TRANSFORMASI digital di sektor keuangan Indonesia tengah mengalami percepatan luar biasa, salah satunya melalui pemanfaatan QR Code Indonesian Standard (QRIS) sebagai alat pembayaran nasional.
Lebih dari sekadar instrumen transaksi, QRIS kini berpotensi menjadi jembatan strategis menuju sistem perpajakan yang lebih adil, inklusif, dan modern—terutama bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Selama ini, salah satu tantangan terbesar dalam perpajakan UMKM adalah keterbatasan data dan minimnya literasi administrasi. Banyak pelaku usaha enggan masuk ke sistem pajak formal karena merasa dibebani, tidak memahami mekanismenya, atau khawatir kehilangan bantuan sosial.
Di sisi lain, negara membutuhkan perluasan basis pajak untuk menjaga keberlanjutan fiskal tanpa harus menaikkan tarif. Terlebih, pemerintah juga memiliki beberapa program prioritas nasional yang membutuhkan dana tidak sedikit.
Dalam situasi ini, QRIS menawarkan jalan tengah yang cerdas. Dengan transaksi yang terekam secara real time dan berbasis data aktual, pemerintah dapat merancang pendekatan perpajakan yang tidak menakutkan, tetapi membina dan bertahap.
QRIS memungkinkan pengumpulan data omzet pelaku UMKM tanpa intrusi, tanpa repot pembukuan manual, dan tanpa biaya tambahan. Melalui digitalisasi ini, titik temu antara kemudahan administrasi dan transparansi fiskal bisa tercapai secara beriringan.
Salah satu pendekatan yang patut dipertimbangkan ialah skema perpajakan bertahap berbasis QRIS dengan prinsip sunset clause—yakni masa bebas pajak sementara untuk memberi ruang adaptasi dan edukasi bagi pelaku usaha.
Pada 2 tahun pertama sejak menggunakan QRIS, pelaku UMKM dapat fokus untuk mendapatkan pendampingan dan edukasi tanpa dikenai kewajiban pajak apa pun. Fase ini sekaligus menjadi momen pengumpulan data usaha, sedangkan pemerintah menyiapkan dashboard digital yang menampilkan performa usaha dan proyeksi pajak yang kelak berlaku.
Setelah masa adaptasi berlalu, pada tahun ketiga hingga kelima, pelaku UMKM dapat ditawarkan skema pajak ringan dan sukarela dengan tarif antara 0,2%–0,3% dari omzet yang terekam melalui QRIS.
Bagi mereka yang bersedia membayar, imbal baliknya bukan sekadar bukti kepatuhan, tetapi juga akses terhadap sertifikasi usaha formal, prioritas Kredit Usaha Rakyat (KUR), pelatihan peningkatan kapasitas, serta reputasi digital sebagai UMKM patuh pajak.
Ketika usaha tumbuh lebih besar, barulah pada tahun kelima atau saat omzet melewati ambang tertentu—misalnya Rp500 juta per tahun—pelaku usaha masuk ke skema tarif PPh final sebesar 0,5% dari omzet berdasarkan PP 55/2022.
Mengingat seluruh transaksi sudah terekam otomatis, proses pembayaran pajak pun menjadi lebih ringan, instan, dan minim sengketa. Alhasil, digitalisasi melalui QRIS bukan hanya memudahkan transaksi, tetapi juga menyiapkan fondasi sistem pajak yang modern dan adaptif.
Lebih jauh, gagasan ini bukan semata tentang inovasi teknis, melainkan juga dapat menyentuh aspek psikologis: membangun kepercayaan pelaku usaha terhadap pemerintah.
Selama ini, rasa curiga kerap kali menjadi penghalang terbesar. Banyak pelaku UMKM yang khawatir begitu datanya tercatat, mereka langsung “dijerat” pajak, kehilangan bantuan, atau dibebani audit yang menakutkan.
Nah, melalui pendekatan bertahap yang transparan dan disertai insentif, pemerintah dapat mengubah persepsi dari “pungutan” menjadi “kemitraan”.
UMKM akan merasa dihargai dan didampingi saat memasuki sistem formal. Dalam jangka panjang, kepercayaan ini akan membentuk budaya patuh pajak yang tumbuh dari bawah, bukan karena dipaksa dari atas.
Dari sisi penerimaan negara, skema ini membuka potensi optimalisasi pajak secara berkelanjutan. Dengan sistem digital dan tarif yang adil, pemerintah tidak perlu lagi bergantung pada pemeriksaan manual, razia lapangan, atau pendekatan koersif yang mahal dan tidak efisien.
Sebagai ilustrasi, jika 10 juta pelaku UMKM aktif menggunakan QRIS dan masing-masing menyetor PPh final rata-rata Rp1 juta per tahun, potensi penerimaan dapat mencapai Rp10 triliun. Jumlah ini belum memperhitungkan efek berganda dari tertib usaha, kemudahan pembiayaan, dan perluasan akses pasar.
Selain memperkuat penerimaan, integrasi data antara QRIS dan sistem pajak juga mendorong efisiensi kelembagaan. Pelaporan manual, input SPT, atau antrean di kantor pajak dapat diminimalkan karena data transaksi telah terekam otomatis. Sistem menjadi lebih murah, cepat, dan kredibel—ciri utama dari administrasi pajak modern yang efektif.
Meski demikian, keberhasilan konsep ini bergantung pada dukungan kebijakan yang memadai. Ada sejumlah tantangan yang harus diantisipasi. Pertama, perlindungan data harus menjadi prioritas agar informasi usaha tidak disalahgunakan.
Kedua, integrasi antara Bank Indonesia sebagai regulator QRIS dan Ditjen Pajak (DJP) harus bersifat interoperable, bukan sekadar koordinatif.
Ketiga, diperlukan pelatihan bagi pendamping UMKM, aparat pajak, dan pemerintah daerah sehingga dapat menerapkan pendekatan ini dengan empati, bukan sekadar mengejar target.
Keempat, kebijakan perlu bersifat nasional, tetapi fleksibel sehingga bisa disesuaikan dengan konteks lokal di berbagai daerah.
Pada akhirnya, di tengah tekanan fiskal dan kebutuhan memperluas basis pajak, QRIS menghadirkan peluang langka untuk membangun sistem perpajakan yang modern, berpihak, dan berkeadilan.
Kebijakan sunset clause, tarif bertahap, serta integrasi insentif nonpajak seperti pembiayaan dan pelatihan dapat menciptakan ekosistem baru yang menguntungkan semua pihak.
Negara mendapat data dan penerimaan, sedangkan UMKM memperoleh kemudahan, kepercayaan, dan kesempatan naik kelas. Pada gilirannya, masyarakat menikmati stabilitas ekonomi yang lebih kuat dan inklusif.
Sudah saatnya pajak tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai bagian dari kontrak sosial yang saling menguntungkan. QRIS bisa menjadi jembatan menuju masa depan itu—selama dirancang dengan cerdas, hati-hati, dan berpihak pada kemajuan bersama.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.