingan menekankan pentingnya justifikasi sebagai penentu langkah perumusan desain dan struktur regulasi yang tepat. Perumusan grand design pengaturan harus berimbang dan visioner, melihat dari perspektif makro, serta memperhatikan seluruh pemangku kepentingan.

Buku hasil kolaborasi DDTC dan PERTAPSI ini memuat 5 justifikasi utama yang perlu dijadikan landasan pengaturan profesi kuasa dan konsultan pajak di Indonesia. Pertama, kepentingan publik. Kedua, perubahan lanskap perpajakan. Ketiga, kinerja pajak yang belum optimal. Keempat, jumlah ahli perpajakan yang terbatas. Kelima, perlindungan pengguna jasa dan kepentingan pemerintah.

Kepentingan Publik

Kuasa dan konsultan pajak memainkan peranan penting sebagai mediator otoritas pajak dengan wajib pajak dalam sistem perpajakan suatu negara. Di satu sisi, kuasa dan konsultan pajak merupakan pihak yang diminta oleh wajib pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak (Jackson dan Milliron, 1989).

Di sisi lain, kuasa dan konsultan pajak juga berperan sebagai agen pemerintah dalam peningkatan kepatuhan pajak. Namun demikian, berbeda dengan otoritas pajak yang bekerja untuk negara, kuasa dan konsultan pajak bekerja secara profesional untuk wajib pajak. Simak ‘Perlunya Pemahaman yang Tepat soal Peran Kuasa dan Konsultan Pajak’.

Atas nama kepentingan publik, pengaturan tentang kuasa dan konsultan pajak sedapat mungkin tidak bersifat monopoli. Regulasi tidak boleh dipergunakan untuk melindungi kepentingan ekonomi dari para pihak yang memiliki lisensi sebagai kuasa dan konsultan pajak atau menghalangi pihak lain untuk menjalankan profesi tersebut dengan menciptakan birokrasi berbelit-belit.

Pada umumnya, setiap pemerintah suatu negara menghadapi tantangan dalam menjamin kepatuhan pajak. Secara sederhana, tantangan tersebut dipengaruhi oleh dua ‘ketertinggalan’ (gap). Salah satunya adalah ketertinggalan sistem perpajakan (kebijakan, administrasi, dan hukum) dengan model bisnis atau dinamika perekonomian. Hal ini memunculkan peluang pengurangan biaya pajak.

Kemudian, ketertinggalan masyarakat (wajib pajak) dalam mengikuti dan mematuhi dinamika perubahan sistem perpajakan. Sistem perpajakan yang terus-menerus berubah (sebagai dampak penyesuaian untuk mengikuti dinamika sosial, politik, dan ekonomi) juga berpotensi menciptakan kesulitan bagi wajib pajak untuk mengikuti perubahan.

Kedua gap tersebut pada gilirannya memunculkan permasalahan berupa adanya ketersediaan jasa perpajakan yang tidak seharusnya, yaitu jasa yang memungkinkan wajib pajak mengurangi kewajiban pajaknya secara tidak bermoral. Kemudian, ada permasalah kurangnya ketersediaan jasa perpajakan yang justru dibutuhkan untuk membantu wajib pajak memenuhi kewajiban pajaknya.

Hal tersebut pada akhirnya mengindikasikan perlunya solusi yang tepat sasaran sesuai dengan prioritas yang dibutuhkan. Adapun solusi tersebut adalah suatu pengaturan profesi kuasa dan konsultan pajak yang mampu mengeliminasi jasa perpajakan yang keliru. Namun, di sisi lain pengaturan tetap memfasilitasi terpenuhinya jasa perpajakan yang dibutuhkan.

Perubahan Lanskap Perpajakan

Agenda perpajakan kini juga menjadi perhatian di tingkat global dengan adanya berbagai proyek koordinasi internasional. Dengan demikian, sistem perpajakan nasional kian sulit untuk didesain secara tertutup tanpa dipengaruhi oleh tekanan (sekaligus pengaruh) dari sistem perpajakan negara lain ataupun secara global.

Tidak hanya itu, digitalisasi juga kian memberikan disrupsi bagi sektor pajak. Teknologi informasi memberikan berbagai manfaat, mulai dari sisi efisiensi dan kemudahan hingga kemampuan memprediksi perilaku dari wajib pajak. Tidak mengherankan jika otoritas pajak di berbagai negara makin banyak menggunakan teknologi untuk mendorong kepatuhan pajak.

Berbagai perubahan lanskap perpajakan di tingkat global maupun domestik akan berdampak signifikan kepada wajib pajak. Wajib pajak sangat mungkin kesulitan untuk memahami implikasi atas perubahan ketentuan perpajakan terhadap kegiatan usaha mereka. Dalam situasi ini, kuasa dan konsultan pajak diperlukan untuk membantu wajib pajak.

Dengan demikian, kuasa dan konsultan pajak berperan sangat penting di tengah perubahan dan dinamika lanskap pajak atas dua alasan. Kedua alasan yang dimaksud adalah untuk menguraikan kompleksitas pajak serta untuk membantu wajib pajak beradaptasi dengan berbagai perubahan kebijakan, administrasi, dan hukum yang sangat dinamis.

