Senior Partner DDTC Danny Septriadi (tengah), Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji (kanan), dan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Banjarmasin Syaiful Anwar Syahdan (kiri) berfoto bersama 12 tim peserta DDTCNews Tax Competition 2019.
JAKARTA, DDTCNews – Kompetisi cerdas cermat yang menjadi tahap lanjutan dari DDTCNews Tax Competition 2019 resmi dimulai pagi ini, Selasa (24/9/2019).
Senior Partner DDTC Danny Septriadi membuka langsung acara yang diikuti oleh 12 tim terpilih yang lolos dalam tahap awal seleksi esai. Mereka menjadi tim dengan esai terbaik di antara 91 esai dari 28 perguruan tinggi yang berpartisipasi.
“Kalian merupakan 12 tim dengan esai terbaik pilihan juri. Selamat datang di kompetisi pajak dengan hadiah terbesar yang ada di Indonesia, yaitu total Rp120 juta,” ujarnya sembari memberi semangat kepada para peserta.
Danny mengungkapkan antusias mahasiswa untuk mengikuti kompetisi pajak tahun ini cukup besar. Hal ini terlihat dari jumlah esai yang masuk. Jumlah esai tercatat meningkat dari tahun lalu sebanyak 62 esai dari 18 perguruan tinggi.
Apalagi, para peserta memperebutkan gelar juara I DDTCNews Tax Competition 2019 yang akan berkesempatan mengikuti International Taxation Conference 2019, pada 5-7 Desember 2019 di Mumbai, India. Seluruh akomodasi ditanggung penuh oleh DDTC.
Menurutnya, hadiah tersebut pantas didapatkan peserta dengan kemampuan terbaik dalam pengetahuan dan wawasan di bidang perpajakan. Hal ini juga menjadi wujud nyata partisipasi DDTC dalam konteks pengembangan pendidikan perpajakan.
Pada tahun ini, DDTCNews Tax Competition mengambil tema 'Tax Challenges in the Digital Era: It's Time for Youth to Speak Up!'. Tema ini, sambung Danny, cocok dengan kondisi saat ini dan posisi peserta kompetis yang merupakan kaum muda generasi penerus bangsa.
Danny mengatakan Era digital telah berdampak pada perubahan pola bisnis dan administrasi, baik dari dari sisi pelaku usaha (wajib pajak) maupun pemerintah (otoritas pajak). Dalam kaitannya dengan administrasi pajak, digitalisasi bisa memberikan kepastian waktu (real time), efisiensi, dan transparansi.
Dengan demikian, digitalisasi harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepatuhan pajak dengan menggunakan paradigma cooperative compliance. Dengan paradigma ini, akan ada efek timbal balik yang saling menguntungkan wajib pajak dan otoritas dari sisi efisiensi biaya dan waktu serta keterbukaan informasi.
Terlebih, adanya digitalisasi membuat pertukaran informasi (exchange of information/EoI), baik by request, spontaneous, maupun automatic bisa dijalankan dengan baik. Khusus untuk automatic exchange of information (AEoI), Indonesia pada tahun ini akan menjalankannya dengan 98 yurisdiksi partisipan dan 82 yurisdiksi tujuan pelaporan.
Namun, tidak bisa dipungkiri, digitalisasi juga memunculkan tantangan tersendiri. Berubahnya pola bisnis pelaku usaha yang tidak mengharuskan lagi adanya kehadiran fisik telah membuat pusing dunia perpajakan internasional. Apalagi, OECD menyebut ekonomi digital sebagai new shadow economy.
Hingga saat ini, dunia masih berupaya mencapai konsensus global 2020 agar bisa memajaki raksasa-raksasa digital seperti Google, Apple, Facebook, dan Amazon. Kendati demikian, dengan alasan menciptakan keadilan, beberapa negara justru menjalankan aksi unilateral. Salah satu negara yang baru saja mengesahkan pajak khusus raksasa digital itu adalah Prancis.
Untuk Indonesia, hingga saat ini pemerintah terlihat masih menunggu konsensus global. Namun, dalam rencana omnibus law berupa RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan, pemerintah bersiap-siap mengatur pemungutan PPN layanan digital dan meredefinisi bentuk usaha tetap (BUT). Eksekusi dari rencana ini, sambungnya, perlu dilihat lebih lanjut.
Namun, yang pasti, perkembangan teknologi digital juga menyisakan tantangan dari sisi profesi di bidang pajak. Profesional pajak di masa mendatang tidak cukup hanya memiliki kemampuan teknis perpajakan. Mereka harus punya kemampuan dalam menguasai teknologi. Oleh karena itulah muncul profesi baru yang disebut taxologist.
Selain itu, penggunaan robot juga diproyeksi akan semakin marak. World Economic Forum memproyeksi pada 2025, sekitar 52% pekerjaan manusia bisa ditangani oleh robot sejalan dengan tingginya pemanfaatan mesin dan komputer serta teknologi terotomatisasi. Dalam situasi ini wacana pemajakan atas robot muncul.
Semua aspek tersebut, sambunya, harus diracik secara tepat dalam berbagai kebijakan bersamaan dengan momentum reformasi perpajakan. Dalam konteks ini, peran perguruan tinggi melalui kurikulumnya juga sangat krusial. Redesain kurikulum pendidikan pajak sangat krusial untuk menjawab berbagai tantangan tersebut.
“Artikel-artikel kalian tentunya sangat berkaitan erat dengan berbagai situasi yang saya sebutkan tadi. Apalagi, salah satu tujuan dari kompetisi ini adalah untuk mencari tahu bagaimana perspektif generasi milenial merespons dinamika perpajakan yang ada. Selamat berkompetisi!” kata Danny.
Sekadar informasi, dalam tahap ini, kompetisi terbagi dalam tiga tahap, yaitu babak penyisihan (3 ronde), babak final atau kompetisi cerdas cermat (3 ronde), dan babak grand final dalam bentuk simulasi moot court. (kaw)