SEKJEN PHRI MAULANA YUSRAN

'Tak Bisa Berdalih Lagi, Semua Main di Field yang Sama Sekarang'

Muhamad Wildan
Minggu, 19 Desember 2021 | 13.00 WIB
ddtc-loader'Tak Bisa Berdalih Lagi, Semua Main di Field yang Sama Sekarang'

AWAN mendung masih menyelimuti sektor pariwisata, terutama untuk usaha perhotelan dan restoran,  dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini. Kebijakan pembatasan mobilitas hingga kasus Covid-19 yang naik turun memberikan ketidakpastian bagi pelaku usaha.

Vaksinasi dinilai menjadi kunci penting bagi sektor perhotelan dan restoran untuk kembali tumbuh dan mampu membuka lapangan kerja. Untuk itu, vaksinasi harus dipercepat sehingga laju penularan menurun dan aktivitas ekonomi pariwisata dapat bergerak kembali.

DDTCNews berkesempatan untuk mewawancarai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran untuk membahas prospek sektor perhotelan dan restoran di tengah pandemi ini. Berikut petikannya.

Seperti apa kinerja bisnis perhotelan dan restoran dalam dua tahun terakhir ini?
Berdasarkan data kami di sektor perhotelan, terjadi penurunan okupansi sejak Maret 2020. Terlebih, PSBB membatasi pergerakan orang termasuk kegiatan bisnis, termasuk pemerintah. Ini menurunkan okupansi pada Maret itu dari 52,88% menjadi 32,24%. Jadi hampir 20% langsung turun.

Pada kuartal II itu biasanya mulai start-nya kegiatan MICE pemerintah. Maret mulai turun di sana dan border juga dibatasi waktu itu sehingga daerah dengan segmen market wisatawan mancanegara juga terdampak.

Bicara pariwisata itu memang ada 2 hal dan yang terbesar adalah MICE. Kontribusinya bisa 70%. Wisatawan nusantara yang terbesar adalah kegiatan MICE, khususnya dari pemerintah. Kalau leisure itu, kami petakan cuma 3 kali dalam 1 tahun yaitu Lebaran, nataru, dan libur sekolah.

Penurunan terus berlanjut hingga April rata-rata okupansi 12,67%. Mulai naik pada Mei dan naik terus pada Juni dan bulan-bulan selanjutnya karena Juni pertengahan sudah ada pelonggaran PSBB. Jadi ada peningkatan di akhir Desember dengan okupansi mencapai 40,79%.

Pada tutup tahun 2020, secara rata-rata tahunan kita dapatkan adalah 34,3% atau turun dari 2019 yang 53,8%. Jadi turun hampir 20%.

Jadi kalau dibedah, ternyata yang menumbuhkan okupansi itu adalah leisure khususnya pada long weekend. Nah, kekuatan dari domestic travel itu kan MICE pemerintah. Dan 2020 itu banyak yang transformasi kegiatannya ke virtual sehingga drop.

Jadi, 2021 bisa dibilang lebih berat dibandingkan 2020 karena dana cadangan sudah tidak ada. Okupansi rendah, revenue juga main di rendah. Jadi, Juli dan Agustus 2021 itu, titik critical point bagi hotel, termasuk restoran.

Kala itu banyak dinamika. Ada yang naik bendera kuning, khususnya pada Juli dan Agustus begitu diberlakukan PPKM darurat.

Pertumbuhan September ini memang terjadi, tetapi bukan recovery. Mereka masih harus menutup kerugian dan beban-beban yang timbul sebelumnya. Penyerapan tenaga kerja belum pulih utuh. Tidak merata ke semua destinasi.

Apa yang harus dilakukan pemerintah dan pengusaha?
Menurut saya, game changer Covid-19 ini adalah vaksin. Untuk menekan angka kasusnya tidak meningkat. Lalu, ada protokol kesehatan. Kondisi ini menjadi membuat regulasi jadi tidak menentu. Bisa berubah setiap saat.

Perubahan regulasi ini berlawanan dengan pasar. Saat kita menjual itu kan kita tidak bisa berhadapan dengan regulasi yang setiap saat berubah. Proses mendapatkan pasar kan kita menjual. Mendapatkan pasar itu kan, tidak dalam 1 atau 2 hari.

Bayangkan, begitu pasarnya sudah ada, regulasinya berubah. Itu bisa dilihat 2020. Kita bicara pasar domestik pemerintah bilang mudiknya di akhir tahun karena optimisme akhir tahun Covid-19 akan membaik.

Saat orang reservasi dan mulai ingin berlibur, tiba-tiba ada kewajiban PCR. Waktu itu masih mahal, hampir Rp1 juta. Akhirnya terjadi cancellation. Itu yang terjadi.

Nadi pariwisata adalah pergerakan. Kalau ada pembatasan maka otomatis pariwsata tidak tumbuh. Sekarang seharusnya kita bukan lagi bicara pembatasan saja, tapi perubahan perilaku harus menjadi subjek utama, lalu vaksin, penerapan PeduliLindungi, dan tahun depan mungkin harus bicara booster.