Sebagai informasi, tax complexity index Indonesia pada 2020 adalah sebesar 0,39. Kinerja ini justru mengalami penurunan karena pada 2022, indeksnya menjadi 0,44. Kompleksitas itu meningkat di tengah berbagai perubahan regulasi dalam kerangka reformasi perpajakan selama 2020-2022. Adapun rentang indeks sebesar 0 (sangat tidak kompleks) hingga 1 (sangat kompleks).

Dengan demikian, kehadiran kuasa dan konsultan pajak justru kian relevan di tengah perubahan sistem perpajakan yang kian kerap terjadi, seperti halnya dalam konteks Indonesia pascaimplementasi program amnesti pajak pada 2016 hingga saat ini.

Kinerja Pajak

Berdasarkan pada data Kementerian Keuangan yang diolah DDTC Fiscal Research & Advisory, nominal penerimaan pajak pada periode 2010-2023 sejatinya mencatatkan pertumbuhan hampir tiga kali lipat dari Rp628,2 triliun (2010) menjadi Rp1.869,2 triliun (2023). Namun, kinerja tax ratio justru menyusut dari 11,3% (2010) menjadi 10,3% (2023).

Dengan kinerja itu, tax ratio Indonesia masih jauh dari standar internasional yang ideal untuk memenuhi pendanaan pembangunan berkelanjutan, yakni minimal 15% (IMF, 2016). Kinerja ini turut disebabkan oleh masih lemahnya tax buoyancy di Indonesia. Tax buoyancy merupakan indikator seberapa responsif penerimaan pajak terhadap aktivitas ekonomi nasional.

Selama periode 2010-2019 (sebelum pandemi), rata-rata tax buoyancy Indonesia tercatat hanya sebesar 0,88 (kurang dari 1,00). Artinya, kenaikan PDB belum dibarengi dengan optimalnya peningkatan penerimaan pajak. Setiap 1% pertumbuhan PDB hanya dapat ditransformasikan kepada 0,88% pertumbuhan penerimaan pajak. Tidak mengherankan jika tax ratio justru kian menyusut.

Menariknya, berbagai upaya dalam konteks reformasi perpajakan sudah dijalankan, baik mencakup sumber daya manusia, proses bisnis, organisasi, regulasi, maupun teknologi informasi berbasis data. Otoritas juga berupaya menciptakan masyarakat melek pajak melalui program inklusi pajak, membentuk fungsional penyuluh pajak, memperbanyak saluran komunikasi pajak, dan sebagainya.

Pada kenyataannya, hal tersebut belum cukup. Dalam menciptakan masyarakat melek pajak, pemerintah khususnya Ditjen Pajak (DJP) tidak bisa dibiarkan sendirian. Dengan terbatasnya kapasitas administrasi otoritas pajak saat ini, ‘perpanjangan tangan’ melalui kuasa dan konsultan pajak menjadi hal yang tak terhindarkan. Harapannya, pemungutan pajak menjadi lebih efektif.

Selain itu, dengan standar kompetensi yang mumpuni, kuasa dan konsultan pajak dapat berperan dalam upaya ekstensifikasi pajak. Terlebih, rata-rata jumlah transaksi shadow economy di Indonesia pada 2005-2015 mencapai angka 26,6% dari PDB (Medina dan Schneider, 2018). Selain itu, kinerja PPh yang berasal dari orang pribadi masih rendah.

Jika menggunakan 4 tingkatan piramida model kepatuhan (OECD, 2004), terdapat dugaan wajib pajak Indonesia mayoritas berada kelompok kedua dan ketiga. Kelompok kedua adalah wajib pajak yang memiliki keinginan patuh tapi memiliki kendala. Kelompok ketiga adalah wajib pajak yang mencoba untuk tidak patuh ketika terdapat kesempatan. Artinya, peran kuasa dan konsultan pajak kian relevan.

Contoh, kuasa dan konsultan pajak menangani wajib pajak kelompok kedua, yakni yang ingin patuh tetapi memiliki keterbatasan informasi atau pemahaman. Kemudian, bisa juga untuk memengaruhi kelompok ketiga dengan memperlihatkan risiko yang dapat terjadi jika wajib pajak yang bersangkutan memutuskan untuk tidak patuh.

Keterbatasan Jumlah Ahli Perpajakan

Kesiapan sumber daya manusia (SDM) bisa menjamin prasyarat terbentuknya masyarakat pajak (tax society) yang cerdas dan kritis, aktif berpartisipasi dalam pembangunan, serta paham hak dan kewajiban perpajakannya. Kuantitas dan kualitas SDM dalam bidang perpajakan pada hakikatnya tergantung pada sistem pendidikan tinggi kompetensi perpajakan.

Kemudian, ada faktor perangkat ketentuan perpajakan sebagai mendorong perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan kompetensi perpajakan yang terstandardisasi serta diakui lulusannya sebagai cikal bakal ‘tuan rumah’ profesi kuasa dan konsultan pajak.

