Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ribuan wajib pajak resmi dipindah dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama ke KPP Madya. Keputusan otoritas tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (29/3/2021).
Kepindahan ribuan wajib pajak tersebut termuat dalam Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-116/PJ/2021. Keputusan ini terdiri atas 1.955 halaman. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.952 halaman merupakan lampiran yang berisi daftar wajib pajak.
Keputusan ini dirilis sehubungan dengan dilakukannya penataan kembali terhadap wajib pajak yang terdaftar pada KPP Madya. Beleid itu juga menjadi tindak lanjut dari Peraturan Dirjen Pajak No.PER-05/PJ/2021. Simak ‘Perdirjen Pajak Baru Soal Tempat Pendaftaran WP & Pelaporan Usaha PKP’.
“Menetapkan wajib pajak sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini sebagai wajib pajak tertentu yang terdaftar dan dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak pada kantor pelayanan pajak madya,” kutip Diktum Pertama KEP-116/PJ/2021, Jumat (26/3/2021)
Termasuk wajib pajak yang terdaftar pada diktum pertama adalah cabang wajib pajak yang didirikan sebelum dan setelah KEP-116/PJ/2021 ini berlaku dan berada di wilayah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran huruf B PER-05/PJ/2021.
Perincian lebih lanjut dapat disimak dalam lampiran KEP-116/PJ/2021. Lampiran tersebut terdiri atas 1.952 halaman yang memuat perincian NPWP, nama wajib pajak, serta asal KPP dari wajib pajak yang dipindah ke berbagai KPP Madya.
Selain kepindahan ribuan wajib pajak ke KPP Madya, masih ada pula bahasan mengenai optimalisasi pengawasan penerimaan terhadap wajib pajak dengan kekayaan tinggi (high wealth individual/HWI). Kemudian, ada bahasan tentang rencana pengaturan ketentuan opsen pajak dalam RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Adapun KEP-116/PJ/2021 ini berlaku mulai 22 Maret 2021. Namun, Saat Mulai Terdaftar (SMT) dan melaporkan usaha bagi wajib pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama ditetapkan sejak 3 Mei 2021.
KEP-116/PJ/2021 ini sekaligus berfungsi sebagai surat keputusan mengenai pemusatan tempat pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) terutang.
Surat keputusan baru ini mencabut Surat Keputusan Pengukuhan PKP sebelumnya yang menetapkan tentang tempat pelaporan usaha bagi wajib pajak pada KPP lama. Pencabutan tersebut berlaku SMT yang ditetapkan pada KEP-116/PJ/2021 yaitu per 3 Mei 2021. (DDTCNews)
Berdasarkan pada Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-28/PJ/2021, ada tambahan 18 KPP Madya baru. Adapun saat mulai beroperasinya KPP Pratama yang berubah jenis menjadi KPP Madya ini adalah mulai 3 Mei 2021.
Adanya perubahan jenis KPP tersebut membuat jumlah KPP Madya menjadi 38. Hal ini sesuai dengan jumlah KPP Madya yang disebutkan dalam Pasal 81 PMK 184/2020. Adapun sebelumnya, dalam PMK 210/2017, jumlah KPP Madya sebanyak 29. Simak daftar KPP Madya Baru pada artikel ‘18 KPP Madya Baru Beroperasi Mulai 3 Mei 2021’. (DDTCNews/Kontan)
Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor, otoritas akan menggunakan data dan informasi dari instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya untuk melakukan pengawasan penerimaan pajak dari wajib pajak HWI.
Menurutnya, populasi wajib pajak HWI, termasuk para pelaku usaha ekonomi digital, tergolong kecil. Dengan demikian, otoritas dapat mengoptimalkan pengawasan. "Kalau kita bicara tentang wajib pajak yang tergolong HWI tentu populasinya sangat kecil. Jadi, siapa-siapanya dapat kami deteksi,” ujarnya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan RUU HKPD akan mengatur ketentuan mengenai opsen pajak. Menurutnya, sistem pajak daerah perlu diperkuat untuk mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien.
"Penguatan pajak daerah dan retribusi daerah [dilakukan] melalui opsen pajak dan pendaerahan pajak bumi dan bangunan (PBB) atas tanah dan bangunan," katanya.
Selain opsen pajak dan pendaerahan PBB, lanjut Sri Mulyani, RUU HKPD juga akan menghapuskan beberapa jenis retribusi yang terkait dengan layanan wajib serta mendorong sistem pajak yang dapat mendukung kemudahan berusaha. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan terus menyempurnakan sistem di DJP agar tidak ada ruang untuk tindakan korupsi. Saat ini, sistem pembayaran pajak secara online telah berjalan. Dengan sistem tersebut, semua pembayaran pajak harus berjalan secara nontunai sehingga tidak ada pegawai yang memegang uang yang dibayarkan wajib pajak.
"Akhirnya menjadi cashless. Kalaupun terjadi ada yang masih korupsi, pasti karena hengki pengki dengan wajib pajak. Tapi itu bukan karena bayar pajaknya harus nyogok atau segala macam," katanya. Simak ‘Sri Mulyani: Sudah Tidak Ada Celah Korupsi di Sistem DJP’. (DDTCNews)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan sistem pajak yang berlaku di Indonesia adalah sistem self-assessment sehingga wajib pajak perlu melaporkan total pajak yang dibayar.
"Melalui self-assessment kami memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Jadi walau sudah dipotong oleh pemberi kerja, wajib pajak punya kewajiban menyampaikan SPT meski tidak ada pajak yang perlu dibayar lagi," katanya. Simak ‘Pajak Sudah Dipotong Kok Masih Wajib Lapor SPT? Begini Penjelasan DJP’. (DDTCNews) (kaw)