Dian Putri Irmayanti,
PENDEKATAN yang lebih efektif dan efisien makin diperlukan dalam upaya optimalisasi penerimaan pajak. Salah satu pendekatan yang dapat dipertimbangkan adalah penguatan peran intelijen perpajakan. Peran ini terutama menyangkut pengawasan dan pengumpulan data yang lebih komprehensif atas aktivitas ekonomi wajib pajak.
Intelijen perpajakan menjadi kunci dalam upaya mendeteksi potensi pelanggaran sekaligus menemukan peluang penerimaan pajak dari sumber-sumber yang selama ini belum tersentuh. Adapun pada saat ini, Indonesia telah memiliki intelijen perpajakan yang berada dalam pengelolaan administrasi Kementerian Keuangan, yakni di bawah Direktorat Jenderal Pajak.
Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2019, kegiatan intelijen perpajakan adalah serangkaian kegiatan dalam siklus intelijen yang meliputi perencanaan, pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data dan/atau informasi sehingga diperoleh suatu produk intelijen yang dapat digunakan untuk kepentingan perpajakan.
Adapun jenis kegiatan intelijen perpajakan antara lain operasi intelijen; analisis intelijen dalam rangka pengembangan serta analisis informasi, data, laporan, dan pengaduan; analisis intelijen dalam rangka penggalian potensi; pengamanan; penggalangan; analisis intelijen strategis; serta kegiatan intelijen lain untuk kepentingan perpajakan dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi.
Adapun penguatan intelijen perpajakan dapat mengadopsi penyesuaian yang diperlukan dari best practice organisasi serupa pada negara-negara yang tergabung dalam Inter-American Center of Tax Administrations/Centro Interamericano de Administraciones Tributarias (CIAT) (Center of Tax Administration - CIAT, 2006).
Menurut CIAT, intelijen perpajakan merupakan aktivitas pengumpulan informasi dengan teknik khusus yang akan memengaruhi administrasi perpajakan dalam menjalankan kewajibannya. Hal ini terutama dalam hal menanggulangi tax evasion, tax avoidance, dan tax crime. Terdapat dua karakteristik intelijen perpajakan, yaitu proaktif dan reaktif.
Proaktif berkaitan dengan kegiatan pencarian dan analisis informasi dengan tujuan menanggulangi pelanggaran perpajakan dan mengembangkan peraturan perpajakan. Sementara itu, reaktif berkaitan dengan investigasi dan dukungan terhadap pengumpulan bukti yang tidak dapat diperoleh secara terbuka, yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan perpajakan.
Jika merujuk pada panduan tersebut, terdapat tiga hal yang dapat dilakukan untuk penguatan peran intelijen perpajakan. Ketiganya adalah penguatan personel, perluasan kewenangan, serta penjaminan fasilitas pendukung intelijen perpajakan. Tujuannya tentu saja untuk mendukung peningkatan pendapatan negara yang diusung presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran.
PENGUATAN personel tidak hanya berbicara mengenai peningkatan kompetensi teknis sumber daya manusia (SDM) intelijen perpajakan, tetapi juga tentang proses seleksi dan rekrutmennya. Sebagai insan intelijen, tiap personel dituntut menguasai banyak keahlian. Terlebih, perpajakan juga menyangkut berbagai ilmu dan aktivitas ekonomi.
Tak hanya keahlian intelijen taktis, tetapi juga keahlian perpajakan. Kemudian, ada keterampilan analisis berbagai macam data makroekonomi dan keuangan wajib pajak, pengelolaan cyber security, serta softskill lain yang diperlukan. Dengan demikian, perlu ada seleksi ketat personel intelijen perpajakan.
Negara dituntut mampu menyeleksi aparatur sipil negara (ASN) untuk menjadi personel intelijen perpajakan dengan dua kualifikasi minimal, yakni pemahaman teknis perpajakan dan perekonomian serta pemahaman mengenai intelijen, baik taktis maupun strategis.
Personel yang terpilih nantinya juga perlu mendapatkan pengembangan kapasitas dengan beragam keahlian sesuai dengan pola karier intelijen perpajakan. Pada gilirannya, intelijen perpajakan diharapkan dapat lebih kuat seiring dengan penguatan kompetensi dan kapasitas personel yang ada di dalamnya.
Sejalan dengan perbaikan kapasitas personel, perlu ada perluasan kewenangan dalam menjalankan tugas dan fungsi intelijen perpajakan. Aspek ini membutuhkan dukungan para pemimpin negeri. Dengan perluasan kewenangan, data dan informasi bisa diperoleh dengan lebih cepat, akurat, dan andal. Data dan informasi ini menjadi dasar pengambilan keputusan dan tindak lanjut suatu kasus.
Adapun salah satu bentuk kewenangan tersebut terkait dengan koordinasi antara intelijen perpajakan di indonesia dengan lembaga intelijen perpajakan internasional. Hal ini diperlukan mengingat dampak dari globalisasi yang telah mengaburkan batas antarnegara dalam bertransaksi lintas yurisdiksi.
Menurut penulis, perluasan kewenangan ini perlu juga disertai dengan adanya jaminan fasilitas pendukung bagi intelijen perpajakan. Fasilitas pendukung bagi intelijen perpajakan dapat berupa kesediaan data dan informasi pendukung, perlindungan atas diri personel dan keluarganya, serta otonomi keuangan.
Tak dimungkiri, kekuatan intelijen berada pada informasi intelijen itu sendiri. Untuk itu, diperlukan data dan informasi komprehensif bagi intelijen perpajakan sebagai ‘bahan bakar’ dalam melakukan kegiatan. Kebutuhan ini menuntut adanya akses informasi baik dalam tataran Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang membina intelijen perpajakan maupun informasi lintas instansi.
Selain itu, dalam melaksanakan kegiatan intelijen perpajakan yang berisiko tinggi, personel intelijen perpajakan membutuhkan adanya perlindungan bagi dirinya maupun keluarganya sebagaimana amanat dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
Bentuknya dapat berupa perlindungan hukum seperti imunitas hukum dan pembelaan hukum oleh negara; perlindungan fisik dan keamanan pribadi maupun keamanan operasional; perlindungan kesejahteraan psikologis maupun kompensasi dan insentif; perlindungan data dan informasi; dan perlindungan terhadap ancaman atas pribadi personel.
Terkait dengan otonomi keuangan, menurut CIAT, salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam struktur administrasi perpajakan adalah alokasi anggaran yang spesifik untuk kegiatan intelijen perpajakan. Oleh karena itu, diperlukan dana khusus serta peraturan perundang-undangan terkait dengan mekanisme penggunaan dan auditnya.
Aspek tersebut memungkinkan unit intelijen perpajakan untuk beroperasi menghadapi tantangan kompleks dalam pendeteksian dan pencegahan pelanggaran. Dukungan dari sisi keungan ini juga diperlukan agar intelijen perpajakan dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan strategis dan disrupsi teknologi.
Otonomi keuangan juga diperlukan untuk memastikan bahwa unit intelijen perpajakan tidak bergantung pada alokasi anggaran umum yang mungkin kurang memadai sebagai pendukung operasi yang sensitif dan berisiko tinggi.
Adanya penguatan peran intelijen perpajakan tersebut diharapkan dapat mendukung kinerja pemerintah mengamankan penerimaan perpajakan. Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, tetapi juga memungkinkan pemerintah untuk secara proaktif mendeteksi dan menindak ketidakpatuhan di bidang perpajakan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.