UU HPP

Kemenkeu: Dukungan untuk UMKM Makin Kuat dengan UU HPP

Redaksi DDTCNews
Sabtu, 16 Oktober 2021 | 20.04 WIB
Kemenkeu: Dukungan untuk UMKM Makin Kuat dengan UU HPP

Ilustrasi. Pekerja menyelesaikan pembuatan dompet di Warunggunung, Lebak, Banten, Selasa (12/10/2021). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/hp.

JAKARTA, DDTCNews – Kementerian Keuangan menegaskan dukungan pemerintah terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) makin kuat dengan adanya Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan salah satu roh UU HPP yang disahkan pada 7 Oktober 2021 adalah konsisten keberpihakan pemerintah dalam melindungi masyarakat berpenghasilan rendah dan menguatkan sektor UMKM.

“Dukungan Pemerintah terhadap UMKM sangat jelas terlihat, bahkan makin kuat dengan UU HPP. Ini melengkapi keberpihakan pemerintah secara keseluruhan terhadap UMKM,” ujarnya melalui keterangan resmi, Sabtu (16/10/2021).

Selama ini, sambungnya, keberpihakan pemerintah kepada UMKM telah masuk dalam desain program pemulihan ekonomi nasional (PEN) selama masa pandemi Covid-19 dan desain APBN sejak prapandemi.

Febrio mengatakan UMKM merupakan bagian yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. UMKM, lanjutnya, telah berkontribusi sekitar 60% produk domestik bruto (PDB) dan 97% tenaga kerja.

Perubahan UU Pajak Penghasilan (PPh) yang masuk dalam UU HPP antara lain berupaya untuk meningkatkan keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah, termasuk pengusaha UMKM orang pribadi dan badan.

Pemerintah, sambungnya, menyepakati usulan DPR untuk melebarkan lapisan penghasilan orang pribadi (bracket) yang dikenai tarif PPh terendah. Tarif 5% awalnya dikenakan untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp50 juta. Dengan UU HPP, batasannya naik menjadi Rp60 juta.

Selain itu, penghasilan tidak kena pajak (PTKP) tetap diberikan. Besaran PTKP tidak berubah, yaitu senilai Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun untuk orang pribadi tidak kawin. Kemudian, tambahan Rp4,5 juta diberikan untuk wajib pajak kawin dan Rp4,5 juta untuk setiap tanggungan maksimal 3 orang.

“Ini artinya masyarakat dengan penghasilan sampai dengan Rp4,5 juta per bulan tetap terlindungi dan tidak membayar PPh sama sekali,” imbuh Febrio.

Dengan perubahan batas lapisan tarif terendah PPh orang pribadi, masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah akan membayar pajak lebih rendah dari sebelumnya.

Febrio memberi ilustrasi. Wajib pajak orang pribadi tidak kawin dengan penghasilan Rp9 juta per bulan yang sebelumnya harus membayar senilai Rp3,4 juta setahun, nantinya cukup hanya membayar PPh senilai Rp2,7 juta setahun.

UU HPP juga menunjukkan keberpihakan terhadap pelaku usaha UMKM baik orang pribadi maupun badan. Bagi wajib pajak orang pribadi UMKM yang selama ini membayar PPh dengan tarif final 0,5% sesuai dengan PP 23/2018, diberikan insentif berupa batasan omzet tidak kena pajak hingga Rp500 juta setahun.

Misalnya, pengusaha dengan peredaran bruto senilai Rp2,5 miliar setahun hanya membayar PPh atas peredaran bruto Rp2 miliar. Hal ini dikarenakan sampai dengan omzet Rp500 juta dibebaskan dari PPh.

“Untuk pengusaha yang memiliki peredaran bruto kurang dari Rp500 miliar maka tidak perlu membayar PPh sama sekali,” katanya.  

Sementara untuk wajib pajak badan UMKM tetap diberikan fasilitas penurunan tarif PPh sebesar 50% sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31E UU PPh. Simak pula Fokus ‘Harus Pakai Rezim Pajak Umum, UMKM Siap Naik Kelas?’.

Febrio mengatakan barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak, seperti jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial dan beberapa jenis jasa lainnya, diberikan fasilitas pembebasan PPN.

Meskipun barang kebutuhan pokok itu menjadi barang dan jasa kena pajak, masyarakat berpenghasilan kecil dan menengah tetap tidak akan membayar PPN atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial seperti yang sudah dinikmati selama ini.

Di samping itu, kemudahan dalam pemungutan PPN juga tetap diberikan. Kemudahan tersebut adalah penerapan tarif PPN final misalnya 1%, 2% atau 3% dari peredaran usaha untuk jenis barang atau jasa tertentu atau sektor usaha tertentu yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri keuangan (PMK).

Pengusaha kecil tetap dapat memilih untuk menjadi pengusaha kena pajak (PKP) ataupun tidak. Kemudian, pengusaha kecil atau UMKM yang sudah dikukuhkan sebagai PKP tidak perlu melakukan mekanisme pajak keluaran-pajak masukan (PK-PM).

Pengusaha kecil atau UMKM berstatus PKP cukup menerapkan tarif final dalam pemungutan PPN. Tarifnya lebih rendah dibandingkan tarif dalam pedoman pengkreditan pajak masukan berdasarkan pada PMK 74/PMK.03/2010.

“Hal ini menujukkan bahwa dalam langkah reformasi perpajakan, aspek kemudahan administrasi bagi wajib pajak tetap menjadi perhatian besar pemerintah,” imbuh Febrio. Simak ‘Ditjen Pajak Tegaskan Tidak Semua UMKM Bakal Pungut PPN Final’. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.