LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Kapan Riset Kita Unggul? Perlu Jaminan Litbang Sepenuhnya Deductible

Redaksi DDTCNews
Selasa, 09 September 2025 | 10.00 WIB
Kapan Riset Kita Unggul? Perlu Jaminan Litbang Sepenuhnya Deductible
Rizqa Lahuddin, 
Kota Semarang, Jawa Tengah

JANGAN salahkan orang yang bilang kalau Indonesia adalah negara minim inovasi. Jika diminta menyebutkan penemuan besar yang dibuat oleh orang Indonesia, beberapa mungkin hanya tahu 'fondasi cakar ayam' karya Ir. Sedijatmo, lebih dari 60 tahun lalu.

Asumsi tersebut tidak terlontar sembarangan, ada dasarnya.

Salah satu indikator inovasi adalah penemuan yang dipatenkan. Berdasarkan laporan World Intellectual Property Indicator (2024) yang dirilis oleh World Intellectual Property Organization (WIPO), 'hanya' 10.554 paten diberikan oleh negara kepada penemunya di Indonesia.

Sebagai pembanding, terdapat 90.298 paten diberikan di India, 1.677.701 di China, 300.133 di Jepang, dan 243.310 di Korea Selatan. Bahkan di negara tetangga Singapura, jumlahnya mencapai 13.767 paten. Semuanya merupakan data pada 2023.

Jika dilihat lebih detail, dari 10.554 paten tersebut, 8.872 merupakan paten yang didaftarkan oleh pemilik penemuan dari luar negeri karena akan dikomersialkan di Indonesia. Sementara yang benar-benar ditemukan oleh penemu Indonesia seperti Ir. Sedijatmo dengan fondasi cakar ayam-nya, hanya sejumlah 1.682 paten.

Data publikasi paten adalah data publik yang bisa diakses siapa saja melalui halaman Ditjen HAKI Kemenkumham. Berdasarkan Berita Resmi Paten Seri-A yang dirilis untuk periode 28 Juli 2025 hingga 1 Agustus 2025, terdapat 242 paten yang didaftarkan. Sebanyak 35 paten diberikan kepada entitas Indonesia, sedangkan 207 lainnya merupakan entitas luar negeri.

Menarik untuk diketahui, dari total 35 paten, 10 paten didaftarkan oleh universitas seperti UGM, UI, Petra, Unhas, dan Unair. Kemudian, 24 paten didaftarkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), tetapi hanya 1 paten yang didaftarkan oleh perusahaan swasta, itupun statusnya PMA.

Hal ini sangat bertolak-belakang dengan pendaftaran oleh entitas luar negeri. di mana dari 242 paten, hanya 1 yang didaftarkan oleh universitas sedangkan sisanya merupakan perusahaan swasta.

Kenapa tidak banyak perusahaan di Indonesia berani mengembangkan penemuan baru melalui riset? Padahal di luar negeri, riset dan inovasi tidak hanya menjadi tugas institusi pemerintah, tetapi justru banyak dilakukan oleh swasta.

NASA memang yang pertama kali menemukan cara bagi manusia untuk mendarat di bulan, tetapi SpaceX membuat roket yang dapat kembali ke bumi untuk digunakan berulang kali. Belum lagi, Virgin Galactic adalah perusahaan yang mampu memberikan pengalaman ke luar angkasa dengan cukup nyaman bagi orang biasa nonastronot, seperti layaknya turis.

Pajak Jadi Pengganjal

Jawaban dari pertanyaan di atas, salah satunya adalah pajak. Sama seperti kegiatan CSR yang mampu membantu pembangunan infrastruktur, kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) pada dasarnya juga dapat membantu peran pemerintah.

Sayangnya, baik CSR dan riset menghadapi problem yang sama: pendanaan yang terbatas.

Sesuai dengan Pasal 6 Ayat 1 Huruf f UU PPh, biaya litbang sebenarnya dapat dibiayakan selama pengembangannya dilakukan di Indonesia. Namun, apakah ekosistem riset di Indonesia sudah berjalan ideal dan semua peralatan riset tersedia?

Selain itu, koreksi fiskal oleh pemeriksa juga menjadi problem jika dibenturkan dengan prinsip 3M, di mana kegiatan riset tentu saja tidak secara langsung berguna untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.

Riset justru menggerus keuangan perusahaan dan pembuktian biayanya tidak selalu mudah. Padahal, riset diperlukan untuk meningkatkan laba perusahaan di masa depan.

