SIAPA yang menyangka, Mangga Dua jadi sorotan dunia. National Trade Estimate (NTE) dari Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR: United States Trade Representative) mendesak pemerintah Indonesia mengambil langkah serius untuk menindak peredaran barang palsu di pusat perbelanjaan Mangga Dua di Jakarta.
AS, dalam laporan yang terbit pada 2025 tersebut, mengungkapkan Mangga Dua sebagai salah satu pusat peredaran produk-produk palsu. Merk premium kelas menengah atas yang memiliki trademark di negara Amerika, atau negara yang terkenal dengan barang fashion seperti Prancis dan Italia tentu dirugikan dengan penjualan barang tiruan ini.
Barang yang paling sering dipalsukan adalah pakaian, tas, sepatu, produk kosmetik dan obat-obatan yang berbahaya bagi kesehatan, dan juga 'bajakan” piranti lunak.
Sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Indonesia, setiap kali isu ini terangkat ke publik, pemerintah melalui Kementrian Perdagangan atau lembaga lainnya kemudian berjanji akan melakukan penyelidikan dan pengawasan rutin terhadap barang-barang ilegal tersebut. Namun, penjualan barang tiruan terus marak di pasaran.
Kita tidak boleh lupa bahwa pola konsumsi masyarakat juga turut bergeser. Mangga Dua bisa jadi memang menjadi sentra transaksi offline atas produk-produk aspal (asli tapi palsu). Namun, aktivitas transaksi masyarakat banyak pula dilakukan secara online. Keberadaan toko fisiknya tidak cuma di Mangga Dua, tetapi tersebar di banyak tempat.
Karenanya, jika dulu pemasaran barang-barang palsu hanya berlaku di pusat perbelanjaan tradisional seperti Mangga Dua, kini praktik itu bermigrasi ke pasar digital seperti Shopee Live, Tiktok Live, dan berbagai platform lain.
Barang branded tiruan ini dijual dengan harga yang jauh lebih miring dari harga asli. Sepatu dengan harga asli Rp2 juta dijual dengan harga Rp500 ribu saja. Tas berlabel dengan harga puluhan juta rupiah dijual ratusan ribu. Bahkan pakaian bermerek ditawarkan di bawah Rp100 ribu. Sekalipun kualitasnya cukup menyerupai, tetap saja ini merupakan produk tiruan atau palsu.
Apa yang menyebabkan penjualan barang tiruan laris manis? Dari sisi konsumen, ada kepuasan psikologis karena bisa bergaya dengan barang bermerek tanpa harus membayar mahal. Ditambah lagi, dorongan tren konsumtif dari media sosial, sehingga permintaan barang tiruan tidak pernah surut.
Selain dari faktor permintaan yang tinggi, rendahnya penegakan hukum juga turut andil dalam maraknya peredaran produk palsu. Sanksi hukum terhadap produsen dan pedagang masih sebatas penyitaan dan pemusnahan barang, sementara konsumen tidak pernah disentuh.
Padahal di negara lain, masyarakat yang ketahuan bertransaksi atas barang tiruan, ada konsekuensi hukum yang mengikuti.
Peredaran barang palsu juga berdampak terhadap iklim investasi. Pemegang merek global bakal berpikir ulang untuk membangun ekosistem produksi di Indonesia. Kekuatan pasar menjadi salah satu pertimbangan investasi, di samping faktor lainnya termasuk kepastian hukum hingga besaran upah pekerja.
Hal ini sudah terasa di beberapa tahun terakhir, pabrik mulai tutup, dan produk-produk dengan merek terkenal internasional yang memiliki label made in Indonesia semakin jarang terlihat, berubah menjadi made in Vietnam atau made in Thailand dan tentu saja made in China (Sindonews, 2022).
Dari kacamata fiskal, pemerintah sebenarnya sudah mulai menangkap peluang penerimaan dari pesatnya ekonomi digital. Misalnya, pemungutan pajak pada platform belanja daring.
Yang terbaru, melalui PMK 37/2025, diatur pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% terhadap penjual di marketplace. Dengan demikian, PPN sudah dikenakan dan aturan PPh juga sudah dipertegas. Namun, hal ini terasa seperti paradoks.
Selama ini PPN juga dikenakan pada barang yang sebenarnya illegal. Karenanya, hal ini terasa seperti pemerintah bersama penyedia platform mendukung keberlangsungan praktik ini. Padahal, maraknya peredaran produk palsu yang berimbas pada keputusan investasi bisa ikut menyenggol kinerja penerimaan negara.
Platform digital terlihat seperti setengah-setengah melakukan penindakan pada penjual barang tiruan atau barang bekas. Ibaratnya, take down satu tumbuh seribu.
Mereka juga dihadapkan pada dilema, menghentikan live streamer yang menghasilkan miliaran rupiah otomatis akan menurunkan tingkat pembelian dari konsumen secara keseluruhan.
Permasalahan ini menunjukkan bahwa penegakan hukum di bidang perdagangan dan perpajakan digital masih jauh dari kepastian. Pemerintah dihadapkan pada dilema: di satu sisi ingin mendorong pertumbuhan ekonomi digital yang ramah bagi pengusaha mikro, tetapi di sisi lain ada praktik ilegal yang merusak iklim investasi dan menggerogoti basis penerimaan.
Penegakan hukum yang setengah-setengah hanya akan menimbulkan ketidakpastian, pelaku usaha resmi dan patuh pajak akan kalah bersaing, sementara pedagang ilegal tumbuh subur tanpa beban kewajiban legal dan fiskal.
Lantas, apa yang bisa dilakukan?
Pemerintah sudah merancang mekanisme pemungutan pajak berbasis platform. Platform digital sudah diwajibkan memungut PPN dan PPh final atas transaksi penjual yang memenuhi batas tertentu.
Integrasi NPWP dan NIK yang sudah dilakukan juga semestinya akan mempermudah para pedagang menyinkronisasikan kegiatan ekonomi mereka dengan kewajiban perpajakannya.
Namun, jika pemerintah tidak menutup sepenuhnya akses barang palsu yang kebanyakan datang dari pabrikan masif di luar negeri, ditambah dengan penegakan hukum yang tegas di dalam negeri, maka paradoks pemajakan barang illegal ini akan terus terjadi. Kondisi ini juga akan makin menggerus kepercayaan investor luar negeri pada negara ini.
Kementrian Keuangan, terutama melalui Ditjen Pajak (DJP) dan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), perlu duduk bersama dengan institusi lain seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Digital, hingga Kementerian Hukum. Semuanya perlu merumuskan strategi konkret untuk memberantas peredaran barang palsu di platform digital dan penjualan konvensional .
Tidak cukup hanya menurunkan barang dari etalase daring, tetapi juga melacak rantai pasok dan menghentikan suplai ilegal sambil bersama mengedukasi konsumen tentang dampak negatif konsumsi produk palsu ini.
Penegakan hukum yang konsisten dan berkeadilan akan memperbaiki iklim investasi, menarik investor asing karena jenama mereka terlindungi dan hasil akhirnya meningkatkan penerimaan pajak.
Pertumbuhan ekonomi digital memang terasa begitu kilat dan pesat, namun pertumbuhan ini hanya akan berkelanjutan dan memberikan dampak positif jika dibangun di atas fondasi kepastian hukum dan keadilan fiskal. Tanpa itu, kita hanya merayakan pertumbuhan semu sambil membiarkan penerimaan negara bocor dan pelaku usaha resmi tersisih dari persaingan yang tidak adil.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.