SALT is what makes things taste bad when it isn’t in them. Sebuah kutipan dari Joe Schwarcz, penulis asal Kanada, yang menggambarkan betapa pentingnya garam dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di balik kenikmatan rasa asin itu, tersembunyi risiko kesehatan yang tak bisa diabaikan. Konsumsi makanan dengan natrium tinggi telah menjadi perhatian global, tak terkecuali Indonesia.
World Health Organization (WHO) merekomendasikan batasan asupan natrium sebaiknya tidak lebih dari 2.000 mg/hari atau setara dengan 5 gram garam. Sayangnya, data global menunjukkan rata-rata konsumsi natrium masyarakat dunia mencapai 4.310 mg/hari (WHO, 2025). Angka tersebut lebih dari 2 kali lipat batas rekomendasi WHO.
Indonesia pun tidak luput dari masalah ini. Berdasarkan data SKMI 2023, rata-rata asupan natrium masyarakat Indonesia naik hampir dua kali lipat menjadi 4.200 mg/hari, dari rata-rata konsumsi pada 2014 sebesar 2.764 mg/hari.
Perlu ditekankan, angka tersebut tidak dapat dianggap sepele mengingat kelompok konsumen terbesar berada pada usia cukup muda. Kondisi ini berpotensi besar menimbulkan dampak kesehatan serius, seperti hipertensi, jantung, dan stroke.
Selaras dengan program Asta Cita menuju Indonesia Emas 2045, pengembangan SDM melalui peningkatan kualitas kesehatan menjadi salah satu program prioritas pemerintah (Prabowo & Gibran, 2024). Dengan demikian, pengendalian tingginya konsumsi natrium yang dapat menyebabkan penyakit berbahaya perlu menjadi perhatian pemerintah.
Tingginya asupan natrium memicu penyakit hipertensi (Darmawan et al., 2018). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi hipertensi masyarakat Indonesia tahun 2018 sebesar 34,1%, meningkat dari 5 tahun sebelumnya yang sebesar 25,8%.
Menurut WHO, hipertensi bertanggung jawab atas 45% kematian akibat penyakit jantung dan 51% kematian akibat stroke (WHO, 2013). Prevalensi penyakit jantung di Indonesia meningkat 4 kali lipat dari 0,5% pada 2013 menjadi 1,5% pada 2018 (Kemenkes, 2024). Peningkatan juga terjadi pada stroke, yakni sebesar 56%, dari 0,7% pada 2013 menjadi 10,9% pada 2018.
BPJS Kesehatan mengungkapkan penyakit jantung dan stroke tergolong penyakit dengan biaya termahal. Dari Rp37 triliun pengeluaran untuk 8 penyakit dengan biaya tertinggi pada 2024, penyakit jantung menduduki peringkat pertama dengan Rp19,25 triliun. Sementara itu, stroke menempati peringkat tiga dengan biaya Rp5,82 triliun (CNBC Indonesia, 2025).
Melihat hal tersebut, cukai menjadi instrumen kebijakan yang dapat dipertimbangkan. Pasal 2 UU Cukai s.t.d.t.d UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menyebutkan 2 dari 4 karakteristik barang yang dikenakan cukai adalah konsumsinya yang perlu dikendalikan dan pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Tingginya konsumsi natrium termasuk dalam 2 karakteristik tersebut.
Pemerintah sejatinya telah mencanangkan cukai pada produk pangan olahan bernatrium (P2OB) mulai 2026. Merujuk Pasal 194 PP 28/2024, pemerintah dapat mengenakan cukai dalam rangka pengendalian konsumsi garam.
Dalam Buku II Nota Keuangan 2026, pemerintah menetapkan target penerimaan cukai Rp334,3 triliun, naik 10,84% dari tahun sebelumnya. Ekstensifikasi objek cukai pada P2OB diharapkan dapat mendorong pencapaian target tersebut.
Studi dari Santos et al. (2021) menunjukkan beberapa negara telah menerapkan cukai produk pangan dengan kadar natrium tinggi. Misal, Hungaria mengenakan cukai pada makanan bernatrium tinggi melalui Public Health Product Tax sejak 2011.
Tarif yang dikenakan sebesar 300 HUF/kg untuk dua jenis produk, yakni snack dengan garam >1 g/100 g dan condiments (bumbu/saus) dengan garam >5 g/100 g (UK Health Forum, 2019). Hasilnya, konsumsi camilan asin berkurang 35% dan menyumbang penerimaan negara sebesar 3,63 miliar HUF (Bíró, 2015; European Commission, 2017).
Kebijakan itu tidak hanya berpengaruh pada konsumen, tetapi juga produsen. Sekitar 40% produsen mereformulasi produknya agar tidak melebihi batas natrium untuk menghindari penurunan penjualan akibat kenaikan harga karena cukai (Bíró, 2015).
WHO dalam dokumen bertajuk The SHAKE Technical Package for Salt Reduction juga merekomendasikan kebijakan dan regulasi fiskal untuk mereduksi konsumsi garam. Targetnya adalah mengurangi 30% konsumsi garam dunia pada 2025.
