Serena Abdillah AmurtI,
TAHUN 2020 merupakan tahun yang mengenaskan untuk seluruh negara di dunia. Sebuah virus yang bernama Covid-19 atau Corona telah melumpuhkan semua sektor kehidupan masyarakat terutama kesehatan dan perekonomian.
Di sektor kesehatan, angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia per 3 Oktober 2020 tembus 11.000 jiwa. Dari sisi ekonomi mulai dari kalangan bawah sampai atas semua terdampak. Pengusaha yang gulung tikar dan karyawan yang terkena PHK menjadi bukti kacaunya keadaan saat ini.
Dalam keadaan seperti itu, pemerintah sebagai pembuat kebijakan menjadi figur yang ditunggu masyarakat. Kementerian Keuangan lalu menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23 Tahun 2020 tentang pemberian insentif pajak bagi wajib pajak yang terdampak Covid-19.
PMK ini memberi insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21, 22, 25, dan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN). Namun, hanya wajib pajak dengan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) tertentu atau yang dicap sebagai KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor) yang bisa mendapatkan insentif ini.
Tidak lama, PMK 23/2020 direvisi karena makin melebarnya dampak Covid-19 ke sektor lain seperti pelaku usaha kecil. Karena itu, PMK tersebut digantikan dengan PMK 44/2020 yang terdapat insentif PPh Final untuk UMKM. Namun, tak lama PMK itu dicabut lagi dan diganti PMK 86/2020.
Dalam kebijakan tersebut, KLU diperluas dan memperpanjang masa berlaku insentif pajak sampai dengan Desember 2020 yang sebelumnya hanya sampai September 2020. Pada 14 Agustus 2020, Kemenkeu kembali menerbitkan PMK 110/2020 untuk menggantikan PMK sebelumnya.
Pemerintah mengatur kebijakan insentif PPh Final Jasa Konstruksi ditanggung pemerintah (DTP) dan menaikkan diskon PPh Pasal 25 sebesar 50% yang sebelumnya 30%. Lalu bagaimana realisasi insentif tersebut di lapangan? Apakah berdampak positif atau negatif?
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan sampai akhir Agustus 2020, dari target penyaluran insentif sebesar Rp121 triliun baru terealisasi Rp17 triliun. Sampai di sini kita tahu pemanfaatan insentif itu berjalan sangat lambat, masih jauh menuju 50% dari target.
Hal ini bisa terjadi karena banyak wajib pajak yang belum mengerti cara memperoleh insentif tersebut seperti proses mendaftar serta syaratnya. Karena itu, Kementerian Keuangan harus terus berusaha menyosialisasikan insentif tersebut dengan berbagai cara semaksimal mungkin.
Menurunkan Penerimaan
INSENTIF mempunyai efek menurunkan penerimaan penerimaan pajak, sekaligus akan menambah utang pemerintah. Namun, jaminan kesehatan dan ekonomi masyarakat jauh lebih penting. Insentif ini akan membantu cash flow wajib pajak yang tertekan karena terdampa krisis.
Di samping itu, pemerintah terus berusaha mencari terobosan baru yang mendukung tercapainya penerimaan pajak tahun selanjutnya. Sumber penerimaan negara saat ini lebih rendah dibandingkan dengan anggaran pembiayaan belanja negara (APBN).
Ditambah lagi pemerintah mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk menghadapi pandemi. Kemenkeu harus memperhatikan risiko terjadinya penurunan tax ratio pada tahun berikutnya dalam melakukan relaksasi perpajakan agar penerimaan pajak dapat berkelanjutan.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.