Dosen Jurusan Akuntansi UTM Gita Arasy Harwida (kiri) selaku moderator acara dan Senior Manager of DDTC Consulting Pretty Wulandari (kanan) sebagai narasumber dalam kuliah tamu bertajuk Menjelajahi Konsep, Tantangan, dan Peluang dalam Transfer Pricing, Rabu (11/6/2025).
JAKARTA, DDTCNews – Penentuan harga transfer atau transfer pricing tidak selalu melibatkan praktik penghindaran pajak atau hal-hal yang berkonotasi negatif lainnya.
Senior Manager of DDTC Consulting Pretty Wulandari mengatakan transfer pricing pada hakikatnya memiliki makna yang netral. Menurutnya, transfer pricing menjadi hal lumrah yang tak terhindarkan dalam operasional grup perusahaan multinasional (PMN).
“Karena secara harfiah ini penetapan harga. Misal, perusahaan multinasional pastikan bertransaksi antar-entitas di dalam grupnya. Ketika dia bertransaksi antar-entitas di dalam grupnya, tentu harus menetapkan suatu harga,” katanya dalam kuliah tamu bertajuk Menjelajahi Konsep, Tantangan, dan Peluang dalam Transfer Pricing, Rabu (11/6/2025).
Sebagai informasi, acara kuliah tamu tersebut dimoderatori oleh Dosen Jurusan Akuntansi UTM Gita Arasy Harwida. Agenda yang digelar oleh Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) ini diikuti sekitar 233 peserta.
Lebih lanjut, Pretty memerinci terdapat 3 elemen utama yang berkaitan erat dengan transfer pricing, yaitu: (i) transaksi afiliasi; (ii) transaksi pembanding (independen); dan (iii) mengukur kewajaran transaksi afiliasi berdasarkan transaksi pembanding.
Agar transaksi transfer pricing dinilai wajar dan tak dianggap sebagai upaya penghindaran pajak oleh otoritas pajak, wajib pajak harus menerapkan arm's length principle (ALP) atau Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) dalam setiap transaksi afiliasinya.
Dia menerangkan terdapat 4 tahap yang perlu dilakukan dalam analisis penerapan PKKU. Keempat tahap tersebut meliputi: (i) analisis kesebandingan; (ii) analisis kesebandingan; (iii) pemilihan metode transfer; dan (iv) mengukur nilai kewajaran harga transfer.
Untuk memastikan harga transfer yang ditetapkan memenuhi PKKU, wajib bisa menunjukkannya melalui Transfer Pricing Documentation (TP Doc). TP Doc merupakan dokumentasi yang memuat informasi terkait dengan transaksi yang dilakukan antar pihak afiliasi.
Pretty menguraikan TP Doc disajikan dalam 3 jenis dokumen yang dikenal dengan istilah pendekatan 3 tingkat, yaitu: Dokumen Induk (Master File); Dokumen Lokal atau (Local File); dan Laporan per Negara atau Country-by-Country Report (CbCR).
"Jadi, TP Doc jangan dianggap sebagai beban, tetapi sebagai senjata utama ketika nanti wewenang otoritas pajak untuk melakukan pemeriksaan atau menguji kepatuhan pajak muncul. Melalui TP Doc, kita harus bisa menceritakan kalau sudah mematuhi peraturan yang berlaku,” tuturnya.
Pretty turut menerangkan seputar tantangan implementasi transfer pricing di Indonesia. Tantangan itu di antaranya dokumentasi transfer pricing yang harus dilakukan secara berkelanjutan. Simak Hindari Risiko, Penyusunan TP Doc Perlu Dimulai Sedini Mungkin
Jangka waktu pemenuhan permintaan TP Doc yang hanya maksimal 1 bulan sejak diminta KPP juga menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, kompleksitas fakta dan rentannya penilaian subjektif dalam penerapan peraturan transfer pricing berpotensi menimbulkan sengketa.
Terlepas dari kompleksitas dan tantangannya, Pretty memandang peluang karier di bidang transfer pricing masih terbuka luas. Peluang karier tersebut terbuka untuk menjadi akademisi, konsultan pajak, serta menjadi tim pajak di grup PMN.
"Peraturan domestik TP yang berlaku di berbagai negara itu tetap mengacu pada soft law TP, seperti OECD TP Guideline, OECD Model tax Convention, atau UN TP Manual. Artinya, kita bisa berkarir di mana saja, baik di Indonesia maupun di negara lain," ujar Pretty. (rig)