Kami berharap, kita sudah mulai fase menekan Covid-19 dengan peningkatan vaksin, perubahan perilaku, penerapan PeduliLindungi, dan booster.

Terkait dengan urusan perpajakan, terutama pajak daerah, apa ada persoalan?
Kalau bicara pajak, di kami tentu ada pajak hotel dan pajak restoran. Itu berdasarkan UU 28/2009 nilainya naik turun berdasarkan demand. Kalau nilai lagi kecil maka pajaknya turun. Namun, yang kontribusinya justru terus naik meski pandemi adalah PBB. Itu sulit.

Setiap daerah tidak sama relaksasinya. Umumnya, mereka memberi penundaan dengan pembebasan denda atau memberi kesempatan bayar di awal dengan diskon. Beban bagi hotel dan restoran adalah PBB dan pajak reklame.

Jadi beban pajak yang tidak bergantung sama transaksi. Tidak ada stimulus untuk urusan itu. Kalau PBB itu ada ada daerah yang naik 15%. Kayak Padang itu, bukan turun malah naik. DKI Jakarta ada kasih stimulus. Tapi kan itu enggak semua daerah.

Hal ini dikarenakan daerah cuma menganggap itu pendapatan. Mereka hanya berpikir peningkatan pendapatan itu melalui peningkatan nilai pajak lewat NJOP. Ini selalu yang kita anggap tidak terlalu fair dalam meningkatkan nilai dengan tidak melihat kondisinya.

Bagaimana mau meningkatkan nilai di kondisi seperti ini? Harusnya volumenya dulu meningkat dengan kebijakan yang baik. Baru pajak disesuaikan.

Kalau pajak hotel dan restoran, banyak daerah yang bilang membebaskan pajak hotel dan restoran. Apakah menguntungkan? Tidak, kan itu mengikuti demand. Kalau demand nol saat PSBB contoh, enggak ada pengaruh juga. Orang enggak ada yang masuk.

Pajak hotel dan restoran dibebaskan itu kalau mau promosi meningkatkan daya saing. Misal dari 10% diturunkan jadi 5% sehingga lebih murah dan orang datang. Kalau bicara daya tahan semasa pandemi tidak tepat karena pajak hotel dan restoran ada saat demand ada.

Ini yang sering salah. Jadi tidak menarik bagi kami soal relaksasi hotel dan restoran saat pandemi. Beda ceritanya kalau pajak hotel dan restoran yang sudah ditarik enggak perlu dibayar, itu menarik tuh.

Pajak yang ditarik itu bisa menjadi cashflow bagi kami, tetapi kan mereka enggak mau. Yang sudah ditarik, ya dibayar. Mereka bilang begitu.

Soal UU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), bagaimana pandangan Anda?
Kalau diperhatikan UU HKPD yang berhubungan langsung dengan hotel dan restoran ada PBJT. Kalau diperhatikan lagi, ada beberapa komponen penyedia jasa perhotelan. Sebenarnya, hal-hal ini yang pernah kami usulkan ke Kemenkeu dan DPR.

RUU HKPD itu sudah masuk ke usulan kami sebenarnya. Hotel itu penyedia jasa akomodasi. Jadi,  bukan hanya hotel, tetapi juga hostel, vila, pondok wisata, motel. Itu masuk semua di sini. Jadi tidak ada yang bisa berdalih lagi. Semua main di field yang sama.

Selama ini, pemda mengatakan tidak bisa pungut pajak di homestay. Kami katakan harusnya ada demi persaingan yang sehat. Banyak kan yang mendirikan residensial, lalu jual harian, tetapi tak memungut pajak di situ.

Kita perhatikan juga pajak restoran. Bukan hanya restoran, tetapi juga makanan dan minuman. Objeknya jadi lebih terperinci. Kami apresiasi ini. Jadi lebih jelas untuk objeknya. Selama ini, ada masalah antara restoran dan katering. Ini poin yang menurut kami menarik.

Pajak hiburan itu juga sudah mulai bagus. Di daerah, pajak itu ada yang dianggap sebagai rezim izin oleh beberapa pemda. Di RUU HKPD sekarang maksimal 10%. Namun, ada PBJT paling rendah 40% untuk spa. Seharusnya hanya dikenai 10%.

Kalau 40%, kasihan banyak UMKM yang hidup di situ. Di Bali misalnya, fasilitas spa itu menjadi satu dengan kebugaran. Dan ini ada nilainya untuk pariwisata. Kalau masuk yang 40%, menurut saya kurang pas.

Secara umum, kami juga apresiasi yang dikerjakan pemerintah pusat seperti OSS. Sejak otonomi, daerah kan perizinan ada banyak modelnya. Terpecah-pecah dan banyak modelnya. Jadi sekarang dengan OSS, modelnya sama di manapun kita investasi.

Kami harap soal pajak daerah juga berlaku seperti itu. Jangan sampai seperti tadi pajak sebagai rezim izin. Biarkan nanti pemda yang berpikir bagaimana meningkatkan PAD melalui peningkatan kualitas industri di dalamnya.

Jadi, bukan hanya sekadar melihat peningkatan nilai. Semua harus berpikir meningkatkan daya saing antarkabupaten/kota. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.