
PAJAK itu sumber pendapatan negara yang dipungut oleh pemerintah. Setelah terkumpul, uang pajak dipakai untuk membiayai pembangunan, menggaji para aparatur, dan lain-lain belanja pemerintah.
Makin banyak pajak terkumpul, makin besar pendapatan, makin leluasa pemerintah bergerak. Gaji pegawai bisa dinaikkan, banyak proyek pembangunan dapat dilaksanakan. Sebaliknya, makin seret pajak, makin sempit pilihan gerak pemerintah. Gaji tidak naik, belanja dibatasi, proyek pemerintah tidak optimal.
Saat uang pajak yang bisa dikumpulkan sedikit, pemerintah akan melakukan beragam upaya buat meningkatkannya. Misalnya, dengan menaikkan tarif pajak, menetapkan sumber pajak baru, sampai menakut-nakuti pengemplang pajak.
Bahkan, belakangan ini muncul metafora 'berburu di kebun binatang' untuk menggambarkan upaya pemerintah dalam pemasukan pajak dari wajib pajak yang sudah terdata.
Berhasil tidaknya usaha tersebut tergantung kadar kepercayaan masyarakat pada pemerintah, lebih khusus lagi kepercayaan pada pengelolaan pajak. Kepercayaan dalam konteks ini sumbernya satu saja: keadilan yang dihadirkan pemerintah bagi warga negaranya, lebih khusus keadilan yang diberikan pemerintah pada wajib pajaknya.
Dalam khazanah perpajakan, keadilan sama dengan proporsional. Pengusaha besar dikenakan pajak besar, pengusaha mikro dapat pajak kecil. Tidak ada kecemburuan.
Belum pernah terdengar wajib pajak yang tergolong Pengusaha Kena Pajak (PKP) mengeluhkan tarif pajak 0,5% untuk para pelaku UMKM sebagaimana diatur dalam PP 55 /2022. Belum ada ceritanya pengusaha besar mengeluh tentang hal ini, menyatakan diberlakukan tidak adil.
Selain soal proporsional tersebut, adil bisa juga dimaknai sebagai kondisi di mana wajib pajak merasa besaran rupiah pajak yang mereka bayar, sebanding dengan apa yang mereka dapatkan. Itu bisa berupa infrastruktur yang memadai, seperti jalan yang bagus, jembatan kokoh, dermaga yang lapang, atau jaringan kereta api yang handal. Itu juga bisa berupa pelayanan birokrasi yang transparan, good government, juga lingkungan usaha yang nyaman dan aman.
Yang perlu dipahami, sejatinya keadilan tidak pernah dapat dipisahkan dari penegakan hukum. Nah, apakah penegakan hukum di negara ini sudah ideal?
Gambaran kepastian hukum di Indonesia dapat dilihat melalui publikasi World Justice Project. Indeks negara hukum (Rule of Law Index/ROL) Indonesia pada 2023 berada pada skor 0,53 (nilai tertinggi 1). Dirunut ke belakang, periode 2015–2023, skor Indonesia berkisar di angka 0,52–0,53.
Dengan indeks tersebut, wajar-wajar saja jika para pelaku ekonomi ini hadapkan pada ketidakpastian hukum, yang kemudian melahirkan ‘pajak-pajak printilan’ itu. Bayar pajak sudah besar tapi tetap saja ada uang keamanan, uang kepedulian, uang sosial, dan uang pungutan liar lainnya.
Bayar pajak sudah taat, mematuhi prosedur dan ketentuan, tetapi tetap saja ada ‘lorong-lorong tikus’ yang menjanjikan prosedur lebih mudah dan besaran pajak lebih murah, asal mau bermain cantik di bawah permukaan.
Skor 0,5-an dalam indeks negara hukum Indonesia, juga rentan menimbulkan ‘pengkhianatan’ pemerintah pada wajib pajak. Penulis dan penerbit buku yang telah membayar pajak misalnya, ‘dikhianati’ dengan banyaknya buku bajakan yang beredar.
Data dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menyebutkan pada 2021, sebanyak 75% penerbit di Indonesia melaporkan bahwa buku terbitannya telah dibajak dan diperjualbelikan secara luring dan daring.
Lalu apa solusi atas rentetan tantangan tersebut?
Satu-satunya jalan bagi pemerintah dalam upaya meningkatkan pendapatan pajak adalah dengan membangun pajak yang berkeadilan. Guna mencapainya, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah berikut ini.
Pertama, bentuk kementerian pajak. Alih-alih memisah kementerian koperasi dan usaha kecil menengah, memisahkan urusan pajak dari kementerian keuangan lebih berguna dalam membangun konsep pajak yang berkeadilan ini.
Untuk meningkatkan kepercayaan, menjaga integritas aparatur perpajakan, perlakuan khusus diberlakukan bagi kementerian pajak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu mempunyai desk tersendiri yang tugasnya mengawasi dan melakukan penegakan hukum secara cepat dan tegas terhadap penyelewengan aparatur pajak.
Kedua, buat regulasi yang mengharuskan para pejabat negara, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan petinggi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), membayar pajaknya sendiri. Negara tidak perlu lagi menanggung pajak mereka ini. Regulasi ini mudah saja dibuat jika pemerintah memiliki kemauan sungguh-sungguh melaksanakannya.
Bila cara itu dilakukan maka dampaknya pada pajak yang berkeadilan akan signifikan. Regulasi ini juga menjadi koreksi atas kenyataan bahwa selama ini para pejabat dengan penghasilan tinggi itu, pajaknya ditanggung negara. Sementara itu, karyawan-karyawan swasta dengan gaji setara upah minimum regional (UMR) justru harus membayar pajaknya sendiri.
Ketiga, pemerintah membuat daftar konkret manfaat yang dibayar wajib pajak. Benar-benar sebuah daftar yang dicetak di atas kertas, menjadi garansi pemerintah ketika wajib pajak menunaikan kewajibannya.
Seorang penulis atau sebuah penerbit yang telah membayar pajak akan mendapat garansi berkurangnya buku bajakan. Angka 'berkurangnya' dapat diambil dari diskusi atau negoisasi antara kementerian pajak dengan penulis atau penerbit.
Untuk menjamin garansi ini, kementerian pajak perlu berkoordinasi dengan institusi penegak hukum, kementerian perdagangan, dan lembaga-lembaga negara lain yang relevan. Bila garansi tersebut tidak tercapai, kementerian pajak dengan kewenangan yang diberikannya dapat merunut di instansi mana akar masalah muncul. Lantas, wajib pajak bisa menuntut kompensasi, atau mendapat pengurangan pajak.
Tiga hal di atas perlu disiapkan untuk membangun pajak yang berkeadilan. Sekali warga negara merasa diperlukan adil, maka upaya menambah pendapatan negara melalui instrumen pajak, niscaya tidak sulit dilakukan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.