Murphy (2015) menyatakan untuk menciptakan sistem perpajakan yang baik sesuai dengan four canons of taxation dari Adam Smith serta memenuhi ekspektasi masyarakat, terdapat 4 hal mendasar yang harus tersedia. Keempatnya adalah edukasi tentang perpajakan, riset di bidang perpajakan, perumusan kebijakan perpajakan, serta administrasi perpajakan.

Dalam menjamin berlangsungnya keempat hal itu dibutuhkan ketersediaan SDM di bidang perpajakan yang berkualitas di Indonesia. Diperlukan peninjauan ahli pajak yang tersedia di universitas, dunia usaha, otoritas pajak, lembaga penelitian, dan sebagainya. Salah satunya ialah ketersediaan kuasa dan konsultan pajak.

Hingga saat ini, jumlah konsultan pajak di Indonesia dapat dikatakan belum ideal. Hingga 31 Desember 2023, jumlah izin konsultan pajak di Indonesia sebanyak 7.094 orang. Secara statistik, jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 82,4% dibanding tahun 2019 yang jumlahnya hanya sebesar 3.851 orang.

Namun demikian, jika dibandingkan dengan populasi penduduk Indonesia, jumlahnya masih terlalu sedikit, yaitu hanya terdapat 1 konsultan pajak di antara 39.826 penduduk. Rasio tersebut berbeda jauh dibanding negara negara lainnya, bahkan Filipina (1:20.900) dan Malaysia (1:12.929).

Padahal, di tengah adanya kompleksitas kegiatan usaha serta variasi model bisnis, jasa konsultasi berbasis pengetahuan (knowledge-based consulting) dalam membantu pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan makin dibutuhkan.

Dengan demikian, terdapat urgensi untuk mendorong ketersediaan profesional pajak, baik individu berprofesi sebagai kuasa dan konsultan pajak maupun penyedia jasa perpajakan lainnya yang dapat membantu literasi dan kepatuhan pajak. Sudah selayaknya para pemangku kepentingan berupaya membenahi pengaturan kuasa dan konsultan pajak di Indonesia.

Perlindungan Pengguna Jasa dan Kepentingan Pemerintah

Dalam praktiknya, sejalan dengan self-assessment system, keterbatasan pemahaman perpajakan membuat wajib pajak menggunakan jasa kuasa dan konsultan pajak. Selain itu, kuasa dan konsultan pajak juga memiliki peran dalam mengedukasi masyarakat atau sebagai perantara (tax intermediary) dari pemerintah.

Dengan demikian, tujuan utama dari perumusan regulasi profesi kuasa dan konsultan pajak adalah melindungi wajib pajak dari kuasa dan konsultan pajak yang tidak berkompeten. Hal ini sama dengan kepentingan negara dalam melindungi konsumen. Pada saat bersamaan, pengaturan akan memberi perlindungan atas profesi kuasa dan konsultan pajak.

Sudah saatnya Indonesia mengatur kuasa dan konsultan pajak melalui suatu regulasi yang mencerminkan grand design pengaturan profesi ini. Jika tidak diatur secara komprehensif, kuasa dan konsultan pajak yang tidak mempunyai integritas dan kompetensi dapat memberikan saran yang tidak sesuai dengan kode etik kepada wajib pajak

Selain itu, dewasa ini terdapat diskursus mengenai dualisme peran kuasa dan konsultan pajak. Penelitian dari Tan (1999) menunjukkan di satu sisi, kuasa dan konsultan pajak memang membantu menegakkan ketentuan perpajakan. Akan tetapi, di sisi lain, terdapat beberapa kuasa dan konsultan pajak yang justru menjadi ‘pelaku eksploitasi hukum pajak’ itu sendiri.

Jika situasi pajak yang dihadapi penuh ketidakjelasan dan ketidakpastian (grey area), kuasa dan konsultan pajak cenderung merekomendasikan posisi yang agresif terhadap suatu kasus pajak. Sebaliknya, dalam situasi pajak yang relatif jelas, mereka cenderung merekomendasikan untuk menegakkan hukum pajak.

Oleh karena itu, suatu standar etika dibutuhkan untuk menetapkan koridor batasan tindakan dari profesi kuasa dan konsultan pajak. Meski kuasa dan konsultan pajak berperan membantu otoritas pajak dalam meningkatkan kepatuhan pajak, pada praktiknya mereka juga menjadi pihak yang berisiko tinggi membantu wajib pajak dalam melakukan aggressive tax planning.

Salah satu cara untuk menanggulangi aggressive tax planning yang direkomendasikan oleh OECD (2008) adalah melalui registrasi serta perumusan regulasi profesi kuasa dan konsultan pajak. Simak pula ‘Diperlukan Grand Design Pengaturan Profesi Kuasa dan Konsultan Pajak’.

Sebagai informasi kembali, buku ini ditulis Founder DDTC Darussalam dan Danny Septriadi bersama Director DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji. Buku ini juga sudah dirilis dalam bentuk PDF yang bisa diunduh secara gratis. Simak ‘DDTC Rilis Versi PDF Buku Kuasa dan Konsultan Pajak, Download di Sini!’. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.