LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Mengkaji Ulang Kebijakan Secondary Adjustment demi Kepastian Investasi

Redaksi DDTCNews
Senin, 13 Oktober 2025 | 10.00 WIB
Mengkaji Ulang Kebijakan Secondary Adjustment demi Kepastian Investasi
Riyan Wahyu Setiawan,
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah

BAGI sebagian besar wajib pajak, istilah koreksi sekunder (secondary adjustment) mungkin masih terdengar teknis dan rumit. Namun, di balik istilah itu tersimpan isu penting yang menentukan bagaimana otoritas pajak menilai kewajaran transaksi antarperusahaan afiliasi dan bagaimana hasil koreksi tersebut dapat berpengaruh pada beban pajak maupun iklim investasi di Indonesia.

Isu secondary adjustment mulai mendapat perhatian dari para wajib pajak dan praktisi pajak seiring dengan meningkatnya sengketa atas mekanisme tersebut, khususnya reklasifikasi penghasilan sebagai dividen terselubung.

Tren itu juga tecermin dari penelitian Defi & Hapsari (2024) yang menunjukkan bahwa hingga Juli 2024 terdapat 430 kasus sengketa pajak terkait secondary adjustment, dengan 76,51% di antaranya dimenangkan oleh wajib pajak.

Maraknya sengketa terkait dengan secondary adjustment mulai muncul sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 22/2020, yang dinilai belum cukup terperinci menjelaskan mekanisme secondary adjustment sesuai dengan OECD Transfer Pricing Guidelines (TPG).

Pemerintah sebenarnya telah melakukan penyempurnaan melalui PMK 172/2023 yang mengatur lebih detail mengenai kebijakan secondary adjustment, termasuk penegasan objek pengenaan, implementasi tax treaty benefits dalam hal reduced rate dividen, serta mekanisme Mutual Agreement Procedure (MAP) atas sengketa terkait.

Namun, ketentuan domestik dalam PER-25/PJ/2018, mewajibkan 5 kondisi tertentu bagi penerima manfaat tax treaty sehingga menyulitkan wajib pajak. Selain itu, penerapan tax treaty benefit juga berisiko tidak dapat diterapkan jika otoritas pajak menganggap non-arm’s length transaction sebagai bentuk treaty abuse.

Risiko Ambiguitas Secondary Adjustment

Ketidakjelasan definisi dividen terselubung menimbulkan sejumlah potensi permasalahan atas koreksi secondary adjustment. Pertama, adanya potensi pajak berganda (double taxation) akibat pemotongan withholding tax atas dividen terselubung yang tidak dapat dikreditkan, sebagaimana dijelaskan dalam Par. 4.70 OECD TPG 2022.

Meskipun potensi tersebut bisa diatasi melalui MAP, PMK172/2023 tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa secondary adjustment termasuk dalam cakupan MAP (Defi & Hapsari, 2024).

Kedua, potensi penyalahgunaan kewenangan (power abuse) oleh otoritas pajak dalam melakukan koreksi dividen terselubung juga dapat muncul karena adanya tumpang tindih regulasi. Kekosongan hukum mengenai definisi dividen terselubung berpotensi memunculkan koreksi terhadap perusahaan afiliasi yang bukan pemegang saham.

Terlebih, definisi hubungan istimewa tidak hanya didasarkan pada kepemilikan saham, tetapi juga penguasaan langsung maupun tidak langsung, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh dan dipertegas dalam PMK-172/2023.

Ketiga, terdapat inkonsistensi penegakan hukum dalam pengakuan penghasilan dividen. Dalam praktik bisnis umumnya, perusahaan yang merugi seharusnya tidak membagikan dividen karena dividen merupakan pembagian laba kepada pemegang saham sebagaimana ditegaskan dalam UU PPh.

Namun, karena tidak adanya definisi tegas mengenai dividen terselubung, koreksi dividen dapat dikenakan bahkan pada wajib pajak yang merugi (Muhammad, 2022). Praktik ini juga berpotensi bertentangan dengan Pasal 71 UU Perseroan Terbatas yang mengatur bahwa dividen hanya boleh dibagikan ketika perseroan memiliki laba positif.

Benchmarking Praktik Secondary Adjustment

Paragraf 4.68 OECD TPG 2022 sesungguhnya menegaskan bahwa secondary adjustment tidak terbatas pada reklasifikasi dividen terselubung, tetapi juga dapat berupa constructive equity contribution dan constructive loans.

Pendekatan ini bertujuan mencegah kesalahan dalam karakterisasi penghasilan serta memastikan secondary adjustment dilakukan sesuai dengan substansi ekonomi transaksi. OECD juga mendorong pencegahan pajak berganda melalui mekanisme kredit pajak pada yurisdiksi lawan transaksi.

Beberapa negara telah mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel. Misal, pada 2021, Thailand melalui Notification of the Director-General of the Revenue Department on Income Tax (Number 400), memberikan ruang bagi otoritas pajak untuk melakukan penyesuaian berdasarkan fakta dan keadaan transaksi. Artinya, secondary adjustment di Thailand dapat berupa deemed dividend maupun deemed loan.

Sementara itu, Belanda melalui Dutch Corporate Income Tax Act dan Dutch Transfer Pricing Decree, mengatur secondary adjustment dapat dikenakan sebagai deemed dividend distribution, informal capital contribution, atau deemed loan — bergantung pada substansi ekonomi transaksi. Kedua yurisdiksi ini menunjukkan bahwa secondary adjustment tidak harus selalu berbentuk constructive dividend.

Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, otoritas pajak Indonesia perlu meninjau ulang kebijakan secondary adjustment untuk menghindari risiko investasi yang terganggu akibat ambiguitas regulasi. Terdapat beberapa hal yang dapat dipertimbangkan.

Pertama, pemerintah perlu merumuskan definisi dividen terselubung secara legal formal yang tegas sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara UU PPh dan PMK 172/2023. Definisi yang jelas akan memberikan kepastian hukum dan mencegah koreksi berlebihan terhadap transaksi afiliasi.

Kedua, pemerintah dapat merumuskan alternatif kebijakan dalam pengenaan secondary adjustment guna memberikan keadilan bagi wajib pajak.

Misal, penerapan constructive loans untuk transaksi antar sister company yang tidak memiliki kepemilikan saham sebagaimana direkomendasikan dalam OECD TPG Par. 4.72, serta opsi repatriasi atas akun-akun yang disesuaikan guna meminimalkan pajak berganda.

Ketiga, peningkatan kapasitas dan kompetensi petugas pajak dalam melakukan analisis berbasis risiko menjadi kunci untuk menekan perbedaan persepsi dengan wajib pajak. Menurut Auliya dan Rosid (2025), sengketa secondary adjustment muncul salah satunya karena kurangnya kompetensi otoritas pajak dalam menganalisis koreksi dividen terselubung.

Penulis meyakini kepastian hukum atas secondary adjustment tak hanya dapat menekan time dan money cost wajib pajak, tetapi juga pada gilirannya dapat menjadikan ekosistem investasi di Indonesia menjadi lebih sehat.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.