Kita coba ambil satu contoh betapa 'peliknya' perlakuan pajak terhadap riset ini. Sebelum sukses, SpaceX harus menanggung 4 roketnya yang meledak tidak berbekas sebelum akhirnya berhasil di percobaan ke 5.

Bayangkan apa yang terjadi jika biaya 4 roket tersebut dikoreksi fiskal oleh IRS? Bagaimana mau membiayakan riset jika sekadar biaya kerugian akibat kehilangan mesin atau persediaan saja harus bersengketa sampai ke pengadilan pajak.

Selain itu prinsip matching cost against revenue juga bisa menjadi masalah. Riset baru bisa berhasil setelah bertahun-tahun melakukan penelitian. Setelah itu perlu waktu tambahan untuk bisa mengomersialkan penemuan tersebut.

Dengan kata lain, perusahaan dihadapkan dengan non-deductible expense akibat permanent difference saat melakukan riset, dan dihadapkan juga dengan non-deductible expense akibat temporary difference jika risetnya sukses tetapi belum bisa dikomersialkan.

Pemerintah sebenarnya sudah memberikan insentif untuk perusahaan yang melakukan riset dalam bentuk Super Tax Deduction sesuai dengan Pasal 432 PMK 81/2024.

Perusahaan yang melakukan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia bisa mendapat pengurangan penghasilan bruto maksimal 300% dari total biaya litbang. Sayangnya, insentif ini hanya diminati oleh 30 perusahaan, dan baru 9 perusahaan melalui 19 proposal yang disetujui.

Jalan Keluar

Tujuan akhir dari inovasi adalah productivity and profitability, dan itu terkait dengan kecepatan serta kerahasiaan. Jika PT ABC sebagai produsen kasur akan menciptakan busa yang terasa dingin dan cocok untuk iklim Indonesia, mereka harus mengajukan proposal yang entah kapan akan disetujui.

Di saat yang sama, perusahaan pesaing bisa lebih dulu memulai mencoba dan mematenkan inovasinya, sementara PT ABC masih terjebak dalam birokrasi.

Contoh lain, iPhone tidak akan pernah tercipta jika dulu Apple harus mendaftarkan proposal. Risiko kebocoran data dari proposal yang diajukan terlalu besar. Apple bisa saja kalah dari pesaing hanya demi bisa membiayakan biaya penelitian dalam membuat prototype iPhone.

Solusinya adalah pangkas birokrasi. Biarkan semua perusahaan melakukan inovasi melalui riset dan penelitian. Namun, perusahaan perlu menjaga supaya tidak menjadi ruang memperbesar non-deductible expense.

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh perusahaan. Pertama, mengubah struktur pelaksana riset.

Jika selama ini riset hanya dilakukan oleh divisi atau departemen dalam perusahaan, ke depannya pelaksana riset bisa dilepas menjadi badan hukum sendiri seperti Google Lab dan Apple Campus. Keduanya terlepas dari struktur utama penjualan dan distribusi perusahaan induk.

Kedua, menggunakan KLU khusus bagi perusahaan untuk fungsi litbang seperti 73110, 73210, dan 73220 supaya Ditjen Pajak (DJP) dengan mudah memantau bahwa entitas ini adalah Research and Development Centre yang memang tidak akan mendapat laba.

Ketiga, menerapkan sertifikasi bagi perusahaan R&D oleh lembaga seperti BRIN, serta mewajibkan adanya paten tiap periode tertentu untuk membuktikan riset benar dilakukan dan adanya pendapatan dari royalti karena hasil riset memiliki nilai komersial.

Keempat, memberikan pemahaman bagi seluruh otoritas pajak bahwa tujuan besarnya adalah mendukung inovasi, sehingga tidak ada lagi sengketa koreksi fiskal, biaya sumbangan penelitian maupun domestic transfer pricing ke perusahaan R&D ini.

Walaupun tidak berbentuk super-deduction, perusahaan mendapatkan kepastian bahwa semua kerja keras penelitiannya deductible. Artinya, perusahaan berkesempatan mencoba hal baru meskipun bisa gagal berkali-kali.

Membuat R&D sebagai non-deductible seperti menakuti seorang anak belajar sepeda, bahwa tiap kali mereka jatuh, akan dihukum. Padahal seperti kata pepatah, 99% of success is built on failure.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.