Ilustrasi. (DJP)
JAKARTA, DDTCNews – Pembaruan Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak sudah urgen atau mendesak. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (23/8/2021).
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan sebagai sistem inti (coretax), SIDJP masuk kategori sistem lama karena sudah beroperasi selama 15 tahun. Sistem tersebut tidak diperbarui dan membutuhkan banyak aplikasi pendukung agar tetap dapat berjalan optimal.
"Teknologi informasi merupakan komponen penting dalam membangun sistem perpajakan yang andal,” ujarnya.
Suryo mengatakan teknologi yang usang juga membuat sistem cenderung tidak stabil saat dilakukannya peningkatan layanan berbasis elektronik dan peningkatan beban data serta adanya penambahan akses pengguna.
Jika tidak segera diperbarui, wajib pajak akan sering menjumpai terjadinya malfungsi dalam layanan administrasi perpajakan, seperti sistem eror dan tidak bisa diakses atau offline. Untuk itu, pembaruan coretax dilakukan dan ditargetkan rampung pada 2024.
Selain mengenai pembaruan sistem inti administrasi perpajakan, ada pula bahasan terkait dengan usulan target penerimaan PPN pada tahun depan yang sudah cukup tinggi. Selain itu, ada pula bahasan tentang kebijakan cukai hasil tembakau (rokok).
Menurut Dirjen Pajak Suryo Utomo, proses pembaruan coretax, dalam kerangka reformasi perpajakan, akan mengadopsi sistem yang sudah tersedia secara komersial atau commercial off the shelf. Dengan demikian, sistem dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi saat ini.
Berdasarkan dokumen APBN Kita edisi Juli 2021, pembaruan sistem coretax akan mengadopsi instrumen teknologi terbaru mulai dari big data, advanced analytics, artificial intelligence (AI), hingga robotic process automation. (DDTCNews)
Pembaruan coretax system dijamin tidak hanya menguntungkan otoritas, tetapi juga wajib pajak dan para pemangku kepentingan (stakeholder). Bagi wajib pajak, manfaat yang akan dirasakan setelah pembaruan coretax adalah peningkatan pelayanan yang lebih berkualitas.
"Setelah itu, potensi sengketa berkurang dan biaya kepatuhan menjadi rendah," tulis manfaat PSIAP dikutip dari laman DJP IT Summit 2021. Simak ‘Perbarui Sistem Core Tax, DJP Beberkan Manfaatnya untuk Wajib Pajak’. (DDTCNews)
Penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) pada tahun depan ditargetkan sudah melebihi capaian periode sebelum pandemi Covid-19.
Dalam RAPBN 2022, penerimaan PPN dan PPnBM ditargetkan senilai Rp552,3 triliun atau meningkat 10,1% dibandingkan dengan outlook tahun ini Rp501,8 triliun. Rencana target tahun depan tersebut sudah lebih tinggi dibandingkan capaian pada 2019 senilai Rp531,6 triliun. Simak ‘Dampak Rencana Tarif PPN Naik Jadi 12% Belum Masuk Target RAPBN 2022’. (DDTCNews/Kontan)
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan upaya pencapaian target penerimaan PPN yang diusulkan pemerintah cukup menantang. Hal tersebut mengingat realisasi penerimaan PPN tahun ini yang bisa jadi masih berada di bawah outlook pemerintah. Kinerja akan tergantung pada kondisi perekonomian dalam negeri.
Bawono menilai penerimaan PPN tahun depan akan bersifat dinamis tergantung dari pengendalian pandemi dan pemulihan ekonomi. Namun, dia menyarankan agar pemerintah bersama DPR segera menyelesaikan pembahasan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
“Tentu saja akan lebih menguat dan ideal jika semisal revisi UU KUP termasuk revisi kebijakan di bidang PPN bisa mulai diimplementasikan tahun depan,” ujar Bawono. Simak ‘Penyelesaian RUU KUP Jadi Fokus DPR pada Masa Sidang I 2021-2022’. (Kontan)
Rasio penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio diprediksi belum bisa tembus 10% hingga 2025. Pemerintah memperkirakan tax ratio dalam jangka menengah 2023-2025 akan berkisar 8,4%-9,1%.
Dokumen Buku II Nota Keuangan RAPBN 2022 menyebut penerimaan perpajakan dalam jangka menengah akan dioptimalkan dengan tetap menjaga daya saing dan investasi. Hal itu sejalan dengan komitmen pemerintah untuk tetap melanjutkan kebijakan reformasi perpajakan, baik melalui intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan.
"Penerimaan perpajakan diperkirakan mencapai kisaran terendah 8,4% sampai dengan tertinggi sekitar 9,1% terhadap PDB dalam jangka waktu 2023-2025," bunyi dokumen tersebut. (DDTCNews)
Pemerintah menargetkan penerimaan cukai pada RAPBN 2022 mencapai Rp203,92 triliun, atau tumbuh 12% dibandingkan dengan proyeksi 2021 yang mencapai Rp182,2 triliun
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kenaikan penerimaan cukai 2022 tersebut utamanya masih ditopang cukai hasil tembakau (CHT). Dia berjanji akan segera mengumumkan kebijakan pemerintah mengenai CHT tahun depan, termasuk mengenai tarif.
"Untuk CHT akan ada target kenaikan. Seperti biasa, kami nanti akan jelaskan mengenai policy CHT begitu kita sudah merumuskan mengenai beberapa hal," katanya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia) (kaw)