SISTEM perpajakan yang dirancang berbasis model ekonomi konvensional kini kian usang dan tidak lagi efektif menghadapi perkembangan zaman. Di level global, persoalan ini telah menjadi fokus utama dan topik diskusi panjang beberapa tahun terakhir.
Bagaimana tidak, perkembangan teknologi tak hanya menghadirkan inovasi, tetapi juga mengaburkan batasan-batasan fisik serta melemahkan fungsi ketentuan yang telah diberlakukan selama puluhan tahun (OECD, 2015). Kondisi ini pada gilirannya menimbulkan celah penghindaran pajak.
Pada 2015, dunia internasional menyepakati 15 aksi dalam proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Langkah ini merupakan hasil partisipasi negara-negara anggota Organization of Economic Co-operation and Development (OECD), G20, serta lembaga internasional seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan PBB.
Aksi pertama dari rangkaian BEPS adalah Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy. Hal ini menggambarkan betapa pentingnya langkah tegas dari para pembuat kebijakan dalam menjaga kedaulatan perpajakan di era ekonomi digital.
Terlebih bagi Indonesia, OECD menyatakan bahwa negara berkembanglah yang paling dirugikan dari praktik BEPS (OECD, 2024). Sayangnya, hingga akhir 2024, Indonesia belum mengimplementasikan aksi pertama tersebut (DDTCNews, 2024).
Dalam lanskap nasional, aktivitas ekonomi digital juga belum sepenuhnya tersentuh oleh otoritas pajak. Pertumbuhannya yang pesat membawa tantangan tersendiri dan justru menjadi salah satu penyumbang kegiatan shadow economy.
Berbagai profesi dan model bisnis baru lahir dari perkembangan teknologi, tetapi pemerintah belum sepenuhnya berhasil mengantisipasinya. Kompleksitas dan ragam model bisnis digital mempersulit pengawasan.
Dengan mekanisme self-assessment yang berlaku di Indonesia, banyak transaksi berpotensi tidak dilaporkan dan luput dari pantauan otoritas pajak. Padahal, nilai transaksi digital tidak bisa lagi dipandang sebelah mata.
Pada 2025, ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai Rp471 triliun hanya dari perdagangan daring (e-commerce) saja (Celios, 2024). Pertumbuhan ekonomi digital kita bahkan diproyeksikan melampaui rerata regional (Google, Temasek, & Bain & Company, 2023).
Pemerintah tentu tidak tinggal diam. Beberapa upaya telah dilakukan. Salah satunya ialah dengan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 37/2025 yang mengatur penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas pedagang online.
PMK tersebut menunjukkan kesungguhan pemerintah untuk bersikap adaptif terhadap perkembangan zaman dan antisipatif dalam menanggulangi kebocoran penerimaan pajak. Sayang, jika ditelaah lebih dalam, PMK 37/2025 masih menyisakan ruang kebijakan yang belum terjangkau.
Ketentuan tersebut baru menyasar pelaku e-commerce dengan batasan omzet tertentu di suatu platform. Padahal, banyak merchant memiliki beberapa toko di berbagai platform yang berbeda.
Artinya, tidak semua data transaksi perdagangan daring dapat terjaring. Apalagi jika berbicara mengenai model bisnis lain seperti sharing economy dan gig economy.
Dalam hal ini, Indonesia sesungguhnya dapat belajar dari Australia dan Uni Eropa yang lebih dulu menghadapi tantangan ekonomi digital. Australia, misalnya, telah menyusun Sharing Economy Reporting Regime (SERR) sejak 2022.
SERR mewajibkan platform melaporkan transaksinya ke otoritas pajak. Langkah ini bertujuan menciptakan level playing field lintas industri dan meningkatkan transparansi penghasilan pelaku sharing economy. Implementasi dilakukan bertahap sejak 1 Juli 2023.
Pada tahun yang sama, Uni Eropa menjalankan kebijakan serupa melalui The Directive on Administrative Cooperation (DAC). Aturan ini dituangkan dalam Council Directive (EU) 2021/514 atau yang lebih dikenal sebagai DAC7.
Direktif tersebut mewajibkan platform digital, termasuk marketplace, akomodasi daring, ride-hailing, layanan pesan antar, dan platform digital lainnya, untuk menyampaikan laporan data transaksinya kepada otoritas pajak.
Kebijakan tersebut lahir dari kesadaran bahwa digitalisasi ekonomi menciptakan kompleksitas baru yang berpotensi menimbulkan penghindaran pajak. Uni Eropa menilai operator platform merupakan pihak yang paling tepat untuk mengumpulkan dan memverifikasi data transaksi tersebut.
Langkah Australia dan Uni Eropa menunjukkan bahwa keberhasilan pengawasan perpajakan di era digital bergantung pada data yang valid dan kolaborasi erat antara pemerintah dan pelaku usaha digital.
PMK 37/2025 merupakan inisiatif baik untuk mengoptimalkan pengumpulan data melalui bukti potong yang diterbitkan oleh platform digital. Namun, kebijakan ini belum cukup untuk menjawab kompleksitas ekonomi digital.
Pemerintah perlu menyusun kerangka tata kelola dan kebijakan pelaporan data yang lebih komprehensif oleh penyedia platform. Dengan ketersediaan data yang valid, real-time, dan dapat diandalkan, berbagai peluang peningkatan kinerja otoritas pajak bisa diwujudkan.
Data hasil pelaporan platform dapat diintegrasikan dengan sistem coretax untuk menyediakan SPT Tahunan pre-filled yang memudahkan wajib pajak. Lebih jauh, langkah ini juga bisa menjadi pondasi menuju Tax Administration 3.0 di Indonesia.
Melalui Single Identity Number (SIN) yang terwujud lewat pemadanan NIK–NPWP, pengawasan terhadap kepatuhan pelaporan penghasilan aktivitas digital juga dapat dilakukan lebih efektif.
Tantangan yang perlu diantisipasi meliputi kesiapan teknologi pemerintah serta aspek privasi dan keamanan data. Namun, Indonesia telah memiliki fondasi kebijakan dan infrastruktur digital yang kuat untuk melangkah ke arah tersebut.
Mengumpulkan, mengintegrasikan, dan memanfaatkan data secara tepat guna, jika dikombinasikan dengan tata kelola yang baik, akan menjadi kunci transformasi perpajakan konvensional di tengah derasnya arus ekonomi digital.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.