JAKARTA, DDTCNews – Setidaknya terdapat beberapa resep jitu yang harus dipertimbangkan pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan. Hal ini seperti diungkapkan oleh Prof. James Alm dari Tulane University, Amerika Serikat dalam acara kuliah umum yang bertajuk: What motivates tax compliance? Theory and evidence from around the world.
Bertempat di Gedung Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, pria yang telah melakukan pendampingan reformasi pajak di berbagai negara tersebut meringkas teori, temuan lapangan, serta pengalamannya dalam 10 hal.
"Pertama, pemeriksaan atau audit, khususnya yang bersifat sistematis dan selektif akan sangat berpengaruh kepada kepatuhan. Kedua, persepsi atas intensitas pemeriksaan memainkan peranan penting," ujarnya, Rabu (5/10).
Sebagai contoh, lanjut Alm, di Amerika Serikat pemeriksaan hanya dilakukan untuk 0.6% dari SPT yang dilaporkan. Akan tetapi, sebagian besar wajib pajak takut untuk ‘berbuat curang’ karena mereka memiliki persepsi bahwa tingkat audit yang dilakukan IRS adalah sebesar 30-50%.
Ketiga, walau dalam teori, sanksi memberikan detterent effect namun dalam kenyataanya tidak terlalu signifikan. Hal lain yang perlu untuk dipertimbangkan juga oleh otoritas pajak bahwa sanksi tidak selalu bersifat pidana atau administrasi, namun juga bisa bersifat reputasi (mempermalukan). Keempat, wajib pajak membutuhkan suatu penghargaan atau imbal balik dari pajak yang mereka bayarkan.
Penegakan Hukum Setelah Pengampunan Pajak
Kelima, tarif pajak yang semakin tinggi dipercaya menciptakan keinginan untuk tidak jujur. Akan tetapi, hal tersebut hanya sensitif pada tarif yang dirasa tidak adil atau terlalu membebani. Keenam, norma sosial dan tax morale perlu untuk dibentuk secara positif.
Ketujuh, informasi dalam sistem pajak sangat dibutuhkan. Hal ini mencakup informasi yang dimiliki wajib pajak tentang belanja pemerintah, cara mematuhi regulasi, dan sebagainya, maupun informasi yang dimiliki otoritas dari pihak ketiga.
Kedelapan, jangan membuat sistem pajak yang kompleks. Hal itu hanya akan menciptakan keengganan, batasan, serta biaya untuk patuh. Kesembilan, dalam upaya mematuhi pajak individu tidak hanya didorong oleh faktor finansial semata tapi juga faktor ‘sosial’ yang sulit untuk dijelaskan, seperti simpati dan empati.
Terakhir, pengampunan pajak adalah program yang dapat memperbaiki kepatuhan selama bersifat transisi ke era yang baru dan harus diikuti oleh penegakan hukum. Tanpa adanya penegakan hukum, kepatuhan wajib pajak secara kolektif akan menurun pasca program tersebut. Selain itu, walau dirasa berhasil, pengampunan pajak tidak boleh dilakukan berkali-kali dalam waktu yang berdekatan.
Tiga Paradigma
Lebih lanjut lagi, Alm juga menjelaskan saat ini terdapat tiga paradigma dalam meningkatkan kepatuhan. Pertama, paradigma penegakan hukum (enforcement). Dalam paradigma ini, wajib pajak diasumsikan berpotensi sebagai penjahat. Oleh karena itu, sanksi yang berat serta intensitas pemeriksaan harus ditingkatkan.
Kedua, paradigma pelayanan (service) yang percaya bahwa otoritas pajak harus berperan sebagai fasilitator dan bertugas melayani. Paradigma ini mengharuskan adanya transformasi dari otoritas pajak untuk berorientasi kepada customers, yakni wajib pajak.
Terakhir, paradigma kepercayaan (trust). Dalam paradigma ini, wajib pajak dianggap akan patuh jika terdapat suatu kepercayaan terhadap otoritas pajak. Otoritas pajak yang jujur akan menciptakan kepatuhan sukarela, oleh karena itu diperlukan perubahan ‘wajah’ dan budaya organisasi.
Lalu, paradigma mana yang paling tepat? Hal yang penting untuk diingat adalah pada dasarnya, wajib pajak adalah sekumpulan individu yang kompleks dan memiliki profil, psikologis serta perilaku yang berbeda-beda. “Oleh karena itu, dibutuhkan full house of strategies untuk meningkatkan kepatuhan dari individu yang berbeda-beda,” ujar Alm.
Alm menegaskan pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan yang merupakan bauran atas ketiga paradigma tersebut. Dengan demikian, motivasi setiap orang untuk patuh tergugah. (Amu)