Oleh karena itu, penulis memberikan 4 langkah yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah dalam kebijakan cukai P2OB. Pertama, kajian dan diskusi. Naskah akademik sebagai tonggak awal kebijakan harus disusun secara komprehensif, termasuk memuat data konsumsi natrium, elastisitas permintaan, health impact assessment, dan simulasi dampak harga.
Hudson et al. (2019) menegaskan kebijakan sering kali gagal karena kajian yang kurang memadai. Kajian ini juga perlu diikuti dengan dialog publik masif sehingga keberterimaan suatu kebijakan (policy acceptance) bisa tercapai.
Pemerintah perlu belajar dari kasus di Kabupaten Pati yang menunjukkan kurangnya kajian dan keterlibatan publik serta sosialisasi yang memadai sehingga menimbulkan resistensi kebijakan baru.
Kedua, atur batas natrium dan tarif. Pemerintah dapat belajar dari Hungaria yang menetapkan batas kandungan garam dalam makanan yang dikenakan cukai, yakni snack dengan garam >1 g/100 g dan bumbu/saus dengan garam >5 g/100 g. Penetapan ini tentu harus melalui kajian ilmiah dan koordinasi antar lembaga pemerintah sesuai Pasal 194 ayat (2) PP 28/2024.
Dalam hal tarif, Hungaria menggunakan tarif spesifik sebesar 300 HUF/kg untuk produk yang melebihi batas natrium. Tonga juga menerapkan tarif spesifik sebesar T$0,5/kg untuk mi instan lokal dan T$2-5/kg untuk produk olahan tinggi garam (Walby et al., 2024).
Berdasarkan studi Dodd et al. (2020), model pajak spesifik nutrien (nutrient-specific tax) berbasis per gram natrium/garam dianggap paling efektif mengurangi asupan garam dan memberikan manfaat kesehatan. Model ini mencakup produk lebih luas, menghindari substitusi ke produk asin lain yang tidak kena pajak, serta mendorong reformulasi industri.
Ketiga, informasi dan edukasi publik. Informasi yang diperlukan ialah label produk tinggi natrium. Di Inggris, sistem label traffic light menandai tinggi-rendahnya kandungan garam.
Misal, label merah digunakan untuk kategori tinggi garam >1,5 g/100 g (Reyes et al., 2019). Meksiko menggunakan label hitam bertuliskan Excesso de Sodio untuk kandungan ≥300 mg/100 g (Villaverde et al., 2023; WHO, 2020).
Selain label produk, edukasi sejak dini juga diperlukan mengingat konsumsi natrium tertinggi ada pada kelompok umur 13-18 tahun (Prihatini et al., 2017). Di Amerika Serikat (AS), makanan sekolah diwajibkan mengurangi kandungan natrium sekitar 10% pada sarapan dan 15% pada makan siang mulai tahun ajaran 2027-2028. Materi pendidikan juga mencakup dampak natrium bagi kesehatan (Aleccia, 2023, 2024).
Keempat, hasil cukai untuk kesehatan. Hungaria mengalokasikan penerimaan dari cukai tersebut untuk program kesehatan, seperti menaikkan gaji 95.000 tenaga kesehatan, kampanye kesehatan, program edukasi gizi, dan reformasi kebijakan gizi (UK Health Forum, 2019).
Di Indonesia, dana tersebut juga dapat earmarked bagi sektor kesehatan, misalnya menutup defisit BPJS Kesehatan dalam 2 tahun terakhir. Selain itu, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) perlu diberi insentif bila melakukan reformulasi produk.
Lebih lanjut, UMKM juga memerlukan bimbingan teknis sehingga tidak terbebani oleh kebijakan ini. Dengan begitu, UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia akan siap menghadapi kebijakan tersebut.
Cukai P2OB berpeluang memperkuat penerimaan negara sekaligus mengendalikan konsumsi natrium berlebih. Mengingat masyarakat Indonesia memiliki tingkat konsumsi natrium tinggi, intervensi fiskal menjadi relevan. Kebijakan ini sejalan dengan Asta Cita, tren gaya hidup sehat, serta mendorong reformulasi produk oleh industri sebagaimana disarankan WHO.
Di sisi lain, penerapan cukai P2OB menghadapi tantangan seperti resistensi UMKM, rendahnya literasi gizi, dan potensi inflasi pangan. Tanpa kajian elastisitas dan simulasi dampak harga yang memadai, kebijakan bisa gagal sebagaimana diingatkan Hudson et al. (2019). Pemerintah juga perlu mengantisipasi peredaran produk ilegal dan persepsi publik yang keliru.
Cukai bukan sekadar pungutan. Ia bisa menjadi rem konsumsi, sarana edukasi, sekaligus penyelamat anggaran. Dengan kondisi tersebut, apakah cukai ini akan terealisasi tahun depan atau bernasib sama dengan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang tertunda bertahun-tahun? Menarik untuk dinantikan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.