LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Menggagas Pajak Kepemilikan Saham

Redaksi DDTCNews
Selasa, 20 Oktober 2020 | 14.11 WIB
ddtc-loaderMenggagas Pajak Kepemilikan Saham

Benny Gunawan Ardiansyah,

Duret Sawit, Jakarta Timur

SITUASI pandemi Covid-19 diyakini membawa dampak buruk bagi perekonomian dunia. IMF telah memperkirakan laju ekonomi dunia jatuh dari 3% menjadi minus 4,9%. Bank Indonesia memprediksi perekonomian Indonesia tumbuh maksimal 0,9%, sedangkan pemerintah minus 0,4%- 1%.

Hal ini memaksa kebutuhan atas sumber pajak yang tepat di tengah melemahnya ekonomi. Salah satunya beralih dari pajak penghasilan ke pajak kekayaan. Di Amerika Serikat ada usulan Make Billionaires Pay Act, yaitu pemberlakuan pajak atas kekayaan miliarder yang diuntungkan pandemi.

Penerapan pajak kekayaan di Indonesia baru dilaksanakan 2016, yaitu tax amnesty dengan hasil basis wajib pajak perseorangan. Pajak kekayaan tidak asing dalam sistem perpajakan Indonesia, terutama beberapa pajak daerah seperti pajak bumi dan bangunan  serta pajak kendaraan bermotor. 

David Hyman (2014) menyatakan basis pajak kekayaan adalah akumulasi nilai pasar aset yang dimiliki suatu bangsa dan terdiri atas tiga komponen, yaitu properti riil, properti berwujud lain seperti mobil, perhiasan, lukisan, barang antik, serta properti tidak berwujud seperti saham, obligasi dan uang.

Basis pajak itu umumnya dikenal dengan capital gain atas aset tersebut dan pemajakannya dikenakan saat direalisasikan. Namun, ada kritik terhadap pajak ini, karena sistem perpajakan Indonesia yang banyak memberi insentif bagi sektor FIRE/finance, insurance dan real estate (Simarmata, 2020).

Pengenaan tarif pajak rendah diberikan untuk penjualan saham, penjualan atau sewa atas tanah/bangunan, penghasilan jasa konstruksi atau transaksi derivatif. Sektor FIRE diperkirakan memberikan return lebih tinggi dibandingkan dengan sektor manufaktur atau sektor riil lainnya.

Transfer Tax
SECARA ekonomi, terdapat misalokasi sumber-sumber ekonomi akibat terdapat diskriminasi perlakuan pajak yang justru dinikmati orang-orang kaya. Salah satu jenis pajak yang bisa dikenakan untuk kelompok ini adalah transfer tax.

Gruber (2011) mendefinisikannya sebagai pajak dari penyerahan aset dari satu pihak ke pihak lain. Pajak ini dikenal dalam sistem perpajakan Indonesia dan lagi-lagi pajak daerah, yaitu bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).

Kedua jenis pajak tersebut memberikan kontribusi  besar bagi pendapatan asli daerah, baik pajak provinsi maupun pajak kabupaten/kota. Alih-alih mendekati asas keadilan pajak berdasarkan ability to pay, kedua jenis pajak itu umumnya lebih menyerupai surcharge tax atas pajak penjualan.

Secara administrasi, pengenaan BBNKB dan BPHTB dimungkinkan karena melibatkan pihak ketiga atas pencatatan jenis aset, yaitu kepolisian untuk kendaraan bermotor dan notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk pengalihan hak atas tanah/bangunan.

Ada satu transaksi yang seharusnya bisa dikenakan transfer tax bagi kelompok orang kaya, yaitu perpindahan kepemilikan saham. Saham termasuk aset yang sudah teradministrasikan dengan baik, baik yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) maupun yang tidak diperdagangkan.

Selama ini yang dikenakan pajak hanya penjualan saham atau pemajakan atas capital gain meskipun terdapat inkonsistensi. Ketika saham diperdagangkan di BEI akan dikenakan PPh final dengan tarif 0,1% dari nilai transaksi.

Sementara itu, jika tidak diperdagangkan di bursa maka tidak dianggap final dan harus diperhitungkan dalam SPT Tahunan dengan tarif Pasal 17 UU PPh. Perbedaan perlakuan ini seharusnya dihentikan sehingga capital gain perdagangan saham merupakan objek PPh yang tidak dikenakan final.

Sementara itu, transfer tax atas kepemilikan saham dapat dikelompokkan ke dalam bea meterai. Rezim bea meterai hanya mengenakan pengenaan pajak atas dokumen. RUU Bea Meterai yang akan diterapkan 2021 tidak menambah objek baru hanya melakukan redefinisi atas dokumen elektronik.

Transfer tax atas kepemilikan saham seharusnya dapat dipertimbangkan sebagai perluasan objek bea meterai. Hal ini menempatkan kepemilikan saham pada level playing field dengan kepemilikan properti individu lain, misalnya kepemilikan kendaraan bermotor atau kepemilikan real estate.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Fatwa Ngalaeka Salam
baru saja
👍👍👍
user-comment-photo-profile
Kintan Ayu Kusumasari
baru saja
👍
user-comment-photo-profile
Erica
baru saja
👍
user-comment-photo-profile
Anggrainy Benny
baru saja
😊