Partner of DDTC Fiscal Research and Advisory B. Bawono Kristiaji saat mengisi sesi Seminar Nasional Perpajakan 2022 oleh Himpunan Mahasiswa D-III Perpajakan Universitas Airlangga.
JAKARTA, DDTCNews - Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) berpotensi mengubah perilaku konsumsi di masyarakat, khususnya pada beberapa bulan sebelum dan sesudah kebijakan berjalan.
Partner of DDTC Fiscal Research and Advisory B. Bawono Kristiaji mengatakan berdasarkan kajian empiris yang dilakukan di beberapa negara yang menaikkan tarif PPN, konsumsi masyarakat cenderung naik dalam beberapa bulan sebelum kenaikan tarif PPN berlaku.
"Ketika Anda tahu per tanggal berapa tarif akan meningkat, konsumsi akan meningkat lalu drop dan selanjutnya kembali ke tren normal," ujar Bawono dalam Seminar Nasional Perpajakan 2022 bertajuk Reformasi Perpajakan Pasca Terbit UU HPP terhadap PPN dan NPWP pada era Post-Pandemic yang digelar Himpunan Mahasiswa D-III Perpajakan Universitas Airlangga, Sabtu (16/7/2022).
Dengan demikian, kenaikan tarif PPN justru memiliki tendensi menggeser konsumsi yang biasanya baru terealisasi pada masa yang akan datang, ke saat ini.
Pergeseran pola konsumsi juga memiliki potensi memengaruhi pola penerimaan. Penerimaan PPN cenderung tumbuh pesat pada bulan-bulan menjelang pemberlakukan kenaikan tarif PPN dan kembali normal pada bulan-bulan selanjutnya.
Hingga Mei 2022, realisasi PPN tercatat sudah mencapai Rp238,12 triliun. Bila dicermati, kinerja penerimaan PPN pada tahun ini tidak hanya dipengaruhi oleh kenaikan tarif, melainkan juga berkat pemulihan konsumsi.
"Sebenarnya dampak kenaikan tarif itu tidak lebih dari 40% secara komposisinya, tapi lebih kepada memang secara baseline aktivitas konsumsinya itu yang meningkat," ujar Bawono.
Terlepas dari tren tersebut, pemerintah memperkirakan kenaikan tarif PPN dari 10% ke 11% yang berlaku sejak April 2022 akan memberikan tambahan penerimaan pajak senilai Rp44,4 triliun pada tahun ini.
Penggunaan NIK sebagai NPWP
Dalam seminar ini Bawono juga sempat menyinggung kebijakan pemerintah yang mengintegrasikan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP). Kebijakan ini, menurutnya, bakal meningkatkan keadilan dalam hal pemanfaatan anggaran, bukan hanya keadilan dalam aspek pajak semata.
Bawono mengatakan dengan penggunaan NIK sebagai NPWP, pemerintah dapat lebih mudah mengetahui seberapa besar pajak yang dibayar sekaligus bantuan anggaran yang diterima oleh setiap individu.
"Artinya dia bayar pajak berapa dan in return dia dapat fasilitas apa," ujar Bawono.
Seperti diketahui, banyak program-program bantuan sosial dari pemerintah yang penyalurannya amat bergantung pada data dan informasi berbasis NIK. Dengan penggunaan NIK sebagai NPWP, maka pemerintah dapat lebih mudah mengetahui fiscal incidence dari setiap individu.
Bukan tidak mungkin, penggunaan NIK sebagai NPWP juga bisa menjadi landasan bagi pemerintah untuk mengubah desain pengurang pajak bagi wajib pajak orang pribadi yang saat ini masih berbasis pada penghasilan tidak kena pajak (PTKP) menjadi itemized deduction.
Dalam penerapannya, NIK nantinya akan digunakan sebagai NPWP melalui skema aktivasi. Nantinya, hanya orang pribadi yang sudah memiliki kewajiban perpajakan yang NIK-nya diaktivasi sebagai NPWP.
Walau demikian, hingga saat ini ketentuan teknis dari penggunaan NIK sebagai NPWP masih belum diterbitkan oleh pemerintah.
"Aktivasi ini apakah self-activated, berdasarkan jabatan, atau berdasarkan pihak ketiga yang memotong? Ini kita menunggu aturannya," ujar Bawono. (sap)