LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Mendorong UMKM Naik Kelas Lewat Insentif Pajak Berbasis Kemitraan

Redaksi DDTCNews
Senin, 27 Oktober 2025 | 15.00 WIB
Mendorong UMKM Naik Kelas Lewat Insentif Pajak Berbasis Kemitraan
Arlina Widya Afifah Siregar,
Kota Kabanjahe, Sumatera Utara

UMKM merupakan subjek pajak dalam negeri yang memiliki peran sangat besar terhadap ekonomi Indonesia. Pemerintah mencatat proporsi jumlah UMKM pada 2024 mencapai 99,99% dengan kontribusi lebih dari 60% terhadap PDB dan menyerap 97% tenaga kerja nasional.

Pemerintah telah memberikan berbagai insentif, baik fiskal maupun nonfiskal, bagi pelaku UMKM Salah satunya ialah fasilitas PPh final UMKM dan kredit usaha rakyat (KUR). Harapannya, UMKM dapat naik kelas dan memperkuat perannya dalam pertumbuhan ekonomi.

Namun, berbagai insentif tersebut dinilai belum cukup menjawab tantangan dalam pemberdayaan UMKM. Salah satu tantangan yang masih dihadapi ialah rendahnya partisipasi UMKM dalam kemitraan pada rantai nilai industri.

Data Kadin menunjukkan, partisipasi kemitraan UMKM Indonesia dalam rantai produksi global baru mencapai 4,1% — angka yang masih tergolong kecil dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Pemerintah terus berupaya melaksanakan berbagai program strategis. Namun, tanpa disadari, hal yang sebenarnya diperlukan ialah penyusunan ulang formula insentif fiskal bagi wajib pajak badan atau perusahaan yang menjadi mitra UMKM.

Insentif Fiskal bagi WPDN Badan

Upaya mendorong kemitraan sudah diamanatkan dalam undang-undang. Dalam Pasal 13 UU No. 6/2023, pemerintah pusat dan daerah diberikan kewenangan melakukan pembinaan dan pengembangan UMKM, salah satunya melalui program kemitraan yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan level usaha UMKM.

Tak hanya itu, kemitraan antara badan usaha dan UMKM juga diatur dalam Peraturan BKPM Nomor 1/2022. Dalam peraturan tersebut, usaha menengah dan besar di bidang usaha prioritas penanaman modal dan/atau bidang usaha tertentu wajib bermitra dengan UMKM.

Sebagai imbalannya, perusahaan berhak mendapatkan insentif berupa pengurangan atau keringanan pajak daerah dan/atau retribusi daerah. Perlakuan yang sama juga diberikan kepada UMKM seperti diatur dalam PP 7/2021.

Namun demikian, insentif tersebut masih belum cukup. Menteri Keuangan bersama Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM perlu menyusun formula baru yang menghubungkan kemitraan UMKM dengan pemanfaatan insentif fiskal perusahaan.

Insentif fiskal yang dapat dimanfaatkan misalnya seperti tax allowance, investment allowance, super tax deduction vokasi, tax holiday, super tax deduction litbang, atau insentif-insentif fiskal lainnya.

Formula baru tersebut dapat dibangun melalui 2 skema. Pertama, menjadikan penanaman modal atau kemitraan dengan UMKM sebagai syarat tambahan bagi perusahaan untuk memperoleh insentif fiskal.

Kedua, menentukan besarnya insentif berbasis kontribusi, yaitu dihitung dari dampak penanaman modal terhadap pengembangan UMKM. Makin besar kontribusi perusahaan terhadap UMKM maka makin luas fasilitas yang dapat dimanfaatkan.

Pendekatan ini sejalan dengan prinsip value for money, bahwa setiap insentif fiskal harus memberikan dampak ekonomi yang nyata. Alhasil, perusahaan tidak lagi memandang insentif fiskal semata sebagai pengurang beban pajak, tetapi sebagai instrumen untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Dampak Kemitraan terhadap Penerimaan Negara

Ketika UMKM memperoleh transfer pengetahuan, integrasi rantai pasok, serta dukungan akses pembiayaan melalui kemitraan, peluang mereka untuk memperluas skala usaha akan meningkat. Dampak positif ini dapat dirasakan dalam beberapa aspek.

Pertama, peningkatan omzet UMKM akan memperluas basis pajak. Kedua, proses bisnis yang semakin terdigitalisasi menjadikan pencatatan transaksi lebih rapi dan transparan sehingga pengawasan dan pemantauan kepatuhan menjadi lebih efektif.

Ketiga, pertumbuhan UMKM mendorong penyerapan tenaga kerja formal yang lebih luas, memperkuat basis pajak penghasilan karyawan, dan meningkatkan daya beli masyarakat.

Agar potensi tersebut terwujud, strategi implementasi perlu dirancang secara bertahap. Dalam jangka pendek, kemitraan dapat diintegrasikan langsung ke dalam sistem pengajuan insentif fiskal melalui OSS. Perusahaan yang mengajukan fasilitas diwajibkan menyertakan rencana kemitraan serta melaporkan progresnya secara berkala.

Dalam jangka menengah, pemerintah dapat menerbitkan regulasi yang secara khusus mengatur kemitraan perpajakan antara perusahaan dan UMKM.

Regulasi ini diharapkan memperjelas definisi kemitraan, menetapkan indikator keberhasilan, serta mengatur mekanisme sanksi dan insentif bagi perusahaan pelaksana. Dengan demikian, kepastian hukum bagi pelaku usaha di kedua belah pihak dapat terjamin.

Dalam jangka panjang, desain insentif fiskal dapat ditingkatkan melalui skema tax credit atau super deduction yang secara langsung mengakui belanja pembinaan UMKM sebagai pengurang pajak yang lebih signifikan.

Skema ini akan mendorong perusahaan tidak hanya sekadar memenuhi kewajiban formal, tetapi benar-benar berinvestasi pada pertumbuhan UMKM yang menjadi mitra mereka.

Pendekatan bertahap ini tidak hanya menjamin kesinambungan dan kepastian bagi pelaku usaha, tetapi juga meminimalkan risiko beban fiskal jangka pendek yang kerap menjadi kekhawatiran dalam setiap pemberian insentif.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.