LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Insentif Pajak Promotor Konser: Jalan Tengah Pacu Ekonomi & Kepatuhan

Redaksi DDTCNews
Jumat, 19 September 2025 | 10.00 WIB
Insentif Pajak Promotor Konser: Jalan Tengah Pacu Ekonomi & Kepatuhan
Handika Prandanil, 
Kabupaten Tebo, Jambi

INDUSTRI hiburan, khususnya konser musik, kini kembali digandrungi. Setelah dihantam badai pandemi, lampu panggung mulai menerangi lapangan-lapangan kota, ikut membantu denyut ekonomi daerah, UMKM, serta menyerap banyak tenaga kerja.

Namun demikian, di balik nyaringnya suara speaker dan keriuhan penonton, terdapat kenyataan berat yang dihadapi pelaku industri ini, terutama promotor. Beban pajak dan administrasi yang kompleks justru menghambat sektor ini tumbuh dengan optimal.

Sebagai individu yang memiliki pengalaman menjadi promotor konser, penulis merasakan langsung bagaimana antusiasme masyarakat kerap kali terhambat oleh mahalnya harga tiket. Salah satu penyebabnya ialah tarif pajak hiburan yang terbilang cukup besar.

Dalam kondisi tersebut, pemerintah dihadapkan pada tantangan: bagaimana merancang kebijakan insentif perpajakan yang mampu mendorong pertumbuhan industri hiburan, tanpa mengorbankan penerimaan negara.

Pajak hiburan merupakan salah satu jenis pajak daerah yang diatur dalam UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). Di berbagai daerah, tarif pajak hiburan untuk konser musik dapat mencapai 25% hingga 35%. Pajak ini dikenakan langsung pada harga tiket yang dibayar penonton.

Dampaknya jelas, makin tinggi tarif pajak yang dikenakan maka makin mahal pula harga tiket. Meski begitu, promotor tak bisa menaikkan harga tiket begitu saja. Faktor daya beli masyarakat, persaingan konser lain, serta tontonan digital turut menjadi pertimbangan.

Dilema pun muncul: di satu sisi promotor ingin menghadirkan konser berkualitas, di sisi lain ada keterbatasan harga yang harus ditekan sehingga seluruh kebutuhan konser terpenuhi.

Tak hanya itu, promotor juga menghadapi beban pajak lain, seperti PPh artis (terutama untuk artis luar negeri), PPN atas vendor produksi, PPh badan, hingga biaya perizinan yang tidak kecil. Administrasi perpajakan pun masih tersebar dan belum sepenuhnya terintegrasi secara digital sehingga menambah beban waktu dan tenaga.

Beban berlapis tersebut membuat margin keuntungan promotor makin kecil. Tak sedikit pula konser yang akhirnya batal karena total biaya, termasuk pajak, melebihi estimasi pendapatan. Sebagian promotor kecil bahkan memilih “jalan belakang” untuk menghindari formalitas. Kondisi ini jelas merugikan negara sekaligus menurunkan standar industri.

Selain itu, ketimpangan insentif antardaerah membuat promotor lebih memilih kota dengan tarif pajak lebih rendah sehingga menciptakan konsentrasi event di wilayah tertentu dan meninggalkan potensi ekonomi di daerah lain.

Jika kondisi ini terus berlanjut, Indonesia berisiko kehilangan peluang besar untuk memaksimalkan ekonomi kreatif sebagai sektor baru sekaligus sumber penerimaan pajak jangka panjang.

Rekomendasi

Untuk menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan negara, penulis memiliki sejumlah rekomendasi insentif dan reformasi yang dapat dipertimbangkan pemerintah.

Pertama, penurunan tarif pajak hiburan berbasis keterlibatan lokal. Misal, konser yang menyerap tenaga kerja lokal, menyelenggarakan program edukatif, atau digelar di daerah prioritas pariwisata dapat memperoleh insentif berupa pengurangan tarif.

Kedua, insentif fiskal untuk konser berskala nasional maupun internasional. Konser besar yang membawa dampak ekonomi signifikan terhadap penginapan, transportasi, hingga UMKM layak diperlakukan selayaknya sektor pariwisata yang mendapat dukungan fiskal.

Ketiga, digitalisasi pelaporan pajak event. Mekanisme ini memungkinkan transparansi dan pelaporan real-time, sekaligus mempermudah pengawasan. Keempat, penerapan PPN final untuk vendor event sehingga tidak terjadi pengenaan pajak berganda yang membebani promotor.

Kelima, pembentukan Pusat Layanan Pajak Event (one-stop service) untuk menyatukan perizinan, pelaporan, dan konsultasi perpajakan event dalam satu platform digital yang ramah pengguna.

Dengan insentif yang tepat sasaran, dampak positif dapat dirasakan secara simultan. Bagi pemerintah, basis pajak akan lebih luas karena makin banyak promotor yang patuh dan beroperasi secara formal. Penerimaan pajak tentu terjaga, bahkan berpotensi meningkat.

Sementara itu, bagi promotor, insentif mendorong keberanian menyelenggarakan event yang lebih kreatif dan berkualitas tanpa takut bangkrut oleh pajak. Bagi masyarakat, harga tiket bisa lebih terjangkau, hiburan lebih merata hingga ke daerah, dan efek pengganda ekonomi makin terasa.

Industri konser tidak hanya sekadar ruang hiburan. Konser adalah titik temu ekonomi, kreativitas, dan budaya. Promotor konser merupakan mitra strategis pemerintah dalam membangun ekonomi berbasis pengalaman (experience economy).

Sudah saatnya pemerintah mengambil pendekatan yang lebih progresif dalam merancang kebijakan perpajakan bagi industri hiburan. Insentif pajak bukan ancaman terhadap penerimaan, melainkan stimulan baru untuk mendorong ekonomi yang dinamis sekaligus menumbuhkan kepatuhan.

Dengan kebijakan yang tepat, arena konser tak hanya menjadi tempat bersuka ria, tetapi juga sumber pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak yang berkelanjutan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.