BAYANGKAN Anda seorang karyawan biasa atau pengusaha kecil. Suatu hari, sebuah surat resmi tergeletak di atas meja kerja. “Teruntuk Bpk./Ibu XXX di tempat.” Nama Anda tertera jelas sebagai penerima. Bukan undangan rapat. Bukan pula surat apresiasi atau pemberian bonus.
Nada surat itu tegas, formal, dan dingin. Jantung berdegup kencang, tangan mungkin gemetar. Bukan karena merasa bersalah, tetapi lantaran takut salah langkah.
Inilah gambaran penegakan pajak yang kerap kali terasa lebih seperti “menggertak” ketimbang “mengajak”. Sistem yang masih dibangun di atas basis ketakutan. Tidak patuh, dihukum. Salah sedikit, diperiksa. Kurang hati-hati, dianggap tidak jujur.
Hingga saat ini, penulis meyakini bahwa rezim penegakan pajak di Indonesia masih didominasi pendekatan patuh karena takut (fear-based compliance). Konsep ini terlihat sederhana, tetapi dampaknya kompleks.
Erich Kirchler dalam kajiannya bertajuk Theory of Slippery Slope menyebut kepatuhan pajak dibentuk oleh 2 pilar utama, yaitu kekuatan otoritas (power of authority) dan kepercayaan terhadap otoritas (trust in authority).
Ketika kepatuhan hanya bertumpu pada kekuatan otoritas maka yang muncul adalah kepatuhan terpaksa (enforced tax compliance).
Wajib pajak patuh semata-mata karena diawasi dan takut dihukum. Hubungan yang lahir bersifat kaku, penuh kecurigaan, dan berpotensi kontraproduktif. Makin besar rasa takut, makin tinggi pula risiko penghindaran pajak.
Kenyataan ini selaras dengan tren menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah seperti dicatat Komunitas Penulisan Hukum dan Malline.Id. Alih-alih mendorong kepatuhan sukarela (voluntary tax compliance), banyak wajib pajak justru memilih bersembunyi. Sebagian menjadi apatis, defensif, bahkan paranoid.
Tidak sedikit yang lebih memilih jalur “di bawah meja” ketimbang menghadapi prosedur rumit dan penuh ketidakpastian. Situasi ini kian berbahaya karena membuka ruang subur bagi shadow economy—ekonomi yang tidak tercatat, tidak transparan, dan tidak berkontribusi pada penerimaan negara.
Tak hanya itu, dampak pendekatan fear-based compliance juga terasa pada level makro, khususnya bagi investor asing. Keputusan investasi tidak hanya dipengaruhi tarif pajak, tetapi juga kepastian birokrasi.
Investor mempertimbangkan: adilkah mekanisme sengketa? Transparankah proses audit? Apakah tersedia ruang dialog sebelum putusan? Mudahkah administrasi perpajakan dijalankan?
Kepastian pada aspek-aspek tersebut sangat krusial. Namun, ketika yang muncul adalah kesan intimidasi fiskal, keraguan investor meningkat. Alhasil, potensi investasi pun bisa menurun atau bahkan hengkang.
Sejumlah negara seperti Belanda, Australia, Irlandia, Inggris, dan Amerika Serikat mengadopsi pendekatan cooperative compliance untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Model ini menekankan bahwa transparansi dibangun atas dasar saling percaya, bukan paksaan.
Indonesia sebenarnya sudah memulai sistem berbasis mutual trust. Namun, implementasinya masih setengah hati. Kepercayaan belum menjadi fondasi utama. Dialog masih kalah oleh prosedur. Edukasi belum sepenuhnya menggantikan intimidasi.
Alhasil, pajak masih sering kali dipandang tabu. Salah satunya karena pendekatan fiskal cenderung menempatkan wajib pajak layaknya pelanggar, bukan mitra. Padahal, penegakan hukum tidak harus intimidatif, apalagi transaksional.
Tujuannya bukan membiarkan pelanggaran, tetapi membangun relasi yang beradab. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, audit yang adil dan transparan. Audit harus berbasis risiko nyata, bukan prasangka. Kepastian prosedur adalah bentuk penghormatan atas hak wajib pajak.
Kedua, Taxpayer Relationship Program (TRP). Program ini jangan sampai sekadar bimbingan teknis tahunan, melainkan juga menjadi wadah dialog, berbagi informasi, hingga penyelesaian masalah tanpa selalu berujung sengketa.
Ketiga, insentif atas kepatuhan sukarela. Kepatuhan wajib pajak tentu perlu dihargai. Misalnya dengan cara mengurangi sanksi administratif, prioritas layanan, atau bahkan apresiasi publik. Kepatuhan sangat pantas untuk dirayakan.
Bagi penulis, negara yang membutuhkan penerimaan, itu sudah pasti. Mengejar target haruslah wajar adanya. Namun demikian, masyarakat juga membutuhkan kepastian dan stabilitas dalam berusaha.
Penegakan hukum pajak tidak semestinya menjadi momok. Ia seharusnya menjadi jembatan relasi antara negara dan masyarakat yang saling percaya. Sebab, pada akhirnya, membayar pajak bukan sekadar soal kepatuhan, melainkan juga soal kepercayaan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.