Para narasumber dan peserta berfoto bersama dalam seminar Taxplore 2018, FIA UI, Jakarta, Jumat (30/11/2018). (Foto: DDTCNews)
DEPOK, DDTCNews – Masifnya perkembangan ekonomi digital menjadi tantangan tersendiri bagi otoritas pajak, terutama atas transaksi lintas negara yang saat ini model bisnisnya kian beragam. Pemerintah perlu mencari strategi yang tepat untuk menghadapi era ekonomi digital agar potensi penerimaannya tergali dengan optimal.
Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Yon Arsal mengatakan potensi ekonomi digital di Indonesia sangat besar, namun pemerintah harus menetapkan kebijakan yang netral yang mendorong perkembangan ekonomi digital, tidak mendistorsi atau bahkan mematikan bisnis tersebut.
"Aturan pajak ekonomi digital harus netral, karena pada prinsipnya pemajakannya sama dengan bisnis konvensional, hanya saja caranya yang berbeda," ujarnya dalam seminar TaxPlore 2018 bertajuk ‘Perpajakan di Era Ekonomi Digital’ yang digelar oleh Kelompok Studi Administrasi Fiskal (Kostaf), Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI), Depok, Jumat (30/11/2018).
Menurut Yon, saat ini yang paling penting adalah bagaimana membenahi administrasi pajak terlebih dahulu agar mampu mendeteksi aliran dana dari transaksi-transaksi e-commerce yang dilakukan wajib pajak. Perubahan aturan mengenai subjek, objek, dan tarif pajak sendiri harus melalui undang-undang yang membutuhkan proses panjang, sehingga prioritas utama saat ini adalah membenahi sistem administrasi pajak.
"Hingga saat ini tidak ada aturan khusus untuk ekonomi digital. Artinya, pemerintah masih mengacu pada ketentuan yang berlaku secara umum. Kalaupun ada model-model bisnis yang membutuhkan perlakuan khusus, sifatnya masih dibahas secara internal," paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Partner Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji menjelaskan ada tiga kunci utama yang perlu dilakukan oleh otoritas pajak. Pertama, memahami dengan baik model bisnis ekonomi digital, mengingat platform bisnis ini cukup beragam bentuknya, sehingga pemindahan dana dari konsumen ke penjual bisa bervariasi.
"Otoritas pajak bisa mempelajari berbagai model bisnis digital yang seringkali jadi sorotan, misalnya AirBnB, WeChat Pay, Instagram, Amazon, dan Google. Masing-masing memiliki karakteristik bisnis yang berbeda," ujarnya.
Kedua, lanjutnya, mengidentifikasi gap antara ketentuan pajak yang ada saat ini dan pola kepatuhan wajib pajak. Ketentuan pajak domestik maupun global masih memiliki celah bagi wajib pajak untuk menghindar dari pajak. Kemudian, kunci yang ketiga adalah bagaimana pemerintah mengambil langkah untuk memajaki sektor ini, baik dari sisi kebijakan maupun sisi administrasinya.
Bawono menerangkan model bisnis dan tantangan pajak dalam lima ilustrasi yang berbeda. Ilustrasi tersebut dikaitkan dengan persoalan kepatuhan pajak, model pemotongan pajak penghasilan (withholding tax), persoalan Gerbang Pembayaran Nasional, model pajak pertambahan nilai (PPN) untuk transaksi bussiness-to-bussiness (B2B) dan bussiness-to-consumer (B2C) lintas yurisdiksi, hingga risiko base erosion and profit shifting (BEPS).
Dalam seminar yang diselenggarakan di Auditorium M, FIA UI ini hadir pula Profesor FIA UI Haula Rosdiana dan Ketua IFA Indonesia Ichwan Sukardi yang memaparkan pandangannya mengenai perpajakan di era ekonomi digital. (Amu)